Influencer
Tren Ekbis

Influencer Makin Cuan Lewat Link Afiliasi? Ini Bocorannya!

  • Laporan terbaru impact.com & Cube ungkap tren terbaru influencer marketing di Asia Tenggara. Dari KOS hingga cuan lewat tautan afiliasi, simak penjelasan lengkapnya.

Tren Ekbis

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Dunia influencer marketing di Asia Tenggara sedang berubah cepat. Berdasarkan laporan tahunan E-commerce Influencer Marketing in Southeast Asia edisi 2025 dari impact.com bersama Cube, tren terbaru menunjukkan bahwa pemasaran afiliasi atau affiliate marketing kini jadi pendorong utama pertumbuhan konten kreator dan e-commerce di kawasan.

Laporan ini menyajikan wawasan dari lebih dari 2.400 responden, mulai dari konsumen, kreator, hingga pakar industri di enam negara: Indonesia, Singapura, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Fokus utamanya adalah bagaimana brand dan kreator merespons ekspektasi baru konsumen yang semakin menuntut keaslian, nilai, dan relevansi dari konten yang mereka konsumsi.

“Seiring berkembangnya preferensi konsumen di Asia Tenggara, brand perlu beralih dari model influencer tradisional dan metrik yang semu, menuju kemitraan jangka panjang yang benar-benar memengaruhi perilaku pembelian,” ujar Adam Furness, Managing Director APAC, impact.com dikutip dari risetnya, Jumat 18 Juli 2025.

Apa Saja Temuan Pentingnya?

1. Facebook dan YouTube Masih Jawara, tapi Tujuan Konsumsi Konten Berubah

Facebook (91%) dan YouTube (89%) tetap jadi platform dominan, terutama YouTube yang unggul dalam engagement dengan konten influencer. Tapi yang menarik, alasan orang menonton mulai bergeser. Kalau dulu cuma buat hiburan, sekarang mereka juga ingin belajar sesuatu. Ada 77% yang mencari hiburan, dan 64% yang mau dapat ilmu baru dari konten influencer.

2. Mega Influencer Kurang Ngefek, yang Kecil Justru Lebih Dilirik

Tingkat kepercayaan terhadap mega influencer (lebih dari 1 juta followers) ternyata turun. Hanya 59% responden yang masih merasa terpengaruh, turun 7% dibanding tahun lalu. Sementara itu, micro dan nano influencer dianggap lebih real dan tetap dipercaya audiens.

3. Era Baru: Key Opinion Sellers (KOS)

Laporan ini juga menyoroti munculnya segmen baru bernama KOS (Key Opinion Sellers). Mereka adalah kreator yang nggak cuma mengulas produk, tapi langsung jualan juga. Fenomena ini booming di TikTok Shop, terutama di Thailand, di mana 9 dari 10 kreator teratas merupakan KOS.

4. Affiliate Marketing: Semakin Populer, Semakin Menguntungkan

Affiliate marketing terbukti makin nempel di keseharian belanja online. Sekitar 83% responden pernah beli barang lewat link afiliasi dari influencer. Kategori paling laku? Produk kecantikan (62%) dan fesyen (54%). Marketplace seperti TikTok Shop, Shopee, dan Lazada pun menawarkan komisi mulai dari 4–13%, dan kecantikan jadi yang paling cuan.

“Strategi seperti investasi pada model afiliasi kini menjadi fondasi pertumbuhan yang berkelanjutan dan dapat diskalakan, dan tren ini semakin terlihat di seluruh kawasan,” lanjut Adam. “Penelitian tahun ini juga menegaskan pentingnya membangun koneksi dengan kreator secara otentik untuk menghasilkan dampak yang terukur.”

Apa Artinya Buat Brand dan Kreator?

Satu hal yang pasti: zaman di mana brand hanya cari influencer dengan follower besar sudah lewat. Sekarang, yang lebih dicari adalah kolaborasi otentik, kreator yang relatable, dan konten yang nyambung ke audiens. Bukan cuma siapa yang ngomong, tapi bagaimana cara ngomongnya, dan apakah itu bikin orang mau beli atau nggak.

Laporan ini juga dilengkapi wawancara dengan kreator, agensi, dan pelaku industri lain yang memberikan gambaran lengkap tentang ekosistem influencer marketing saat ini. Versi lengkap laporan bisa diakses langsung dari situs resmi impact.com.

Jadi, kalau kamu brand yang ingin masuk ke pasar Gen Z dan milenial di Asia Tenggara, mungkin sudah waktunya lebih serius memikirkan strategi afiliasi dan mencari KOS, bukan sekadar endorsement.