Industri

Bank Dunia: Biaya Kesehatan Terus Meroket, Banyak Orang Terjerumus Kemiskinan

  • JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut jika biaya kesehatan terus menerus meninggi di seluruh dunia dan membuat semakin banyak orang yang terjerumus dalam kemiskinan. Dalam laporan berjudul Tracking Universal Health Coverage yang dikutip dari WHO (10/02), penelitian mengatakan permasalahan tingginya pengeluaran untuk biaya kesehatan dialami oleh hampir seluruh penduduk dunia, baik negara miskin maupun […]

<p>analysticsinsight.net</p>

analysticsinsight.net

(Istimewa)

JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut jika biaya kesehatan terus menerus meninggi di seluruh dunia dan membuat semakin banyak orang yang terjerumus dalam kemiskinan.

Dalam laporan berjudul Tracking Universal Health Coverage yang dikutip dari WHO (10/02), penelitian mengatakan permasalahan tingginya pengeluaran untuk biaya kesehatan dialami oleh hampir seluruh penduduk dunia, baik negara miskin maupun negara maju.

“Orang dengan kondisi memprihatinkan ini tidak hanya dapat menyebabkan bangkrut secara ekonomi, tetapi juga kebangkrutan moral,” jelas penelitian itu.

Faktanya, lebih dari 800 juta orang di dunia membelanjakan 10% pendapatannya untuk biaya kesehatan. Persentase yang cukup besar ini membuat orang menjadi tidak punya banyak pilihan untuk memenuhi kebutuhan yang lain.

Akibatnya, banyak orang yang berada di bawah garis kemiskinan harus memperketat anggaran belanja konsumsinya. Inilah yang kemudian menjadi awal dari banyak penanganan kesehatan berikutnya, seperti stunting, gizi buruk, dan penyakit imunitas lain.

Kondisi Indonesia

Pada 2019 silam, inflasi kesehatan Indonesia tercatat sebesar 3,46 persen, yang mana angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2018 yakni 3,14 persen. Angka inflasi kesehatan ini menunjukkan bukti adanya gap antara inflasi medis dan inflasi inti.

Di Indonesia sendiri, tahun lalu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengakui ada sejumlah faktor yang menyebkan pihaknya defisit sampai Rp9,15 triliun. Salah satu faktornya menurut data dari Rencana Kegitan Anggaran Tahunan (RKAT) tahun lalu BPJS hanya menerima pendapatan sebesar Rp88,8 triliun, sedangkan pengeluaran yang harus dibayar sejumlah Rp102,2 triliun.

Per 31 Januari 2020, peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 223.238.892 orang, dengan jumlah yang banyak dan kenaikan iuran per 1 Januari 2020, pemerintah masih menanggung biaya kesehatan sebesar 76,63 persen.

Untuk mengatasi defisit, pemerintah menetapkan kenaikan iuran sebesar 100 persen yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Meski sempat kontroversial, BPJS mengklaim kenaikan iuran ini tidak akan memberatkan mayarakat miskin dan tidak mampu karena iuran Peserta Penerima Iuran (PBI) akan ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD.

“Bagi peserta Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP), besaran kenaikan ini relatif terjangkau jika dibandingkan dengan harga barang dan jasa yang sifatnya tersier seperti rokok, ongkos berlibur, atau nonton bioskop,” jelas BPSJ dalam keterangan resminya (10/02).

Penyakit Tidak Menular

Besarnya biaya yang dikeluarkan BPJS menurut dr. Shoim Hidayat juga menjadi persoalan yang dihadapi seluruh dunia.  Pada pertemuan International Conference on Harm Reduction in Non Communicable Diseases yang diselenggarakan pada 2-3 Februari 2020 di Paris, dunia sedang menghadapi pergeseran penyakit yang diidap manusia, yakni penyakit tidak menular yang menjadi beban terbesar banyak negara.

“Karena bergesernya kehidupan, yang justru jadi problem sekarang ini adalah penyakit tidak menular. BPJS kan uangnya habis untuk membiayai penyakit tidak menular ini ya, terutama penyakit jantung,” papar Shoim dalam wawancara (07/02).

Meningkatnya kasus penyakit tidak menular ini banyak disebabkan oleh gaya hidup, seperti pola makan, inactivity, tidak berolah raga, dan juga polusi udara.

“Persoalannya adalah penyakit ini menyebabkan kematian penyakit prematur di bawah 60 tahun atau di usia produktif. Dan penyakit tidak menular ini lazimnya termasuk ke dalam penyakit kronik, bukan akut ya. Artinya, butuh waktu lama untuk mendiagnosisnya.”