
Rumah Flat Menteng: Konsep Hunian Kota yang Kolektif dan Keren
- Low rise apartment bukan tren estetika semata. Di baliknya ada gerakan sosial, koperasi, dan solidaritas warga. Intip konsepnya di sini.
Tren Inspirasi
JAKARTA — Di tengah krisis keterjangkauan rumah yang kian meresahkan di Jakarta, muncul sebuah alternatif yang tak berasal dari tangan developer besar, melainkan dari warga kota itu sendiri.
Sebuah rumah flat empat lantai berdiri di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Bukan sekadar bangunan tempat tinggal, rumah ini adalah hasil inisiatif kolektif koperasi keluarga, dengan semangat gotong royong dan visi hunian kota yang lebih adil.
Menurut pembahasan di kanal YouTube Fellexandro Ruby, rumah flat tersebut terdiri dari tujuh unit dengan luas bervariasi antara 40 hingga 80 meter persegi. Proyek ini digagas oleh arsitek dan pakar tata kota Marco Kusumawijaya bersama sejumlah keluarga.
Ini menyusul diberlakukannya Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang. Regulasi ini membuka peluang baru untuk memanfaatkan lahan kota secara lebih padat, namun tetap manusiawi.
Yang membedakan rumah flat Menteng dengan proyek hunian lainnya adalah skema kepemilikannya. Unit-unit ini tidak diperjualbelikan di pasar bebas. Dibangun melalui koperasi, biaya pembangunan ditekan agar setiap keluarga hanya perlu mengeluarkan dana di bawah Rp1 miliar.
Jika suatu saat penghuni memutuskan pindah, unit akan dikembalikan kepada koperasi, dan simpanan pokok beserta bunganya dikembalikan sesuai nilai inflasi. Tujuan utama model ini adalah menjaga keterjangkauan dalam jangka panjang dan melindungi hunian dari spekulasi pasar.
Rumah flat ini bukan sekadar tempat tinggal, melainkan sebuah ekosistem sosial, padat namun akrab, terjangkau namun bermartabat. Sebuah bentuk perlawanan diam-diam terhadap logika pasar properti urban yang sering kali meninggalkan kelompok berpenghasilan menengah dan muda-mudi kota.
Gagasan tentang hunian bertingkat rendah ini juga mendapat dorongan dari Rujak Center for Urban Studies (RCUS). Dalam beberapa tahun terakhir, RCUS aktif mengadvokasi pendekatan low rise sebagai alternatif dari rumah susun tinggi yang selama ini menjadi program utama pemerintah.
Menurut mereka, bangunan dua hingga empat lantai jauh lebih mendukung terbentuknya jejaring sosial antarwarga, memungkinkan ruang-ruang bersama dikelola secara partisipatif, dan lebih selaras dengan konteks lingkungan sekitarnya.
Pendekatan ini pun diterapkan RCUS dalam proyek rumah flat di Jatipadang, Jakarta Selatan, yang dirancang untuk warga terdampak relokasi banjir. Alih-alih mencabut warga dari komunitasnya dan memindahkan mereka ke menara beton yang anonim, rumah flat ini dibangun dengan halaman bersama, tangga terbuka, dan desain yang mengundang interaksi harian.
Prosesnya melibatkan warga, arsitek, akademisi, hingga otoritas lokal, sebuah eksperimen sosial sekaligus arsitektural. Secara konsep, low rise apartment mengusung keseimbangan antara kepadatan dan kualitas hidup.
Pencahayaan alami, ventilasi silang, keberadaan ruang hijau, serta akses langsung ke lingkungan sekitar menjadi kunci dari kenyamanan yang tidak selalu bisa ditawarkan oleh apartemen bertingkat tinggi. Ia menawarkan pengalaman tinggal di kota yang lebih membumi dan relasional, tidak hanya bertahan, tapi juga hidup bersama.
Pemerintah Buka Mata
Inisiatif ini pun mulai menarik perhatian pemerintah pusat. Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait menyatakan niatnya untuk meninjau langsung proyek rumah flat Menteng. Ia mengapresiasi adanya berbagai pendekatan kreatif dalam penyediaan perumahan, selama tetap dalam koridor hukum.
“Baru dari Jawa Barat beberapa hari ini. Nanti saya lihat dulu ya baru komen ya. Kita lihat lah nanti,” ujar Maruarar di Kantor Kementerian BUMN, Senin, 14 Juli 2025.
Ia menambahkan bahwa agenda kunjungan akan dijadwalkan setelah menyesuaikan dengan rangkaian rapat kementerian yang padat. “Tadi saya bilang nanti jadwalkan, kita baru mesti rapat-rapat, besok rapatnya juga banyak ya kita bersiapkan,” tambahnya.
Meski belum memberikan penilaian langsung, Maruarar menyambut baik gagasan semacam rumah flat kolektif ini sebagai bentuk ekspresi urban yang positif. “Kreativitas kan tetap ada aturannya yang berbatas. Apalagi kalau misalnya menggunakan ruangan negara kan. Tapi menurut saya, saya senang saja memang Indonesia tidak pernah kehilangan ruang-ruang untuk kreatif,” ujarnya.
Inspirasi dari Luar Negeri
Gagasan low rise apartment bukanlah khas Jakarta saja. Di berbagai kota besar dunia, model serupa telah lama hadir sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan tanpa mengorbankan kualitas hidup.
Singapura, misalnya, menyisipkan blok-blok hunian bertingkat rendah di antara lanskap apartemen HDB sebagai strategi diversifikasi. Pemerintah kota menyadari bahwa tidak semua warga cocok tinggal di menara tinggi.
Di Tokyo, konsep low rise dense menjadi jawaban atas sempitnya ruang, dengan desain hunian kecil yang efisien, privat, namun tetap nyaman. Di Amsterdam, proyek co-housing seperti De Warren menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar tempat tinggal.
Ia menciptakan komunitas hidup yang mengelola fasilitas bersama mulai dari dapur, kebun, hingga ruang kerja kolektif. Hunian semacam ini tak hanya mengurangi beban biaya, tetapi juga membentuk solidaritas dan struktur sosial baru di tengah kota.
Sementara itu, kota-kota seperti Portland dan Seattle di Amerika Serikat mulai mengevaluasi kembali dominasi apartemen tinggi. Mereka mendorong pembangunan missing middle housing, hunian bertingkat rendah dengan kepadatan sedang untuk mengisi celah antara rumah tapak dan gedung apartemen.
Hal itu membuka lebih banyak peluang bagi generasi muda dan keluarga urban untuk tinggal di pusat kota tanpa tekanan harga yang berlebihan.