Ilustrasi serangan siber.
Kolom & Foto

Kerja Sama Penyadapan dan Demokrasi yang Berjalan Mundur

  • Kejaksaan Agung menggandeng empat provider seluler untuk melakukan penyadapan. Tanpa didahului pembuatan Undang-U44ndang-langkah ini melanggar UU Telekomunikasi, UU Perlindungan Pihak Ketiga dan UU Perlindungan Konsumen.

Kolom & Foto

Andi Reza Rohadian

Lima kali pergantian pemerintahan, amanat reformasi yang digaungkan 27 tahun lampau semakin jauh dari jangkauan. Semua yang dituntut mahasiswa dulu, dari  pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), HAM dan kehidupan demokrasi yang sehat, berjalan di tempat jika tak mau dibilang melangkah mundur.

Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto militer bahkan kembali unjuk gigi. Langkah ini membangkitkan kembali kekuatan militer di masa Orde Baru yang menguasai segala lini di balik tameng dwifungsi ABRI.

Di tangan presiden ke delapan kontrol terhadap kebebasan menyampaikan pendapat juga kian ketat. Paling anyar, pada akhir Juni silam, Kejaksaan Agung meneken nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan empat operator seluler terkait pertukaran dan pemanfaatan data informasi dalam penegakan hukum. 

Keempat operator seluler itu adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT XLsmart Telecom Sejahtera Tbk.

Selain itu, nota kesepakatan tersebut turut memuat kerja sama dalam pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi.

Kejaksaan Agung berdalih kerja sama itu memberikan manfaat dalam proses pencarian buronan atau daftar pencarian orang, pengumpulan data dalam penegakan hukum, atau sebagai penyusunan analisis terhadap suatu topik tertentu.

Baca juga:

Langkah Kejaksaan Agung ini jelas tak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-VIII/2010, yang mensyaratkan penyadapan harus diatur dalam suatu peraturan khusus. 
UU Kejaksaan Nomor 11 tahun 2021 sendiri dalam Pasal 30C telah mengatur kewenangan kejaksaan hanya dapat diimplementasikan setelah ada UU khusus tentang penyadapan.

Toh, juru bicara korps penuntut umum Harli Siregar menyatakan, kesepakatan antara Kejaksaan Agung dan penyedia layanan telekomunikasi soal penyadapan sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dia pun mengklaim, pihaknya  akan menggunakan kerja sama atau praktik penyadapan dengan hati-hati dan bertanggung jawab.

Korps Adhyaksa memang tidak bisa sembarangan menguntit arus informasi yang disediakan empat provider seluler. Konstitusi kita dalam Pasal 28  UUD 45 menyatakan setiap warga negara mempunyai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta menyampaikan pikiran dengan lisan dan tulisan.

Landasan dari ketentuan itu adalah Pasal 3 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang diterbitkan oleh PBB pada tahun 1948, yang menyatakan,”Setiap  orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu. ”8

Harus Jelas Kasusnya, Siapa yang Disadap dan Berjangka Waktu

Undang-Undang (UU) Telekomunikasi secara eksplisit melarang tindakan penyadapan tanpa dasar hukum yang sah. Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 menyebut, "Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun."

Lebih dari itu, UU tersebut menyatakan, penyadapan hanya dibolehkan dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan atau disebut lawful intercept. Tujuan dari lawful intercept9 adalah untuk mengumpulkan bukti dalam penyelidikan kasus-kasus korupsi, terorisme, atau narkoba.

Singkat kata, penyadapan oleh aparat penegak hukum harus akuntabel. Artinya,  harus jelas siapa yang disadap, apa alasan penyadapan, apa kasusnya, dan berjangka waktu.

Tanpa ketentuan yang jelas, kewenangan penyadapan hanya akan menjadi permainan  bagi oknum-oknum aparat untuk mencari-cari kesalahan publik di luar kasus yang boleh disadap demi keuntungan pribadi.

Tak hanya itu, operator sebagai penyedia layanan komunikasi pun seharusnya tunduk pada prinsip perlindungan data pribadi pengguna, sebagaimana diatur dalam UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Dalam hal ini keempat provoder seluler wajib menyampaikan ke konsumen untuk memberi persetujuan akan kemungkinan terjadinya penyadapan, plus informasi apa yang dibagikan ke aparat hukum. Tanpa persetujuan konsumen, Kejaksaan Agung dan perusahaan seluler melanggar hak atas privasi yang ada di UU PDP4.

Kalau pun Kejaksaan Agung keukeuh melaksanakan kerja sama dengan empat provider seluler, tak ada salahnya becermin pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lebih dulu mengantungi wewenang penyadapan. Sebagai pemburu kasus korupsi yang tergolong kejahatan luar biasa, salah satu wewenang KPK  sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) UU 19/2019 adalah penyadapan.

Kewenangan penyidik untuk melakukan penyadapan dalam UU KPK bahkan telah melalui perdebatan panjang. Kewenangan penyidik untuk menyadap berulang kali mengalami pengujian di MK. 
Sebagai jalan tengahnya, KPK diperkenankan melakukan penyadapan dalam keadaan yang mendesak dan memuat informasi terkini dan akurat yang tetap berpatokan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, guna menghindari penyalahgunaan wewenang terkait dengan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan tersebut, KPK harus  memberitahukan kepada dewan pengawas paling lambat 14 hari kerja sejak penyadapan dilakukan. Penyidik juga diwajibkan untuk tetap melaporkan penyadapan kepada pimpinan KPK secara berkala.

Indeks Demokrasi Terus Melorot

Penyadapan tanpa dasar hukum hanya akan menyebabkan erosi kebebasan politik dan hak-hak sosial. Jangan salah, menurut penilaian beberapa lembaga internasional, dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi erosi kebebasan dan hak asasi manusia di Indonesia.

Freedom House mencatat penurunan tajam dalam kebebasan sipil dan hak politik,  indeks demokrasi Indonesia turun dari skor 62 pada 2019 menjadi 57 pada 2024.

World Press Freedom Index 2025 pada 3 Mei lalu mencatat, indeks kebebasan pers di Indonesia kian merosot hingga ke posisi 127 dari 180 negara. Economist Intelligence Unit (EIU) bahkan menilai Indonesia sebagai “demokrasi cacat”. Dan laporan terbaru V-Dem Institute mencatat, Indonesia tergelincir dari status demokrasi elektoral menjadi otokrasi elektoral.

Menurut Amnesty Internasional, kemerosotan itu terjadi karena Indonesia menjauhi cita-cita reformasi dengan melemahnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, otonomi daerah, hingga jaminan kebebasan sipil maupun pers.

Amnesty International Indonesia mencatat selama 2019-2024 setidaknya terdapat 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi dengan jerat UU ITE terhadap 563 korban. Pelaku didominasi oleh patroli siber Polri (258 kasus dengan 271 korban) dan laporan Pemerintah Daerah (63 kasus dengan 68 korban). Terakhir, aparat menangkap mahasiswa Universitas Diponegoro dengan pasal “penyekapan” saat Aksi MayDay.

Baca juga: 

Lebih dari itu banyak pula kalangan aktivis dan jurnalis yang bersuara vokal terhadap kebijakan pemerintah mengalami doxing, yakni data pribadi seperti nomor telepon, alamat rumah dan titik koordinatnya disebar ke publik. Akibat dari doxing, sang korban berisiko diserbu pesan berantai hingga ancaman penghilangan nyawa.  

Aksi teror itu, antara lain dialami seorang peneliti ICW Diki Anandya bulan Januari lalu. Doxing terjadi setelah dia menyampaikan nominasi tokoh terkorup versi OCCRP yang menyebut Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi.

Korban doxing lainnya adalah delapan pegawai KPK nonaktif (setelah dipecat oleh pimpinan KPK), dua jurnalis yang masing-masing menulis sebuah artikel mengenai data kenaikan nilai impor produk dari Israel ke Indonesia dan mengkritisi narasi Covid-19 oleh seorang dokter.

Beberapa korban doxing memang telah melaporkan kasusnya ke polisi. Namun, sejauh ini belum satu pun perkara yang diajukan ke pengadilan. 
Nah, ada baiknya sebelum melangkah lebih lanjut ke pemberian hak penyadapan untuk Kejaksaan Agung, pemerintah memberi perhatian serius terhadap korban-korban peretasan yang umumnya dialami oleh kalangan aktivis, mahasiswa dan jurnalis.