
Tarif AS Ancam PHK Massal, Perbaiki Iklim Investasi dan Diversifikasi Pasar Ekspor
- Pemerintah Amerika Serikat resmi menetapkan tarif impor sebesar 32 persen untuk semua produk asal Indonesia yang masuk ke pasar AS. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Agustus 2025, memicu kekhawatiran serius atas masa depan industri padat karya dalam negeri.
Tren Ekbis
JAKARTA — Pemerintah Amerika Serikat resmi menetapkan tarif impor sebesar 32% untuk semua produk asal Indonesia yang masuk ke pasar AS. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Agustus 2025, memicu kekhawatiran serius atas masa depan industri padat karya dalam negeri.
Koordinator Advokasi Jaminan Sosial BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai upaya tim negosiator Indonesia yang sudah berkunjung ke Washington pada April lalu untuk menegosiasikan penurunan tarif terbukti gagal.
Sebaliknya, tarif tinggi tetap diberlakukan. Situasi ini kontras dengan beberapa negara ASEAN seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam yang berhasil menurunkan tarif ekspor mereka ke AS.
- Banyak yang Gak Tau, Richeese Factory Awalnya adalah Bisnis Rumahan
- Frustrasi dengan Putin, Trump Perintahkan Bongkar Gudang Senjata untuk Ukraina
- Baru IPO Langsung ARB, PMUI Disorot Soal Dana Publik untuk Beli Aset Bos Sendiri
"Penetapan tarif yang tidak turun ini menyiratkan kegagalan Tim Negosiator Indonesia pada saat itu, yang sekarang terpaksa berjuang lagi untuk bernegosiasi," kata pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar kepada TrenAsia.id belum lama ini.
Ancaman Nyata bagi Industri Padat Karya
Menurut Timboel Amerika Serikat adalah pasar ekspor penting bagi Indonesia, dengan surplus perdagangan yang rutin menyumbang devisa besar. Produk-produk yang diekspor ke sana adalah hasil industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, furnitur, karet dan produk turunannya, kopi, kakao, hingga produk perikanan.
Namun, tarif 32% membuat produk Indonesia kian mahal dan kurang bersaing di pasar AS. Menurut data Center of Economic and Law Studies (Celios) memprediksi kebijakan ini bisa memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hingga 1,2 juta pekerja di sektor tekstil, alas kaki, dan pakaian jadi.
"Ini akan menambah pengangguran terbuka. Padahal di tengah rendahnya pembukaan lapangan kerja, angka PHK sudah terus meningkat. Ini menghambat rakyat mendapat penghidupan layak sesuai amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945," ujar Timboel.
Menurutnya, PHK massal juga akan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Kondisi ini bisa menggagalkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5% pada 2025, dan semakin menjauhkan ambisi mencapai 8% di 2029.
Desakan Reformasi Iklim Investasi
Timboel menilai pemerintah perlu fokus dan serius membuka lapangan kerja layak. Salah satunya lewat perbaikan iklim investasi.
Beberapa rekomendasi yang dia ajukan antara lain:
- Memberikan insentif berupa lahan tanpa sewa untuk beberapa tahun.
- Menjamin bebas premanisme, biaya ilegal, dan birokrasi yang mendukung.
- Mempermudah dan mempercepat perizinan.
- Menurunkan suku bunga kredit.
- Menyediakan harga energi industri yang bersubsidi.
- Menghapus praktik korupsi
"Pemberian insentif ini bisa mendukung terbentuknya harga pokok penjualan lebih rendah sehingga produk kita lebih kompetitif, termasuk menghadapi banjir produk impor, khususnya dari China," katanya.
Perkuat SDM Melalui Pelatihan Terpadu
Selain iklim investasi, Timboel menekankan pentingnya meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga kerja. Selama ini katanya, program pelatihan masih tersebar di berbagai kementerian.
Ia mengusulkan pendirian Badan Pelatihan Vokasional Nasional yang mengintegrasikan program Kartu Prakerja, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), hingga pelatihan K/L.
Ia juga menyoroti janji Presiden untuk membentuk Satgas PHK saat May Day lalu yang hingga kini belum terwujud.
"Dengan kondisi PHK yang terus terjadi tahun ini, Satgas PHK sebaiknya dibentuk segera tahun ini, bukan 2026. Tugasnya mencegah PHK dengan memberikan masukan ke pemerintah dan membantu menyelesaikan perselisihan industrial," tegasnya.
Bahkan jika PHK tak terhindarkan, Satgas ini bisa membantu pekerja mendapat hak sesuai program JKP: uang tunai, pelatihan, informasi pasar kerja, hingga perlindungan JKN.
Diversifikasi Pasar Ekspor Jadi Keharusan
Selain membenahi investasi dan industri dalam negeri, pemerintah didesak serius mencari pasar ekspor baru. Timboel mendorong agar seluruh Duta Besar RI diberi target membuka pasar di negara akreditasi.
"Para dubes jangan hanya urus administrasi, tapi aktif mencari pembeli untuk produk Indonesia dan mendatangkan investor," jelasnya.
Ia menekankan pentingnya penempatan duta besar yang paham pasar dan punya jaringan kuat, bukan sekadar hasil bagi-bagi jabatan politik.
Terakhir, Timboel mengingatkan agar Indonesia memanfaatkan keanggotaan barunya di BRICS. "BRICS bisa jadi pasar baru produk kita dan sumber investasi asing. Pemerintah harus serius menjajaki peluang itu untuk memastikan kita tidak terlalu tergantung pada pasar Amerika Serikat," tutupnya.