Fenomena Sosiopat: Menguak Kurangnya Empati Pejabat saat Banjir Sumatra
- Di tengah duka dan lumpuhnya infrastruktur akibat banjir parah di Pulau Sumatra, perhatian publik justru teralih pada fenomena "pencitraan bencana" yang masif di media sosial. Bagaimana membaca fenomena ini?

Maharani Dwi Puspita Sari
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Di tengah duka dan lumpuhnya infrastruktur akibat banjir parah di Aceh hingga Sumatra, perhatian publik justru teralih pada fenomena "pencitraan bencana" yang masif di media sosial.
Aksi-aksi pejabat publik, mulai dari selebritas politik hingga nama-nama besar yang hadir seperti Zulkifli Hasan membawa branding diri atau partai, memicu gelombang kritik keras.
Pencitraan yang ditunjukkan, seperti pemasangan banner besar bergambar wajah pejabat di lokasi bantuan dipertanyakan, apakah aksi ini tulus empati atau manuver politik yang diselimuti dengan krisis?
Fenomena ini, jauh dari kata ‘politik biasa’. Banyak orang yang mulai menyinggung spektrum perilaku tersebut sebagai sosiopat atau ciri-ciri perilaku anti-sosial yang tercermin dalam konteks kebencanaan.
Dalam konteks ini, para aktor politik melakukan aksi pencitraan dengan cara memperlakukan orang sebaik mungkin, yang ditunggangi dengan maksud tertentu. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi, karena dianggap tidak etis dan kurang menghargai masyarakat yang terdampak bencana.
Mengupas Aspek Psikologi: Apakah Ini Termasuk Sosiopat Sosial?
Melansir dari Psychology Today pada Selasa, 2 Desember 2025, sosiopat mengacu pada pola perilaku dan sikap antisosial, termasuk manipulasi, penipuan, agresi, dan kurangnya empati terhadap orang lain. Ciri utamanya adalah kurangnya empati, tidak adanya rasa bersalah, dan kecenderungan untuk memanipulasi orang lain demi keuntungan pribadi.
Dalam konteks kebencanaan, perilaku pencitraan pejabat seperti mencetak banner diri di logistik atau membuat konten dramatis di media sosial, dapat dianalisis sebagai bentuk:
1. Eksploitasi emosi
Dalam hal ini, para pejabat dengan sengaja memanfaatkan penderitaan korban sebagai latar belakang marketing politik. Pejabat tersebut menggunakan kerentanan emosional masyarakat untuk menaikkan popularitas atau engagement.
2. Minimnya empati fungsional yang mengakibatkan kerugian
Pejabat memiliki kemampuan intelektual dan memahami bahwa bencana merupakan kondisi buruk serta darurat. Namun, mereka gagal untuk berempati dan memprioritaskan kebutuhan korban di atas kebutuhan ego. Tindakan ini dimotivasi oleh adanya keuntungan politik, dan tidak didasari oleh kepahitan yang dirasakan oleh para korban.
3. Prioritas Diri di Atas Korban
Logistik dan sumber daya yang seharusnya difokuskan untuk penyaluran cepat, justru diperlambat demi urusan branding pribadi. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Kondisi ini merupakan tanda bahaya psikologis di dalam etika pelayanan bagi para pejabat.
Apa yang Seharusnya Dilakukan?
Berdasarkan regulasi dan etika kebencanaan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pejabat di lapangan seharusnya bertindak sebagai role model dengan cara:
- Mengutamakan kepentingan tugas yang fokus pada penyaluran, koordinasi, dan jaminan pemenuhan hak korban sesuai dengan UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
- Transparan dan akuntabel melalui pengelolaan kegiatan yang jujur, terbuka, dan dapat diaudit, tanpa mengedepankan citra personal.
- Berempati dan santun, untuk menghindari kesan pamer atau mencari panggung, melainkan menunjukkan kepedulian yang mendalam.
Fenomena pencitraan ini menjadi pengingat keras bagi publik dan pejabat, bahwa situasi darurat bukanlah ajang untuk kampanye, dan empati sejati tidaklah harus memerlukan banner yang besar. Cukup berikan rasa empati dan bersikap tanggap darurat, maka esensi dari pertolongan akan tercapai tanpa perlu manipulasi citra.

Maharani Dwi Puspita Sari
Editor
