Demo Buruh Rokok Keemenkes - Panji 2.jpg
Tren Ekbis

APTI Desak Pemerintah Ambil Langkah Tegas untuk Selamatkan Pertembakauan Nasional

  • Data Kementerian Keuangan menyebutkan, dugaan pelanggaran rokok ilegal sepanjang tahun 2024 ditemukan bahwa rokok polos (tanpa pita cukai) menempati posisi teratas sebesar 95,44%.

Tren Ekbis

Ananda Astri Dianka

JAKARTA - Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji berpandangan, disetopnya pembelian tembakau oleh dua perusahaan rokok kretek besar PT Gudang Garam dan Nojorono di Temanggung merupakan kabut hitam perekonomian nasional. Hal itu akan memberikan dampak berganda (multiplier effect) roda ekonomi lokal dan nasional.

"Dampak tidak ada pembelian tembakau oleh dua perusahaan rokok kretek itu merupakan bencana ekonomi di Temanggung hingga 60%, bahkan bencana ekonomi akan merambah lebih luas di daerah sentra tembakau di Jawa Tengah," kata Agus Parmuji di Jakarta, dikutip Rabu, 25 Juni 2025. 

Di sektor tembakau, kata ia, terdapat kurang lebih 700 ribu keranjang tembakau yang diserap PT Gudang Garam melalui sentra pembelian di Temanggung yang menyerap di 6 kabupaten (Temanggung, Wonosobo, Kendal, Magelang, Boyolali, dan Kab. Semarang).

"Ilustrasinya di tahun terakhir pembelian 2023, uang yang beredar dari pabrikan Gudang Garam dalam kurun waktu 3 bulan pembelian satu keranjang tembakau dengan nilai pembelian rata rata Rp2.500.000, maka uang yang beredar di sekitar Rp1,75 Triliun yang hilang di ekonomi lokal. Dan itu menggerus ekonomi petani tembakau dan turunanannya seperti rontoknya tenaga kerja di desa-desa sentra tembakau, hancurnya pengrajin keranjang, dll," bebernya.

Belum lagi dampak ekonomi nasional. Ia memprediksi target penerimaan dari cukai hasil tembakau tahun 2025 tidak akan tercapai. "Penerimaan negara tidak tercapai, sementara produk-produk rokok yang tidak tercatat atau tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara semakin membanjiri tanah air," imbuhnya.

Data Kementerian Keuangan menyebutkan, dugaan pelanggaran rokok ilegal sepanjang tahun 2024 ditemukan bahwa rokok polos (tanpa pita cukai) menempati posisi teratas sebesar 95,44%.

"Data tersebut sangat jelas nyata bahwa masalah utama yang dihadapi pelaku industri kretek nasional adalah maraknya peredaran rokok ilegal. Fakta bahwa pemerintah  tidak bisa melindungi keberlanjutan produksi rokok legal!," cetus Agus Parmuji.

Dikatakan Agus, tingginya tarif cukai juga mengganggu ekonomi petani tembakau. Kebijakan tarif cukai yang eksesif akan berdampak langsung pada volume produksi batang rokok, lesunya daya beli rokok legal. Yang terjadi adalah setopnya pembelian tembakau oleh beberapa pabrik rokok besar dan menengah.

Ia pun mengingatkan pemerintah dan DPR agar tidak ada kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) mendatang, tujuannya agar industri kretek nasional legal bisa pulih terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal dan produsennya. Sebab, selama ini pungutan negara terhadap industri kretek sudah mencapai 70% - 82% pada setiap batang rokok legal.

"Ingat, gelombang tsunami PHK besar-besaran akan terjadi dan menambah jumlah pengangguran dan kemiskinan baru apabila pemerintah mengabaikan aspirasi kami!. Apakah pemerintah dapat menyediakan pekerjaan baru?," tanyanya.

Agus juga menyayangkan sikap pemerintah yang tak melindungi ekosistem pertembakauan. Sebab, hampir sepuluh tahun petani tembakau, budidaya tembakau dan industri tembakau nasional  belum pernah ada kebijakan yang menyejukan atau melindungi keberlangsungannya.  

Agus Parmuji yang juga Ketua Forum Pertembakauan Temanggung itu memprediksi, ketika tidak ada kajian ulang tentang kebijakan pertembakauan nasional dan pemerintah pusat tetap menjalankan misinya untuk memerangi industri kretek nasional, maka ke depan dipastikan bukan hanya PT. Gudang Garam yang akan tumbang.

"Itu akan diikuti oleh industri kretek besar dan menengah lainnya. Negara akan alami kerugian sangat besar. Ke depan, jangan sampai anak cucu kita hanya bisa mendengarkan cerita bahwa di Indonesia pernah ada pertanian tembakau dan memiliki petani tembakau terbaik di dunia. Itu akan menjadi dongeng semata!," ungkapnya.

Agus juga menyoroti keberadaan PP 28/2024, khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429 – 463. Hal itu semakin mengancam kelangsungan kretek sehingga kedaulatan ekonomi Indonesia hancur.

Ia mencontohkan, aturan pembatasan nikotin dan tar akan membuat petani tembakau kesulitan memenuhi ketentuan karena rata-rata tembakau lokal bernikotin tinggi. Sementara bahan tambahan di Pasal 432 akan menghilangkan ciri khas produk kretek yang selama ini bahan tambahannya menjadi nilai lebih.

"Kita memerlukan deregulasi. Pemerintah perlu meninjau ulang atau sinkronisasi peraturan satu dengan lainnya sehingga memberikan rasa keadilan demi cita-cita kemandirian ekonomi nasional," tegas Agus Parmuji.

Polemik kemasan polos (plain packaging) sebagai duplikasi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) juga mengganggu jutaan petani tembakau. Pasalnya, kemasan polos adalah inkonstitusional. Kebijakan peralihan ke kemasan polos dapat memperburuk kontraksi industri kretek nasional yang sudah menghadapi tekanan ekonomi berat.

"Sampai hari ini Presiden Prabowo Subianto belum meratifikasi FCTC. Karena itu, Kementerian Kesehatan tidak menjadikan FCTC sebagai acuan untuk fait accompli. Pasalnya, Kementerian Kesehatan selaku leader sektor tidak pernah melibatkan semua pihak seperti kementerian terkait, para pelaku usaha, pekerja, dan petani dalam penyusunannya," tegasnya.

Maka itu, jutaan petani tembakau, petani cengkeh, dan buruh rokok legal sangat berharap pada Presiden Prabowo Subianto dan Dirjen Bea Cukai Letjen Djaka Budi Utama untuk melindungi segenap rakyat Indonesia termasuk industri kretek legal nasional yang selama ini menjadi bantalan ekonomi penerimaan negara dari cukai dan pajak.

"Kami berharap beliau-beliau berkomitmen merumuskan kebijakan cukai hasil tembakau secara moderat, deliberatif dan berkeadilan demi melindungi ekosistem pertembakauan nasional," pungkas Agus Parmuji.