Dampak AI ke Kehidupan Sosial: Manusia Bisa Kehilangan Empati
- Studi dari MIT Media Lab menyebut bahwa anak-anak yang terbiasa bermain dengan robot sosial menunjukkan penurunan empati terhadap manusia.

Idham Nur Indrajaya
Author


JAKARTA - Dalam satu dekade terakhir, kehadiran kecerdasan buatan (AI) bukan lagi sekadar konsep futuristik seperti di film-film sci-fi. Dari algoritma TikTok yang menebak selera humor kita, chatbot yang menjawab keluhan pelanggan, sampai AI yang mendeteksi kanker lebih cepat dari dokter, teknologi ini secara perlahan menyusup ke berbagai lini kehidupan.
Akan tetapi, di balik kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan, ada perubahan sosial besar yang sedang berlangsung — dan dampaknya tak bisa disepelekan.
AI merupakan disrupsi teknologi yang mengubah banyak hal, mulai dari ekonomi sampai ke aspek sosial. Lantas, apa saja aspek sosial yang terpengaruh oleh kehadiran kecerdasan buatan?
- Nikotin Bisa Bikin Kanker, Mitos atau Fakta?
- China dan India Mulai Ogah Batu Bara Indonesia
- Mau Dibikin Satu Harga, Berapa Harga Asli LPG 3 Kg?
1. AI dan Transformasi Dunia Kerja
Dampak AI yang paling mencolok terlihat dalam dunia kerja. Banyak pekerjaan manual yang tergantikan oleh otomatisasi. Menurut laporan World Economic Forum (2023), diperkirakan 85 juta pekerjaan akan tergantikan oleh mesin pada tahun 2025, namun juga akan tercipta 97 juta pekerjaan baru yang lebih menuntut keterampilan digital.
Otomatisasi vs Penciptaan Lapangan Kerja Baru
Pekerjaan seperti operator pabrik, kasir, dan agen call center kini mulai digantikan oleh AI. Teknologi seperti robotic process automation (RPA), computer vision, dan natural language processing telah memungkinkan perusahaan memangkas biaya tenaga kerja sambil meningkatkan efisiensi.
Namun, tidak semua pekerja memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengisi posisi baru yang tercipta. Banyak dari pekerjaan masa depan akan menuntut pemahaman teknologi, kemampuan berpikir kritis, dan literasi digital yang kuat.
Dampak Psikologis pada Pekerja
Rasa ketidakpastian, kecemasan akan kehilangan pekerjaan, dan kelelahan digital menjadi tantangan baru. Studi dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa pekerja yang merasa posisinya terancam oleh AI cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dan kepuasan kerja yang menurun.
Lebih jauh lagi, ini juga memengaruhi dinamika tempat kerja. Para manajer kini harus menjadi pemimpin transformatif yang tidak hanya mengelola pekerjaan, tapi juga perubahan mentalitas pekerja.
2. AI dan Ketimpangan Sosial
Teknologi AI memang powerful, tapi akses terhadapnya masih timpang. Perusahaan besar dengan modal besar bisa mengintegrasikan AI untuk mempercepat bisnis, sementara UKM dan masyarakat kelas bawah tertinggal.
Ketimpangan Digital
Menurut laporan UNESCO (2022), sekitar 2,9 miliar orang di dunia masih belum memiliki akses ke internet. Hal ini secara otomatis meminggirkan mereka dari manfaat AI yang umumnya berbasis daring. Ketimpangan ini berpotensi memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin, si urban dan si rural.
AI juga memperkuat "keunggulan yang sudah unggul". Data yang melimpah dan berkualitas tinggi menjadi bahan bakar AI. Perusahaan yang punya akses ke data masif akan berkembang lebih cepat, sementara yang tidak, tertinggal jauh.
Akses Terhadap Pendidikan Berbasis AI
Sekolah-sekolah elit di kota besar kini mulai menerapkan sistem belajar adaptif berbasis AI yang memungkinkan pembelajaran sesuai ritme siswa. Namun, sekolah di daerah tertinggal masih berjuang dengan infrastruktur dasar seperti listrik dan internet.
Baca Juga: Mengenal Potensi dan Risiko dari Black Box AI
3. AI Mengubah Cara Manusia Berinteraksi
AI bukan cuma merombak sektor kerja dan ekonomi, tapi juga menyentuh sisi paling manusiawi: hubungan sosial.
Chatbot dan Robot Sosial
Mulai dari chatbot customer service, voice assistant seperti Siri dan Alexa, hingga robot pendamping lansia di Jepang — semua membuat manusia makin terbiasa ‘berinteraksi’ dengan mesin. Studi dari MIT Media Lab menyebut bahwa anak-anak yang terbiasa bermain dengan robot sosial menunjukkan penurunan empati terhadap manusia.
Hubungan antarmanusia bisa jadi terasa lebih dangkal. Ketika kita makin sering berbicara dengan AI yang selalu responsif dan tidak menghakimi, kita mungkin akan menghindari percakapan nyata yang kompleks dan emosional.
Media Sosial dan Polarisasi
AI juga mendesain algoritma di media sosial yang menyajikan konten sesuai preferensi kita. Ini menciptakan "filter bubble" yang memperkuat keyakinan kita dan meminimalkan perbedaan. Dampaknya, masyarakat makin terfragmentasi dan diskusi publik jadi bising tanpa substansi.
Menurut Harvard Kennedy School, algoritma berbasis AI telah berkontribusi pada peningkatan polarisasi politik di berbagai negara, termasuk AS, Brasil, dan India.
4. AI dan Kesehatan Mental
Kecemasan dan Tekanan Sosial
Kehadiran AI generatif seperti ChatGPT, Midjourney, dan Sora menghadirkan tantangan baru di ranah kreatif. Banyak kreator merasa tak lagi punya keunikan karena karya mereka bisa ditiru atau bahkan disempurnakan oleh mesin.
Fenomena ini menimbulkan kecemasan eksistensial. Riset dari Stanford University (2023) menyebutkan bahwa hampir 34% profesional kreatif merasa pekerjaannya "terancam punah" oleh AI.
Terapi Berbasis AI
Di sisi lain, aplikasi seperti Woebot dan Wysa menunjukkan potensi AI dalam membantu orang mengatasi stres, kecemasan, dan depresi. Dengan dukungan NLP dan analisis emosi, aplikasi ini memberikan intervensi awal bagi mereka yang butuh bantuan.
Namun, para psikolog memperingatkan bahwa tanpa bimbingan manusia, AI berisiko memberikan saran yang salah atau tidak etis. AI masih belum bisa memahami nuansa emosi manusia secara utuh.
5. AI dalam Dunia Pendidikan
Pembelajaran yang Disesuaikan
AI memungkinkan sistem pembelajaran adaptif yang bisa menyesuaikan gaya belajar tiap siswa. Platform seperti Khan Academy dan Duolingo mengembangkan AI untuk menyesuaikan tingkat kesulitan materi berdasarkan performa pengguna.
AI juga digunakan untuk menganalisis pola belajar dan memberikan rekomendasi kepada guru, mempercepat intervensi bagi siswa yang mengalami kesulitan.
Tantangan: Ketergantungan dan Isolasi
Namun, muncul risiko bahwa siswa menjadi terlalu bergantung pada sistem otomatis dan kurang berkembang dalam soft skills seperti empati, kolaborasi, dan komunikasi.
UNESCO dalam laporan tahun 2023 menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara teknologi dan interaksi sosial dalam dunia pendidikan. Teknologi seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti manusia.
6. AI dan Etika Sosial
Bias Algoritma
AI dilatih dari data masa lalu, dan jika data itu mengandung bias, maka hasil AI juga akan bias. Contohnya, sistem AI yang digunakan untuk rekrutmen kerja bisa saja memprioritaskan kandidat dari gender atau ras tertentu, jika datanya merekam pola historis diskriminatif.
Kasus Amazon pada 2018 menjadi contoh nyata, di mana sistem rekrutmen otomatis mereka menilai pelamar perempuan lebih rendah karena data pelatihan yang didominasi pelamar pria.
Pengawasan Massal dan Privasi
AI juga digunakan dalam sistem pengawasan, seperti pengenalan wajah (facial recognition) dan pelacakan perilaku masyarakat. Di beberapa negara, ini menimbulkan kekhawatiran soal pelanggaran HAM dan privasi.
Menurut Electronic Frontier Foundation (EFF), penggunaan AI dalam pengawasan harus diawasi secara ketat oleh regulasi yang transparan agar tidak disalahgunakan oleh kekuasaan.
- Ada Bitch X Rich 2, Ini 8 Drama Korea Terbaru Tayang Juli 2025
- Dunia Damai Tanpa Hak Veto
- Siap-Siap! Ada Ribuan Lowongan Kerja di Pabrik Baterai EV Terintegrasi dari Halmahera sampai Karawang
7. AI dan Masa Depan Sosial Manusia
Menuju Masyarakat Kolaboratif
Jika dikelola dengan etika dan inklusif, AI bisa mempercepat terciptanya masyarakat kolaboratif: tenaga kerja manusia dan mesin saling melengkapi. Hal ini bisa meningkatkan produktivitas, kesejahteraan, dan efisiensi dalam berbagai sektor.
Contohnya, dalam bidang medis, AI dapat membantu mendiagnosis penyakit dengan akurat, sementara dokter tetap memegang peran dalam pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan etis dan empati.
Risiko Totalitarianisme Digital
Namun, para pakar seperti Yuval Noah Harari mengingatkan risiko lain: jika AI dikuasai oleh segelintir pihak, masyarakat bisa menuju ke arah totalitarianisme digital. Informasi bisa dimanipulasi, opini bisa dibentuk, dan kebebasan bisa direnggut secara halus.
Dalam wawancara dengan Financial Times, Harari menyebut AI sebagai "senjata pemusnah massal informasi" jika tak diawasi oleh sistem demokrasi yang kuat.
