Tren Pasar

Bitcoin Masuk Fase Bearish, Terseret Kejatuhan Wall Street dan Ketidakpastian The Fed

  • Bitcoin resmi memasuki fase bearish setelah terkoreksi lebih dari 26% dari rekor tertingginya. Sentimen risk-off global dan aksi ambil untung investor jangka panjang memperparah tekanan harga.
<p>Ilustrasi bitcoin / Pixabay</p>

Ilustrasi bitcoin / Pixabay

(Istimewa)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Volatilitas tinggi kembali menghantam pasar keuangan global secara serentak pada pekan ini. Pasar saham Amerika Serikat (AS) dan aset kripto kompak mengalami tekanan jual yang signifikan pada perdagangan Selasa, 18 November 2025, menciptakan gelombang kepanikan baru bagi para investor.

Bitcoin (BTC) tercatat anjlok lebih dari 26% hanya dalam enam minggu sejak mencetak rekor tertingginya bulan lalu. Penurunan tajam ini terjadi seiring dengan merosotnya indeks saham utama AS, menandakan adanya pergeseran sentimen risiko yang meluas di kalangan investor.

Kondisi ini memberikan sinyal peringatan serius bagi para pelaku pasar global. Untuk memahami dinamika tersebut, berikut adalah lima fakta kunci dan analisis mendalam mengenai faktor penyebab kejatuhan pasar aset berisiko yang terjadi secara serentak saat ini.

1. Korelasi Erat dengan Pelemahan Wall Street

Pasar saham AS dan Bitcoin kompak melemah pada penutupan perdagangan Selasa kemarin. Indeks Nasdaq yang didominasi saham teknologi merosot 1,21%, sementara Dow Jones turun 1,07%. Sejalan dengan itu, Bitcoin diperdagangkan di bawah level US$93.000 pada Rabu pagi.

Haider Rafique, mitra pengelola global di OKX, menilai penurunan ini tidak berdiri sendiri. “Penurunan Bitcoin merupakan bagian dari pergeseran sentimen risiko yang lebih luas,” ujarnya, menyoroti korelasi erat antara aset kripto dan pasar ekuitas global yang sedang tertekan.

2. Bitcoin Resmi Masuk Wilayah 'Bearish'

Penurunan harga saat ini menandakan Bitcoin secara teknis telah memasuki wilayah bearish, dengan koreksi lebih dari 20% dari rekor tertingginya. Data CoinMarketCap menunjukkan Bitcoin telah kehilangan nilai pasar lebih dari US$600 miliar selama periode penurunan harga yang drastis ini.

Tekanan jual ini bahkan sempat menyeret harga Bitcoin ke bawah level psikologis US$90.000 untuk pertama kalinya dalam tujuh bulan terakhir. Kondisi teknikal ini memicu kekhawatiran besar di kalangan pelaku pasar bahwa fase koreksi saat ini bisa berlangsung lama.

3. Pemicu Utama: The Fed dan Aksi Ambil Untung

Sentimen risk-off mendominasi pasar akibat ketidakpastian pemangkasan suku bunga The Fed bulan depan. Gerry O’Shea dari Hashdex Asset Management menambahkan, tekanan jual juga datang dari investor jangka panjang yang memutuskan untuk mengunci keuntungan setelah menikmati reli harga signifikan.

Kombinasi antara potensi suku bunga tinggi dan aksi ambil untung menciptakan tekanan ganda yang sulit dibendung pasar saat ini. “Bitcoin mengalami kesulitan akibat tekanan jual dari pemegang jangka panjang... tetapi juga ketidakpastian seputar kebijakan Fed,” kata Gerry.

4. Masalah Likuiditas Pasca 'Flash Crash'

Peter Chung dari Presto Research menyoroti masalah likuiditas yang semakin menipis di pasar. Sejumlah pembeli dan penjual meninggalkan pasar pasca-flash crash 10 Oktober yang dipicu isu perang dagang. Berkurangnya jumlah pesanan membuat pergerakan harga Bitcoin menjadi jauh lebih rentan.

Kondisi likuiditas yang kering ini memperparah dampak dari setiap aksi jual, menyebabkan penurunan harga yang lebih dalam dan cepat seperti yang terjadi belakangan. “Penurunannya diperparah oleh faktor spesifik kripto yaitu, jumlah pesanan yang menipis setelah likuidasi,” jelas Peter. 

5. Pudarnya Euforia Regulasi Trump

Sebelumnya, Bitcoin sempat menembus US$100.000 didorong optimisme terhadap regulasi ramah kripto di era pemerintahan Trump. Namun, sentimen positif regulasi ini kini tergerus oleh ketidakpastian makroekonomi dan eskalasi ketegangan dagang yang kembali dihidupkan oleh kebijakan luar negeri pemerintah AS.

Pasar tampaknya mulai mengalihkan fokus dari janji regulasi jangka panjang ke realitas ekonomi jangka pendek. Risiko perang dagang dan kebijakan moneter yang ketat kini lebih mendominasi persepsi investor dibandingkan dengan dukungan legislatif yang sebelumnya menjadi katalis utama kenaikan harga.