
Bos BUMN Tak Berstatus Penyelenggara Negara, IFW Tempuh Uji Materi
- Koordinator IFW Abraham Runga Mali menilai ketentuan baru tersebut memiliki implikasi serius terkait dengan akuntabilitas dan risiko pengelolaan BUMN, karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak akan serta merta dan leluasa menetapkan anggota direksi dan atau komisaris BUMN menjadi tersangka kasus dugaan korupsi mengingat mereka tak lagi berstatus penyelenggara negara.
BUMN
JAKARTA - Indonesia Financial Watch (IFW), organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang pemantauan dan pengkajian kegiatan finansial di Tanah Air, tengah mempertimbangkan untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) sehubungan dengan pasal UU BUMN hasil revisi yang pada intinya menyatakan bahwa direksi dan komisaris BUMN bukan lagi berstatus penyelenggara negara.
Koordinator IFW Abraham Runga Mali menilai ketentuan baru tersebut memiliki implikasi serius terkait dengan akuntabilitas dan risiko pengelolaan BUMN, karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak akan serta merta dan leluasa menetapkan anggota direksi dan atau komisaris BUMN menjadi tersangka kasus dugaan korupsi mengingat mereka tak lagi berstatus penyelenggara negara.
“Tidak berstatus penyelenggara negara itu juga bermakna bahwa direksi dan komisaris BUMN tak lagi perlu membuat pelaporan berupa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK,” papar Abraham Runga dalam keterangan pers tertulis, Jumat 23 Mei 2025.
Dengan demikian, direksi dan komisaris BUMN akan mendapat perlakuan seperti pengelola perusahaan swasta yang tunduk pada UU Perseroan Terbatas. “Masalahnya, akankah dengan tak lagi dibayang-bayangi kekhawatiran menjadi tersangka korupsi akan membuat direksi dan komisaris BUMN berkinerja lebih baik dan produktif?” tanya Abraham.
Sebaliknya, ketentuan baru yang memberikan semacam kekebalan hukum terkait dengan kasus korupsi itu berpotensi memicu moral hazard yang membuat para direksi dan komisaris BUMN malah bertindak “ugal-ugalan” karena tak lagi dibayangi kecemasan bakal ditersangkakan oleh KPK.
Di sisi lain, Abraham juga mendengar kabar santer dari kalangan anggota DPR bahwa di balik revisi UU BUMN yang relative kilat tersebut ada “ongkos” ratusan miliar rupiah yang digalang oleh seorang bankir yang dikenal memiliki pengaruh besar di jejaring para bankir Himbara (Himpunan Bank-bank Milik Negara).
“Kabarnya setiap BUMN besar nyawer Rp 10 Miliar. Yang menengah dan kecil menyesuaikan,” ungkap Abraham mengutip sejumlah sumber terkait kasak-kusuk yang beredar di antara politisi di Senayan yang mengetahui proses revisi UU BUMN tersebut.
Seperti diketahui, salah satu isu kontroversial dalam revisi UU BUMN yang ditetapkan 24 Februari 2025 adalah terkait dengan 3X ayat 1 bahwa “organ dan pegawai badan bukan merupakan penyelenggara negara”. Kemudian pada Pasal 9G, disebutkan bahwa “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara”.
Terkait dengan ketentuan baru dalam UU BUMN tersebut, KPK diketahui tengah mengkaji dampak revisi tersebut sehubungan dengan tugas, fungsi dan kewenangan KPK.
Seperti diketahui, selama ini KPK tunduk pada UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 11 ayat 1: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).