<p>JAKARTA - Seiring semakin populernya kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di berbagai negara, termasuk Indonesia, muncul berbagai pandangan keliru tentang dampaknya terhadap lingkungan, daya tahan baterai, dan kemampuan jarak tempuh. Berikut adalah penjelasan yang dikutip dari <a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.epa.gov/greenvehicles/electric-vehicle-myths">United States Enviromental Protection Agency</a> (US EPA), Senin 7 Juli 2025.&nbsp;</p><h2>Mitos 1: Mobil listrik lebih merusak iklim karena listriknya dari pembangkit berbahan bakar fosil.</h2><p>Faktanya, mobil listrik justru lebih ramah lingkungan dibanding mobil bensin, bahkan jika kita memperhitungkan emisi dari pembangkit listrik yang digunakan untuk mengisi dayanya.</p><p>Mobil listrik tidak menghasilkan emisi dari knalpot. Memang, listrik yang digunakan untuk mengisi baterainya bisa saja berasal dari sumber yang mencemari, seperti batu bara atau gas alam. Tapi riset menunjukkan bahwa total emisi gas rumah kaca dari mobil listrik tetap lebih rendah dibanding mobil bensin baru pada umumnya.</p><p>Apalagi, semakin banyak wilayah yang memakai energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Artinya, jejak karbon dari mobil listrik bisa makin kecil. Selain itu, mobil listrik jauh lebih efisien: sekitar 87–91% energi dari baterainya digunakan untuk menggerakkan mobil. Bandingkan dengan mobil bensin yang hanya mampu mengubah 16–25% energi dari bensin menjadi gerakan.</p><h2>Mitos 2: Produksi baterai mobil listrik membuatnya lebih buruk bagi lingkungan.</h2><p>Faktanya: Walaupun membuat baterai EV memang butuh energi lebih banyak, total emisi sepanjang usia pakai mobil listrik tetap lebih kecil dibanding mobil bensin. Studi dari Argonne National Laboratory menunjukkan bahwa walaupun emisi dari proses pembuatan mobil listrik lebih tinggi, total emisinya (termasuk saat dikendarai) tetap lebih rendah.&nbsp;</p><p>Mobil listrik tidak menghasilkan emisi knalpot dan lebih hemat energi saat digunakan. Selain itu, daur ulang baterai EV bisa mengurangi kebutuhan bahan baku baru dan memperkecil dampaknya pada lingkungan. Penelitian untuk meningkatkan proses daur ulang baterai juga terus berkembang.</p><h2>Mitos 3: Baterai mobil listrik cepat rusak dan sering diganti.</h2><p>Faktanya: Baterai EV didesain untuk bertahan selama masa pakai mobil, dan kerusakan baterai sangat jarang terjadi. Dari 15.000 mobil yang diteliti (model dari awal hingga 2023), hanya sekitar 2,5% baterai yang diganti karena rusak.&nbsp;</p><p>Untuk mobil keluaran 2016 ke atas, tingkat penggantian turun jadi di bawah 0,5%. Mayoritas baterai ini masih dipakai hingga sekarang, dan jika pun rusak, biasanya ditanggung garansi produsen. Memang, seiring waktu, kapasitas baterai bisa menurun, tapi tetap cukup untuk kebutuhan harian.</p><h2>Mitos 4: Semakin banyak mobil listrik akan bikin listrik padam.</h2><p>Faktanya: Ada strategi pengisian daya yang bisa mencegah beban berlebih pada jaringan listrik, bahkan justru bisa membantu kestabilan listrik. Mobil listrik bisa diisi pada malam hari saat pemakaian listrik rendah.&nbsp;</p><p>Selain itu, teknologi vehicle-to-grid (V2G) memungkinkan mobil listrik untuk menyimpan listrik saat beban rendah dan mengalirkannya kembali ke jaringan saat dibutuhkan. Di California, negara bagian dengan lebih dari 1 juta mobil listrik, pengisian daya hanya menyumbang kurang dari 1% dari beban listrik total, bahkan saat jam sibuk. Pemerintah AS juga sudah menyiapkan investasi besar untuk memperkuat infrastruktur listrik menghadapi pertumbuhan EV.</p><h2>Mitos 5: Tidak ada tempat untuk mengisi daya.</h2><p>Faktanya: Mobil listrik bisa diisi dari colokan rumah biasa, dan jaringan stasiun pengisian umum terus berkembang. Banyak orang cukup mengisi mobil listrik di rumah dengan stopkontak 120 Volt biasa. Jika ingin lebih cepat, bisa pasang colokan 240 Volt (Level 2). Bagi yang tinggal di apartemen, kini banyak gedung yang menyediakan fasilitas pengisian EV.</p><p>Di AS, sudah ada lebih dari 75.000 lokasi pengisian publik dengan 207.000 port pengisian. Pemerintah juga menginvestasikan US$7,5 miliar untuk memperluas jaringan pengisian daya di seluruh negeri, termasuk di jalan tol dan lingkungan permukiman.</p><h2>Mitos 6: Mobil listrik tidak punya jarak tempuh yang cukup untuk pemakaian harian.</h2><p>Faktanya: Mayoritas EV sudah punya jarak tempuh yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Data dari survei transportasi nasional AS tahun 2022 menunjukkan bahwa 73% perjalanan mobil di bawah 16 km, dan 98% di bawah 120 km. Sementara itu, sebagian besar mobil listrik saat ini mampu menempuh lebih dari 320 km dalam sekali pengisian.</p><p>Memang, kondisi seperti cuaca dingin dan pemakaian AC/pemanas bisa mempengaruhi jarak tempuh, tapi tetap cukup untuk rutinitas harian.</p><h3>Mitos 7: Mobil listrik tidak seaman mobil bensin.</h3><p>Faktanya: Semua mobil listrik harus lolos standar keselamatan yang sama dengan mobil konvensional. Mobil listrik wajib mengikuti uji keselamatan yang ketat sebelum dijual. Baterainya juga diuji khusus untuk memastikan tidak mudah terbakar atau korslet. Bahkan, sistem EV dirancang otomatis mati saat terjadi benturan, untuk mencegah bahaya listrik.</p>

ANANDA.png

BMW Group Indonesia bekerja sama dengan PLN, PT Haleyora Power, dan PT Tri Energi Berkarya dalam memberikan layanan 'home-charging' kepada pembeli mobil listrik BMW. Kamis 22 Februari 2024. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia

MOU BMW PLN - Panji 4.jpg

Masih ragu pakai mobil listrik? Simak fakta di balik 7 mitos paling umum soal kendaraan listrik, mulai dari daya tahan baterai hingga dampaknya terhadap lingkungan dan jaringan listrik.

7 Mitos Mobil Listrik yang Perlu Kamu Ketahui

Tren Ekbis