
Dunia Tanpa Negara
- Porak porandanya dunia membuat harapan pada pemimpin dunia terasa utopis.
Kolom & Foto
Pernah berimajinasi bagaimana dunia ini bekerja tanpa negara?
Kita semua tahu, hari ini, dengan banyaknya koalisi negara seperti G7, G20, juga BRICS, tidak juga menjadikan dunia stabil dan adil. Negara dan negara-negara terbukti gagal menyelesaikan masalah internal maupun multilateral.
Formula koalisi antar-negara terasa basi karena saat ini kita hidup di zaman yang makin-makin tidak bisa dikendalikan oleh negara. Planet dan seisinya sekarat menghadapi krisis demi krisis, misalnya krisis iklim, yang tidak mengenal batas negara.
Apesnya, pemimpin dunia masih percaya pada ilusi bahwa negara bisa mengendalikan semua. Percaya bahwa kekuatan ekonomi dan militer adalah untuk gagah-gagahan semata, bukan untuk mengatasi persoalan bersama.
Interaksi antar-negara saat ini hanyalah panggung aktor negara yang acapkali tidak merepresentasikan masyarakat. Terbukti, program-program pemerintah atau lembaga pengembangan seperti National Development Bank (NDB) milik BRICS, International Monetary Fund, dan World Bank banyak menimbulkan friksi di masyarakat.
Itulah buah dari program yang berangkat dari top-down, bukan bottom-up. Bagaimana mungkin, program sosial jutaan dolar justru berkonflik langsung dengan masyarakat?
Alternatif Tatanan Dunia: Konsep Multipleks
Dengan karut marut tatanan global, muncul pertanyaan besar: apa yang bisa dilakukan warga dunia? Mungkinkah kita bisa menciptakan ‘alternate reality’?
Amitav Acharya, Antoni Estevadeordal, dan Louis W. Goodman pada 2023 memperkenalkan konsep baru yakni, multipleks, sebuah definisi baru tatanan dunia terhadap hegemoni atau multipolaritas. Prinsipnya, multipleks adalah tatanan dunia tanpa hegemoni dari satu atau segelintir negara, atau dalam definisi conspiracy theorist adalah elite global. Ide ini adalah kritik dari gagalnya tatanan dunia multipolar menciptakan stabilitas dunia.
Amitav cs bukan ingin meniadakan negara, tapi menantang aktor-aktor non-negara, termasuk kelompok akar rumput untuk melawan narasi usang negara dan koalisi negara. Isu-isu sosial ekologis tidak bisa diselesaikan hanya oleh KTT antar-presiden, tapi justru dari akar rumput.
Jika multipolaritas fokus pada kekuatan ekonomi atau militer suatu negara, multipleks didasari oleh kapasitas interaksi. Negara dalam multipleks berfungsi untuk mengorkestrasi interaksi antar-elemen multinasional.
Nada yang dibunyikan harusnya datang dari elemen-elemen masyarakat dari paling pinggir sampai tengah, dari bawah hingga atas. Ketiadaan hierarki ini memberi ruang yang fleksibel untuk siapa saja memimpin dalam isu tertentu.
Bentuk konkretnya adalah, pertemuan-pertemuan yang melibatkan kelompok tani dari berbagai negara. Atau masyarakat adat berkumpul bertukar pengalaman bagaimana mewujudkan ketahanan pangan berbasis kearifan lokal.
Barangkali memang imajinasi ketahanan pangan dan energi yang diobral pemimpin negara di KTT tidak mesti berbentuk proyek negara yang diharapkan bisa menjawab semua isu di semua wilayah.
Padahal, tiap wilayah di negara manapun punya keunikan tersendiri. Sehingga, apapun problematika yang muncul, meskipun seragam di level nasional, mestinya mengadopsi nilai-nilai dan karakteristik masing-masing wilayah.
Contoh konkret terbaru adalah aksi 12 aktivis pro Palestina yang tergabung dalam Freedom Flotilla Coalition (FFC) yang berlayar dari Eropa menembus blokade Israel untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan untuk Palestina. Greta Thunberg dan 11 aktivis lainnya memang tidak berhasil menembus perbatasan karena kadung ditangkap Israel.
Rasa-rasanya misi mereka memang bukan untuk memasuki wilayah Palestina. Tapi menelanjangi bulat-bulat betapa impotennya hukum internasional dan peran negara mengadili kejahatan perang dan kemanusiaan terbesar dalam sejarah manusia.
Mereka adalah suara dari luar sistem, yang membuktikan bahwa moralitas kolektif bisa jadi tak datang dari negara, tapi dari nurani warga dunia.
Seperti kata Che Guevara, “Revolusi tidak lahir dari tempat tidur”. Mungkin juga tidak lahir dari konferensi tingkat tinggi antar-negara. Revolusi sosial dan ekologis masa kini muncul dari riak-riak kecil, dari suara minor, dari pinggir dunia.
Maka, teruslah berisik.