
Jejak Sejarah Sengketa Indonesia - Malaysia di Ambalat
- Pertemuan Presiden Prabowo dan PM Anwar Ibrahim menjadi momentum baru penyelesaian sengketa Ambalat. Opsi joint development jadi jalan tengah setelah negosiasi hukum berlarut-larut.
Tren Ekbis
JAKARTA – Sengketa wilayah Ambalat yang selama dua dekade terakhir menjadi salah satu titik panas hubungan Indonesia–Malaysia kini memasuki babak baru. Dalam pertemuan bilateral antara Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, kedua pemimpin menyatakan komitmen bersama untuk mempercepat penyelesaian perundingan batas maritim yang belum terselesaikan, termasuk Ambalat di Laut Sulawesi.
Pertemuan ini merupakan bagian dari kunjungan balasan Prabowo ke Malaysia dalam rangka Konsultasi Tahunan Tingkat Pemimpin (Annual Leaders’ Consultation/ALC) pada akhir Juli 2025. Dalam pernyataan resmi, kedua negara sepakat membuka peluang kerja sama pengelolaan bersama wilayah sengketa (joint development), sembari menegaskan tidak ada kesepakatan apapun yang akan merugikan kedaulatan negara masing-masing.
“Setiap inci wilayah Sabah akan kami pertahankan. Tidak akan ada perjanjian tanpa keterlibatan penuh pemerintah negara bagian,” tegas PM Anwar dalam keterangannya di media, dikutip Rabu 6 Agustus 2025.
Sementara itu, Presiden Prabowo menyebut bahwa penyelesaian hukum atas wilayah Ambalat dapat memakan waktu sangat panjang, bahkan “bisa dua dekade,” sehingga pendekatan pragmatis seperti joint development menjadi opsi yang layak dibahas. Pernyataan ini menjadi penanda penting: setelah bertahun-tahun jalan buntu, dua negara bertetangga ini mulai mencari titik temu, bukan lagi soal siapa yang menang, melainkan bagaimana menciptakan win-win solution di kawasan kaya energi tersebut.
Blok Ambalat terletak di Laut Sulawesi, di lepas pantai timur Pulau Kalimantan, berbatasan langsung dengan negara bagian Sabah, Malaysia. Meski secara administratif tampak jauh dari pusat kekuasaan nasional kedua negara, Ambalat menyimpan potensi besar: cadangan minyak dan gas bumi yang menjanjikan. Inilah yang membuat kawasan ini menjadi rebutan sejak awal 2000-an. Namun, sengketa ini bukan hanya soal minyak dan gas. Ambalat juga menyentuh masalah kedaulatan, sejarah kolonial, garis batas maritim, hingga martabat nasional.
- Baca Juga: Mungkinkah Kalimantan, Sabah-Sarawak, dan Brunei Bersatu Jadi Negara Baru? Ini Analisisnya
Asal Mula Konflik
Sengketa Ambalat berakar dari diterbitkannya peta maritim Malaysia tahun 1979, yang secara sepihak memasukkan wilayah Ambalat ke dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen Malaysia. Klaim ini ditolak mentah-mentah oleh Indonesia, yang menyatakan wilayah tersebut berada dalam yurisdiksi Indonesia berdasarkan prinsip archipelagic baseline dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea).
Ketegangan meningkat setelah Malaysia secara aktif memberikan konsesi eksplorasi minyak dan gas kepada perusahaan asing di wilayah tersebut. Pada 2002, Indonesia lebih dulu memberikan konsesi kepada perusahaan ENI (Blok Ambalat) dan Unocal (Blok East Ambalat). Namun pada 2005, Malaysia melalui Petronas memberikan konsesi yang tumpang tindih kepada Shell dan Carigali.
Sebelumnya, sengketa dua pulau kecil, Sipadan dan Ligitan, telah dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada 2002. Putusan ICJ memenangkan Malaysia atas dasar effective occupation atau pengelolaan yang aktif oleh pemerintah kolonial Inggris. Meski demikian, Indonesia menekankan bahwa keputusan tersebut tidak mencakup wilayah laut di sekitarnya, termasuk Ambalat.
Sebagai respons, Indonesia menyusun ulang garis dasar kepulauan pada 2008, tidak lagi menggunakan Pulau Sipadan sebagai titik referensi, dan memperkuat klaim wilayah maritim di sekitar Ambalat berdasarkan prinsip hukum laut internasional.
Sengketa ini sempat memanas secara militer. Pada 2005 hingga 2009, beberapa kapal perang Indonesia dan Malaysia sempat bersitegang di wilayah Ambalat. Bahkan tercatat insiden nyaris tabrakan antara KRI Tedong Naga dan KD Rencong milik Malaysia.
Situasi ini membuat hubungan diplomatik kedua negara sempat renggang. Indonesia mengirimkan lebih dari 30 nota protes kepada Malaysia sepanjang 2000-an, mendesak penghentian aktivitas di wilayah sengketa.
Namun kedua negara juga menyadari risiko konflik terbuka. Seiring waktu, eskalasi diredam lewat forum diplomatik, termasuk pertemuan-pertemuan Komisi Batas Maritim dan langkah-langkah confidence building di bawah kerangka kerja ASEAN.
Sejak 2010-an, pendekatan kedua negara terhadap Ambalat mulai bergeser. Alih-alih mempertahankan garis keras, baik Indonesia maupun Malaysia menunjukkan kecenderungan mencari solusi pragmatis, seperti kerja sama eksplorasi energi secara bersama atau joint development agreement (JDA).
Pendekatan ini pernah berhasil diterapkan oleh Malaysia dengan Thailand dan Vietnam di kawasan Teluk Thailand. Maka, opsi yang sama tengah dibahas untuk Ambalat, seperti tercermin dalam pertemuan Prabowo–Anwar terbaru.
Namun, tantangannya tetap besar. Malaysia harus memastikan keterlibatan pemerintah negara bagian Sabah dalam tiap kesepakatan, sementara Indonesia tetap mengedepankan prinsip kedaulatan nasional.
Meski hingga kini belum ada putusan hukum internasional atau perjanjian resmi yang menyelesaikan sengketa Ambalat, situasi politik dan diplomatik menunjukkan arah positif. Tidak ada lagi kapal perang yang bersitegang. Tidak ada lagi ancaman militer terbuka. Yang tersisa adalah meja perundingan dan itulah tempat terbaik untuk menjaga stabilitas kawasan.
Jika pertemuan Prabowo dan Anwar menjadi langkah awal yang konsisten, maka Ambalat bisa menjadi contoh bagaimana negara-negara di Asia Tenggara mengelola konflik wilayah dengan kepala dingin, diplomasi, dan kerja sama ekonomi.