A-Singles-Guide-to-Buying-an-HDB-Flat-1.jpg
Tren Ekbis

Bisakah Jakarta Punya Hunian Sekelas HDB Singapura?

  • Melalui skema Housing & Development Board (HDB), Singapura berhasil menjawab tantangan besar soal krisis perumahan, tak hanya dengan cepat, tapi juga dengan standar kualitas yang tinggi.

Tren Ekbis

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Singapura sudah lama jadi rujukan dalam hal penyediaan hunian terjangkau yang terintegrasi dan berkelanjutan. Melalui skema Housing & Development Board (HDB), negara-kota itu berhasil menjawab tantangan besar soal krisis perumahan, tak hanya dengan cepat, tapi juga dengan standar kualitas yang tinggi.

Model HDB bahkan mendapat pengakuan global karena konsisten menghadirkan kawasan hunian yang hijau, bersih, terjangkau, dan inklusif. Hari ini, lebih dari 80% warga Singapura tinggal di flat HDB, banyak di antaranya sudah berstatus milik pribadi.

Kondisi tersebut tentu membuat banyak pihak bertanya: mungkinkah pendekatan seperti HDB bisa diterapkan di Jakarta? Di tengah harga tanah yang makin tak masuk akal dan kebutuhan hunian yang terus meningkat, ibu kota jelas membutuhkan solusi menyeluruh dan jangka panjang.

Salah satu pendekatan yang mulai dilirik adalah skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), sebuah mekanisme kolaborasi dengan sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur publik, termasuk perumahan. Tapi seberapa jauh KPBU bisa meniru kesuksesan HDB?

Jejak Panjang HDB: Bukan Sekadar Rumah, Tapi Kebijakan Sosial

Dibentuk pada 1960, HDB Singapura lahir sebagai respons terhadap krisis perumahan pascakemerdekaan. Dalam lima tahun pertama, pemerintah berhasil membangun hampir 55.000 unit hunian, angka yang jauh melampaui capaian selama tiga dekade masa kolonial.

Keberhasilan HDB tak semata soal jumlah bangunan. Sejak awal, HDB dirancang sebagai kebijakan sosial yang menyeluruh. Kawasan hunian dilengkapi akses transportasi publik, ruang terbuka hijau, sekolah, pusat komunitas, dan fasilitas sosial lain. Semuanya dibangun dengan kendali penuh pemerintah, termasuk kepemilikan lahan dan pembiayaan.

Inilah yang menjadikan HDB bukan sekadar proyek fisik, tapi instrumen perencanaan kota yang strategis dan berjangka panjang. Dan hari ini, flat-flat HDB menjadi wajah utama perumahan di Singapura yang layak, terjangkau, dan menjunjung prinsip keadilan sosial.

KPBU di Indonesia: Peluang dan Tantangan

Berbeda dengan HDB, pendekatan KPBU mengandalkan kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta. Skema ini memberi ruang bagi swasta untuk berperan dalam pembangunan infrastruktur publik, dengan insentif dari pemerintah berupa regulasi, jaminan, dan skema fiskal.

Dalam konteks perumahan, KPBU telah mulai diterapkan dalam sejumlah proyek di Jakarta, seperti pembangunan rumah susun sewa (rusunawa) dan pengembangan kawasan Transit Oriented Development (TOD). Meskipun belum berjalan masif, skema ini menunjukkan potensi untuk menjawab kebutuhan hunian terjangkau.

Namun, pendekatan KPBU juga tak lepas dari tantangan. Skema ini masih bergantung pada minat swasta, dengan skala proyek yang sangat bergantung pada perhitungan keekonomian. Belum semua proyek KPBU dirancang dengan pendekatan kawasan atau mempertimbangkan aspek sosial secara menyeluruh seperti HDB.

HDB vs KPBU: Dua Model, Satu Tujuan

AspekHDB (Singapura)KPBU (Indonesia)
Kepemilikan TanahMayoritas negaraCampuran negara dan swasta
PembiayaanPemerintah dominanSwasta dominan dengan dukungan negara
Integrasi KawasanTerpusat dan sistemikMasih sektoral dan proyek per proyek
Tujuan SosialInklusif dan jangka panjangBergantung pada desain proyek
SkalaNasionalTerbatas per proyek

Kedua model jelas berbeda secara struktur dan pendekatan. Namun keduanya lahir dari kebutuhan yang sama: menyediakan hunian layak untuk masyarakat.

Mungkinkah Jakarta Membangun ‘HDB Versi Sendiri’?

Menurut Jakarta Property Institute, secara format, KPBU memang tak identik dengan HDB. Tetapi bukan berarti mustahil bagi KPBU untuk meniru dampaknya. Dengan syarat yakni desain kelembagaannya diperkuat, koordinasi antarlembaga berjalan optimal, dan perumahan diperlakukan bukan sebagai komoditas semata, melainkan hak dasar warga kota.

Kunci utamanya ada pada komitmen negara. HDB bisa berhasil karena negara hadir secara penuh dalam pembiayaan, perencanaan, hingga pengelolaan. KPBU, di sisi lain, membuka ruang bagi swasta, namun tetap membutuhkan arah dan kendali kuat dari pemerintah agar tak melulu berpihak pada logika pasar.

Jika KPBU disertai dengan kebijakan insentif yang berpihak, skema pendanaan inovatif, dan fokus pada pengembangan kawasan terintegrasi, bukan tidak mungkin Jakarta memiliki sistem hunian publik yang lebih adil.

HDB telah membuktikan bahwa negara bisa hadir kuat dalam urusan perumahan, dan menjadikan hunian sebagai bagian dari visi sosial dan urban. Di Indonesia, KPBU bisa menjadi titik berangkat menuju hal serupa, dengan versi kita sendiri.

Tidak harus sepenuhnya meniru, tetapi bisa belajar dari semangatnya: bahwa rumah bukan hanya soal dinding dan atap, tapi bagian dari hak hidup yang layak. “KPBU mungkin tak langsung menjadikan Jakarta setara Singapura, tetapi bisa menjadi jalan untuk mengurai krisis perumahan, satu kawasan demi kawasan,” tulis Jakarta Property Institute, dikutip Jumat 18 Juli 2025.