adobestock artificial intelligence.jpg
Tren Ekbis

AI dan Komputasi Kuantum: Peluang atau Perangkap buat Indonesia?

  • Dunia sedang balapan di teknologi AI dan kuantum. Tapi buat Indonesia, ikut lomba tanpa strategi bisa jadi blunder besar. Yuk, bedah kenapa kita harus hati-hati!

Tren Ekbis

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Dunia tengah memasuki babak baru revolusi teknologi, di mana kecerdasan buatan (AI) dan komputasi kuantum menjadi pilar utama. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS), China, dan Uni Eropa berlomba-lomba mendominasi dua teknologi strategis ini, menggelontorkan investasi besar untuk membangun infrastruktur, mencetak talenta, dan memperkuat posisi geopolitik mereka.

Namun, bagi Indonesia, mengikuti perlombaan ini bukan perkara mudah. Alih-alih menjadi peluang murni, tren global ini justru menghadirkan tantangan yang sangat kompleks.

“Kalau kita ikut berlari tanpa peta jalan yang jelas, ini bisa menjadi beban ekonomi yang berat. Kita harus tahu di mana posisi kita, dan ke mana kita ingin menuju,” ujar Ardi Sutedja, pakar keamanan siber dan pendiri Indonesia Cyber Security Forum dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu 5 Juli 2025.

Keterbatasan Infrastruktur dan Talenta AI

Indonesia masih tertinggal dalam hal infrastruktur digital. Ketika negara-negara maju sudah memiliki jaringan internet ultra-cepat, pusat data canggih, dan superkomputer untuk mendukung riset AI dan kuantum, Indonesia masih berjuang memastikan konektivitas yang merata, terutama di wilayah terpencil.

Sebagai perbandingan, China telah mengucurkan miliaran dolar untuk membangun pusat riset AI dan kuantum secara masif. Di sisi lain, alokasi anggaran Indonesia untuk riset dan pengembangan teknologi masih sangat terbatas. Hal ini membuat Indonesia sulit bersaing dalam pengembangan teknologi dasar AI dan kuantum.

Bukan hanya infrastruktur, krisis talenta juga menjadi penghambat. AI dan komputasi kuantum membutuhkan keahlian yang sangat spesifik, seperti ilmuwan data, insinyur perangkat lunak, hingga fisikawan kuantum, profesi yang masih sangat langka di Tanah Air.

“Kita ini kekurangan banget talenta digital. Kurikulum pendidikan kita belum selaras dengan kebutuhan teknologi masa depan,” ungkap Ardi.

Sementara itu, negara-negara seperti AS memiliki ekosistem pendidikan dan industri yang terintegrasi dengan kuat. Universitas dan lembaga riset mereka secara aktif melahirkan talenta digital setiap tahun, sedangkan di Indonesia, integrasi antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri masih belum optimal.

Persaingan teknologi ini juga melibatkan dimensi geopolitik yang serius. Negara yang menguasai AI dan kuantum akan memiliki keunggulan strategis di sektor ekonomi, pertahanan, bahkan intelijen. 

AI, misalnya, sudah digunakan untuk membangun sistem senjata otonom dan menganalisis data intelijen militer secara real-time. Dalam konteks ini, Indonesia tidak bisa gegabah bergantung pada teknologi dari luar.

“Ketergantungan yang terlalu tinggi pada teknologi asing berisiko pada keamanan nasional kita. Ini bisa membuka celah untuk serangan siber atau manipulasi data,” tegas Ardi.

Strategi Lokal, Pendekatan Realistis

Meski menghadapi tantangan besar, Indonesia tetap memiliki peluang untuk berkontribusi dalam ekosistem AI dan kuantum global, asalkan pendekatannya strategis dan realistis. Alih-alih mengejar posisi sebagai pemimpin global, Ardi menyarankan agar Indonesia fokus pada pengembangan aplikasi yang relevan dengan kebutuhan domestik.

“Kita bisa manfaatkan AI untuk sektor-sektor vital seperti pertanian, perikanan, dan logistik. Ini lebih masuk akal daripada memaksakan diri bersaing langsung di level fundamental teknologi,” katanya.

Misalnya, teknologi AI bisa digunakan untuk analisis cuaca, prediksi hasil panen, atau efisiensi distribusi pupuk. Dengan cara ini, Indonesia bisa memperkuat produktivitas ekonomi tanpa harus mengejar teknologi tingkat tinggi yang mahal dan kompleks. Langkah krusial lainnya adalah membangun regulasi yang adaptif. Regulasi ini perlu melindungi privasi dan keamanan data, sekaligus mendukung inovasi dan kolaborasi publik-swasta.

“Indonesia butuh aturan main yang jelas. Kita bisa belajar dari GDPR di Eropa, yang berhasil menjaga keseimbangan antara perlindungan data dan pertumbuhan teknologi,” jelas Ardi.

Pada akhirnya, keberhasilan Indonesia dalam menghadapi era AI dan kuantum tak ditentukan oleh besar kecilnya anggaran atau banyaknya laboratorium, tetapi oleh kecermatan strategi. Seperti yang disampaikan Ardi, “Kita tidak harus menjadi nomor satu di dunia. Yang penting adalah kita tahan banting, tahu prioritas, dan tidak salah langkah.”

Perlombaan ini bukan semata soal siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling siap.