Pelindungan Data Pribadi.
Tren Global

Transfer Data Lintas Negara: Saat Privasi Jadi Komoditas Global

  • Data pribadi kamu bisa aja disimpan di luar negeri tanpa kamu tahu. Artikel ini mengupas bahaya transfer data lintas negara yang mengancam privasi, keamanan, bahkan kedaulatan digital Indonesia.

Tren Global

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Dalam dua dekade terakhir, transfer data lintas negara (cross-border data transfer/CBDT) menjadi bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan ekonomi digital. Namun kini, praktik yang dulunya dianggap lazim itu bertransformasi menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan dan keamanan nasional.

“Transfer data lintas negara pernah dipandang sebagai pendorong efisiensi operasional dan inovasi teknologi. Tapi kini, kita menyadari bahwa data juga memiliki dimensi geopolitik yang sangat strategis,” kata Ardi Sutedja K, Ketua dan pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) dalam keterangan resminya, dikutip Senin 28 Juli 2025.

Berbagai perusahaan teknologi besar seperti Facebook, Twitter, Google Cloud, Amazon Web Services, hingga Alibaba selama bertahun-tahun memindahkan data pengguna ke berbagai yurisdiksi. Tujuannya antara lain efisiensi infrastruktur, analisis pasar, dan pengembangan layanan berbasis kecerdasan buatan (AI).

Namun, menurut Ardi, berbagai insiden global membuka mata dunia bahwa arus data lintas batas juga menyimpan risiko besar. Salah satu yang paling mencolok adalah skandal Cambridge Analytica pada 2018, yang mengeksploitasi data 87 juta pengguna Facebook tanpa izin jelas untuk manipulasi politik melalui teknik micro-targeting.

“Data yang seharusnya bersifat pribadi, berubah menjadi alat manipulasi opini publik dalam pemilu dan referendum penting seperti Pilpres AS 2016 dan Brexit. Ini bentuk nyata bahwa data telah menjadi senjata informasi,” ujarnya.

Kasus tersebut menunjukkan bagaimana data lintas yurisdiksi dapat digunakan untuk mengganggu stabilitas politik dan mengancam integritas demokrasi.

Preseden Hukum Internasional dan Dampaknya

Ancaman tidak berhenti di situ. Gugatan hukum Max Schrems, aktivis privasi asal Austria, terhadap Facebook di Eropa, juga memperkuat urgensi pengawasan atas transfer data.

Gugatan yang dikenal sebagai Schrems II ini mempersoalkan lemahnya perlindungan data di Amerika Serikat dibandingkan standar ketat Uni Eropa dalam General Data Protection Regulation (GDPR). Dampaknya, Mahkamah Agung Uni Eropa membatalkan Privacy Shield Agreement, yang sebelumnya menjadi payung hukum pengiriman data antara AS dan UE.

“Keputusan ini menjadi tonggak penting dalam regulasi data global. Artinya, arus data lintas negara tidak bisa dibiarkan bebas tanpa pengawasan, dan harus menjamin perlindungan yang setara,” tegas Ardi.

GDPR menegaskan bahwa data pribadi merupakan hak fundamental. Transfer data hanya diperbolehkan ke negara yang telah mendapatkan keputusan adequacy, yakni pengakuan atas perlindungan data yang sebanding.

Kebocoran Data dan Ancaman Siber Global

Serangkaian insiden kebocoran data berskala masif turut memperkuat urgensi pengendalian arus data. Peretasan terhadap Equifax, Yahoo, serta serangan siber terhadap infrastruktur pemilu dan energi di sejumlah negara, menunjukkan bahwa data telah menjadi komoditas strategis yang rawan dieksploitasi.

“Data yang dicuri tak hanya merugikan secara ekonomi, tapi bisa dipakai untuk spionase, sabotase, bahkan manipulasi sosial dan politik,” ujar Ardi.

Ia menambahkan bahwa aktor jahat baik individu, kelompok kriminal, maupun negara asing dapat memanfaatkan celah ini untuk mengganggu stabilitas nasional negara lain tanpa perlu mengangkat senjata.

Konteks Indonesia: Target Eksploitasi Data

Dengan lebih dari 200 juta pengguna internet dan ekosistem digital yang tumbuh cepat, Indonesia berada di posisi rentan terhadap eksploitasi data lintas negara. “Banyak data warga Indonesia yang dikelola oleh perusahaan asing dan disimpan di server luar negeri. Ini membuatnya berada di luar jangkauan otoritas kita,” kata Ardi.

Sebagai respons, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) No. 27 Tahun 2022, yang mendorong penerapan prinsip data localization, yakni kewajiban menyimpan data strategis di dalam negeri. “UU PDP adalah langkah strategis untuk menjaga kedaulatan data nasional. Tapi implementasinya butuh infrastruktur, regulasi teknis, dan SDM yang kuat,” tambahnya.

Ia menekankan bahwa tantangan terbesar Indonesia saat ini adalah membangun data center lokal, memperkuat keamanan siber nasional, dan mengembangkan ekosistem teknologi dalam negeri yang mampu bersaing dengan raksasa digital global.

Tantangan Geopolitik dan Navigasi Regulasi Global

Menurut Ardi, isu transfer data juga telah menjadi medan persaingan antar blok kekuatan dunia. Amerika Serikat mengedepankan pendekatan free flow of data, Uni Eropa memegang teguh prinsip digital sovereignty, sementara China menggunakan model cyber sovereignty yang sangat ketat.

“Indonesia harus pandai menavigasi kompleksitas geopolitik ini. Jangan sampai kita hanya jadi pasar digital, sementara data rakyat kita dimanfaatkan untuk kepentingan pihak luar,” tegasnya. 

Indonesia, lanjutnya, perlu mengambil posisi strategis agar tetap berdaulat di ruang digital global yang semakin kompleks. Ardi menyampaikan peringatan keras: negara yang gagal melindungi datanya akan sangat rentan terhadap ancaman eksternal yang bisa melumpuhkan demokrasi, ekonomi, dan infrastruktur vital.

“Di era digital ini, kedaulatan data adalah kedaulatan bangsa. Negara yang tidak mampu menjaga datanya akan mudah dikuasai dari dalam tanpa disadari,” tegas Ardi.

Ia menekankan perlunya pengawasan ketat, regulasi yang komprehensif, dan investasi besar dalam infrastruktur digital, keamanan siber, serta literasi digital masyarakat. “Data kini adalah aset strategis dan geopolitik. Sudah saatnya kita memperlakukannya dengan penuh kehati-hatian, strategi, dan keberanian,” pungkasnya.