<p>Ojek online mangambil penumpang di kawasan stasiun Sudirman, Jakarta, Senin 8 Juni 2020. Setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan memasuki fase transisi, mulai Senin 8 Juni 2020, layanan ojek online GoRide dan Grab Bike sudah bisa digunakan kembali oleh masyarakat. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Tren Ekbis

Tarif Ojol Naik, Konsumen Bisa Kembali Beralih ke Kendaraan Pribadi

  • Dengan banyaknya kemungkinan dampak dari rencana kenaikan tarif ini, pemerintah perlu melakukan kajian menyeluruh sebelum menerapkan kebijakan. Menurutnya, keseimbangan antara kepentingan perusahaan, kesejahteraan mitra pengemudi, dan kepuasan konsumen harus jadi prioritas utama.

Tren Ekbis

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Rencana kenaikan tarif ojek online (ojol) sebesar 8–15% yang tengah digodok Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menjadi perhatian serius sejumlah pihak. Salah satunya datang dari Direktur Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), Fajar Rakhmadi. 

Menurutnya, kenaikan tarif ini berpotensi memicu efek domino bagi konsumen, perusahaan aplikasi, hingga mitra pengemudi. “Kalau naiknya 8 sampai 15%, itu cukup signifikan. Apalagi kalau dibandingkan dengan hasil survei kami, konsumen rata-rata hanya bersedia membayar tambahan sekitar 5% saja,” ujar Fajar melalui pernyataan tertulis yang diterima TrenAsia, dikutip Selasa, 1 Juli 2025.

Fajar menekankan pemerintah perlu lebih adil dalam menetapkan skema tarif baru ini. Artinya, bukan cuma menguntungkan satu pihak saja, tapi juga mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pengemudi ojol, dan perusahaan aplikasi penyedia layanan.

Konsumen Bisa Mundur Perlahan, Ojol Bukan Lagi Pilihan Harian?

Salah satu yang jadi sorotan Fajar adalah kondisi daya beli masyarakat saat ini yang cenderung melemah. Menurut dia, dalam situasi seperti ini, tarif ojol yang lebih mahal berisiko bikin orang enggan lagi menggunakan layanan tersebut, terutama pekerja yang tiap hari mengandalkan ojol sebagai moda transportasi utama mereka.

“Beberapa studi kami menunjukkan konsumen cukup sensitif terhadap perubahan harga. Kalau tarifnya naik, sebagian dari mereka bisa beralih ke kendaraan pribadi,” ujarnya.

Dampak lain yang perlu diperhatikan, lanjut Fajar, adalah potensi penurunan frekuensi penggunaan layanan ojol secara umum. Ini tentu akan berimbas langsung pada pendapatan pengemudi yang menggantungkan hidup dari setiap orderan yang masuk.

“Jadi, meskipun secara teori pengemudi bisa mendapatkan pendapatan lebih tinggi dari tarif yang naik, itu baru bisa terjadi kalau jumlah penumpang tetap stabil. Kalau justru makin sedikit yang pakai, penghasilannya ya bisa-bisa turun juga,” jelasnya.

Baca Juga: Waspada Bahaya Dunia Digital! Begini Cara Grab Lindungi Kamu Naik Ojol

Efek Ganda untuk Perusahaan Aplikasi

Kenaikan tarif ini juga membawa konsekuensi bagi perusahaan aplikasi. Fajar menyebut dampaknya bisa bermacam-macam, tergantung bagaimana pasar merespons kebijakan baru ini.

“Sangat tergantung reaksi pasar. Bisa saja pendapatan naik karena tarif naik, tapi bisa juga justru turun karena pengguna jadi enggan menggunakan layanan,” jelas Fajar.

Selain soal tarif, Fajar juga mengomentari wacana penurunan biaya aplikasi yang menjadi bagian dari strategi efisiensi operasional. Di sinilah, menurutnya, perusahaan harus benar-benar berhati-hati dalam merancang strategi efisiensi biaya.

“Kalau efisiensi itu berdampak ke penurunan kualitas aplikasi—misalnya aplikasinya jadi sering crash, atau fitur penting dihilangkan—ini justru bisa merugikan semua pihak. Pengemudi bisa jadi makin susah dapat order, sementara pengguna juga bakal kecewa karena layanannya jadi nggak optimal,” katanya.

Tapi sebaliknya, jika efisiensi dilakukan secara cerdas dan tidak mengorbankan kualitas, dampaknya bisa positif. Misalnya dengan optimalisasi proses internal, pemanfaatan teknologi yang lebih hemat biaya, atau pengurangan beban operasional yang tidak terkait langsung dengan layanan utama.

“Kalau bisa seperti itu, ya pengemudi tidak akan terlalu terdampak. Bahkan bisa tetap produktif dengan pendapatan yang stabil,” tambahnya.

Pemerintah Harus Cermat, Jangan Gegabah

Dengan banyaknya kemungkinan dampak dari rencana kenaikan tarif ini, Fajar menegaskan bahwa pemerintah perlu melakukan kajian menyeluruh sebelum menerapkan kebijakan. Menurutnya, keseimbangan antara kepentingan perusahaan, kesejahteraan mitra pengemudi, dan kepuasan konsumen harus jadi prioritas utama.

“Semua harus diukur secara matang. Jangan sampai niat baik untuk menaikkan pendapatan pengemudi malah berbalik bikin permintaan turun dan kondisi jadi makin sulit untuk semua pihak,” tegasnya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Perhubungan (Wamenhub) Suntana mengungkap bahwa pemerintah sedang menyusun regulasi baru terkait tarif ojol. Dalam keterangannya, ada estimasi kenaikan antara 8 sampai 15% yang tengah dipertimbangkan.

Namun hingga saat ini, belum ada informasi resmi soal kapan aturan itu akan mulai diberlakukan. Yang jelas, wacana ini sudah memicu diskusi di kalangan pelaku industri transportasi daring dan publik luas.

Harapan ke Depan: Keseimbangan Jadi Kunci

Fajar menutup keterangannya dengan menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak dalam merespons kebijakan baru soal tarif ojol ini. Pemerintah, perusahaan aplikasi, dan perwakilan pengemudi harus duduk bersama untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan.

“Kalau semuanya kompak mencari solusi terbaik, saya yakin kebijakan tarif ini bisa tetap dijalankan tanpa mengorbankan salah satu pihak. Intinya jangan sampai keputusan ini hanya menguntungkan satu sisi, sementara pihak lain justru dirugikan,” pungkasnya.