Tembakau Linting .jpg
Tren Leisure

Nikotin Bisa Bikin Kanker, Mitos atau Fakta?

  • Nikotin sering disalahartikan sebagai penyebab kanker. Padahal, menurut FDA, nikotin bukan karsinogen. Artikel ini membahas kesalahpahaman umum soal nikotin dan menjelaskan bahaya rokok yang sesungguhnya: tar dari pembakaran.

Tren Leisure

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Selama puluhan tahun, narasi umum yang berkembang menyebutkan bahwa nikotin adalah zat paling berbahaya dalam rokok. Banyak orang menganggap bahwa zat inilah yang menyebabkan kanker, penyakit jantung, dan berbagai dampak buruk lainnya. Namun, pemahaman ini mulai dipertanyakan setelah sejumlah penelitian dan lembaga resmi menyampaikan fakta berbeda.

Salah satunya datang dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US Food and Drug Administration/FDA). Lembaga tersebut menyatakan bahwa nikotin bukanlah zat penyebab kanker, atau dalam istilah ilmiahnya, tidak termasuk dalam kategori karsinogen.

“Walaupun nikotin merupakan komponen utama yang menyebabkan ketergantungan dalam tembakau, ia bukanlah penyebab utama mengapa penggunaan tembakau berbahaya. Dampak buruknya berasal dari ribuan bahan kimia, banyak di antaranya bersifat beracun, yang dilepaskan saat tembakau dibakar," dikutip dari pedoman yang dirilis FDA pada 2020, Kamis 3 Juli 2025.

Pernyataan ini secara langsung membantah anggapan bahwa nikotin adalah zat karsinogenik. Dengan kata lain, nikotin memang membuat ketagihan, tapi bukan penyebab kanker.

Antara Nikotin, Ketergantungan, dan Bahaya Pembakaran

Nikotin adalah senyawa kimia alami yang terdapat dalam tanaman tembakau. Zat ini memiliki efek stimulan pada sistem saraf, memberikan sensasi tenang atau waspada bagi penggunanya. Di sinilah letak daya adiktifnya, nikotin bisa membuat seseorang ingin terus mengonsumsinya.

Namun, dari sisi medis dan toksikologi, nikotin sendiri tidak menyebabkan kanker. Yang justru sangat berbahaya adalah ribuan senyawa kimia yang dilepaskan saat rokok dibakar, termasuk tar, karbon monoksida, formaldehida, dan berbagai zat karsinogen lainnya. Tar, misalnya, adalah zat lengket hasil pembakaran yang menumpuk di paru-paru dan telah terbukti menjadi pemicu utama kanker paru dan penyakit saluran pernapasan kronis.

Stigmatisasi nikotin sebagai “biang keladi” kanker terjadi karena selama bertahun-tahun, kampanye anti-rokok menyatukan seluruh komponen dalam rokok ke dalam satu kategori bahaya. Akibatnya, masyarakat tidak membedakan antara zat adiktif dan zat karsinogenik, serta tidak memahami konteks bagaimana produk tembakau memberikan risiko berbeda tergantung cara konsumsinya.

Sebagai contoh, produk nikotin seperti permen karet nikotin, plester (patch), dan inhaler digunakan dalam terapi pengganti nikotin (nicotine replacement therapy/NRT) untuk membantu orang berhenti merokok. Produk ini digunakan secara medis, direkomendasikan dokter, dan telah melalui proses uji keamanan. Jika nikotin memang penyebab kanker, tentu produk ini tidak akan disetujui penggunaannya oleh badan kesehatan global.

Begitu pula dengan produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik atau produk tembakau yang dipanaskan, yang tidak melalui proses pembakaran. Meskipun tetap mengandung nikotin dan tidak sepenuhnya bebas risiko, tingkat zat beracun dalam produk ini jauh lebih rendah dibanding rokok konvensional.

Edukasi yang Tepat, Bukan Sekadar Menakut-nakuti

Sayangnya, banyak pesan kesehatan publik lebih menekankan pada narasi menakutkan ketimbang edukasi berbasis bukti. Ketakutan terhadap nikotin sebagai penyebab kanker, misalnya, telah menciptakan kebingungan di masyarakat. Akibatnya, tidak sedikit orang yang berusaha berhenti merokok justru gagal karena takut menggunakan terapi nikotin atau produk alternatif yang lebih rendah risiko.

Hal ini menjadi ironi tersendiri. Di satu sisi, kita mendorong masyarakat berhenti merokok, tapi di sisi lain justru menakut-nakuti mereka terhadap alternatif yang bisa membantu mereka keluar dari ketergantungan.

Meski nikotin bukan penyebab kanker, bukan berarti zat ini sepenuhnya aman. Nikotin tetap dapat memengaruhi sistem kardiovaskular, meningkatkan tekanan darah, dan menimbulkan efek negatif jika dikonsumsi oleh kelompok rentan seperti remaja, ibu hamil, atau orang dengan kondisi kesehatan tertentu. Oleh karena itu, penting untuk tetap membatasi penggunaannya dan menghindari konsumsi tanpa pengawasan medis.

Namun, membedakan antara bahaya nikotin sebagai zat adiktif dan bahaya zat pembakaran sebagai penyebab utama penyakit adalah langkah awal untuk menyusun kebijakan kesehatan yang lebih rasional dan efektif.

Sudah saatnya masyarakat, terutama generasi muda, memahami persoalan ini dengan lebih jernih. Edukasi publik seharusnya mendorong orang untuk mengambil keputusan berdasarkan data dan sains, bukan sekadar ketakutan.

Dengan pemahaman yang benar, kita bisa mematahkan mitos-mitos lama, membedakan fakta dari fiksi, dan mendorong transisi menuju gaya hidup yang lebih sehat. Karena dalam dunia yang dipenuhi informasi, miskonsepsi bisa sama bahayanya dengan rokok itu sendiri.