Perda KTR Surabaya Tak Pertimbangkan Kajian Ilmiah Rokok Elektrik, Begini Pandangan APVI
- Aryo mengemukakan bahwa pihaknya selaku pelaku industri rokok elektrik menyayangkan kebijakan KTR yang diterapkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, dan ia pun menyebutkan tiga hal yang melandasi pandangan tersebut.

Idham Nur Indrajaya
Author


JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Aryo Andrianto mengutarakan pandangannya soal penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Surabaya yang dinilai tidak mempertimbangkan kajian ilmiah rokok elektrik.
Aryo mengemukakan bahwa pihaknya selaku pelaku industri rokok elektrik menyayangkan kebijakan KTR yang diterapkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, dan ia pun menyebutkan tiga hal yang melandasi pandangan tersebut.
Pertama, Pemkot Surabaya tidak melibatkan para pelaku industri untuk menyampaikan pandangan terkait aturan mengenai rokok elektrik di kawasan yang bersangkutan.
"Kami menilai keputusan ini diambil secara sepihak dan subjektif terhadap rokok elektrik, tanpa mempertimbangkan hasil kajian ilmiah yang membuktikan bahwa produk ini memiliki risiko kesehatan yang jauh lebih rendah daripada rokok," ujar Aryo kepada wartawan, Selasa, 20 September 2022.
Kedua, APVI menilai Perda KTR telah melampaui hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 sebagai payung hukum peraturan produk tembakau di Indonesia.
Dalam PP tersebut, tidak tercantum poin tentang rokok elektrik. Oleh karena itu, APVI berharap Perda KTR Surabaya untuk meninjau kembali mengenai larangan merokok yang diatur di dalamnya.
Regulasi ini pun dinilai APVI berpotensi menciptakan opini yang keliru di publik bahwa rokok elektrik sama saja dengan rokok konvensional sehingga diatur dalam regulasi serupa.
"Padahal, rokok elektrik perlu diatur secara berbeda dengan rokok, merujuk pada berbagai kajian ilmiah baik di dalam dan luar negeri yang menemukan bahwa rokok elektrik bisa mengurangi risiko zat berbahaya pada rokok hingga mencapai 95%," ungkap Aryo.
Ketiga, APVI menegaskan bahwa pihaknya memiliki komitmen untuk menjual produk rokok elektrik untuk kalangan dewasa.
APVI melarang produk rokok elektrik untuk diperjualbelikan kepada masyarakat yang belum berusia 18 tahun ke atas, nonperokok, serta ibu hamil dan menyusui.
"Komitmen yang sudah kami jalankan selama ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lainnya, khususnya Pemkot Surabaya untuk menghadirkan regulasi yang berbeda dengan rokok," kata Aryo.
- Pasokan Nikel Melimpah, IBC Ingin Kuasai Pasar Baterai Mobil Listrik ASEAN
- Fakta-Fakta Unik Seputar Pasukan Pengawal Ratu Inggris
- Erick Thohir Rombak Jajaran Komisaris dan Direksi Pertamina, Ini Daftar Barunya
Seperti yang disebutkan sebelumnya, APVI menilai bahwa regulasi terkait rokok elektrik seharusnya dipisahkan dari rokok konvensional.
Oleh karena itu, langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang ingin memasukkan poin rokok elektrik ke dalam revisi PP 109/2012 merupakan langkah keliru karena tidak mengedepankan kajian ilmiah.
Regulasi yang tidak berlandaskan kajian ilmiah dinilai APVI hanya akan melahirkan produk hukum yang tidak dapat diimplementasikan dengan baik.
"Jika hal ini terus dipaksakan, maka upaya pemerintah untuk menurunkan prevalensi merokok bakal sulit terealisasi mengingat rokok elektrik merupakan salah satu opsi guna membantu perokok dewasa untuk beralih dari kebiasaannya," tutur Aryo.
APVI berpendapat bahwa kebijakan Perda KTR Surabaya yang keliru berpotensi untuk diikuti oleh daerah-daerah lainnya tanpa menyertai fakta bahwa pada PP 109/2012 sebagai payung hukumnya belum mencakup ketentuan mengenai rokok elektrik.
Jika pemerintah daerah tetap mengeluarkan Perda KTR yang mengatur rokok elektrik, akan lahirlah produk hukum yang bertentangan dengan peraturan di level nasional dan berpotensi menurunkan kredibilitasnya di masyarakat dan para pelaku usaha rokok elektrik.
Dampak terburuk dari kekeliruan tersebut adalah gagalnya upaya pemerintah untuk menurunkan prevalensi merokok karena rokok elektrik diatur dalam regulasi yang represif.
"Dengan potensi yang dihadirkan rokok elektrik dan produk tembakau alternatif lainnya, produk ini seharusnya dikedepankan sebagai salah satu opsi untuk menurunkan angka perokok," ujar Aryo.
- Pembangunan IKN Dipercepat, Membuat Sektor Properti di Samarinda Akan Lebih Bernilai
- Ramalkan Kehancuran Pasar, Robert Kiyosaki: Saatnya Beralih ke Kripto
- Harga BBM BP AKR Turun, Berikut Daftar Harganya
APVI berharap pemerintah bisa melakukan kajian ilmiah terlebih dahulu dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di industri produk tembakau alternatif.
Kajian ilmiah itu nantinya dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk menghadirkan regulasi yang berbeda dengan rokok.
Kajian ini juga dapat memperkuat hasil sejumlah riset di dalam dan luar negeri yang sudah membuktikan bahwa produk tembakau alternatif lebih minim risiko ketimbang rokok konvensional.
"Berdasarkan hasil kajian yang sudah ada tersebut, produk tembakau alternatif dapat menjadi salah satu opsi bagi perokok untuk berhenti merokok," tegas Aryo.
Aryo pun menyebutkan beberapa negara seperti Inggris, Selandia Baru, hingga Filipina yang lebih dulu mempertimbangkan hasil sejumlah kajian ilmiah sebelum menghadirkan regulasi bagi produk tembakau alternatif.
APVI pun berharap pemerintah bisa mengikuti hal serupa sehingga produk rokok elektrik dapat dimaksimalkan sebagai pendukung strategi dalam upaya penurunan angka perokok.
Untuk saat ini, APVI ingin membangun relasi dan komunikasi aktif dengan para pemangku kepentingan terkait seperti kementerian/lembaga untuk menyuarakan bahwa rokok elektrik dan tembakau alternatif berbeda dengan rokok biasa.
"Upaya menempuh jalur hukum belum kami pertimbangkan saat ini. Kami percaya pemerintah pusat maupun daerah bisa menghasilkan regulasi yang berlandaskan kajian ilmiah dan berimbang, khususnya bagi rokok elektrik dan produk tembakau alternatif lainnya," pungkas Aryo.

Ananda Astri Dianka
Editor
