Ramai Ajakan Beli Hutan Demi Cegah Banjir, Secara Regulasi Bolehkah?
- Wacana publik patungan membeli hutan di Indonesia terbentur status Hutan Negara dalam UU No. 41/1999. Pembelian lahan konservasi secara legal hanya dimungkinkan pada area berstatus APL atau hak milik individu.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Wacana publik mengenai urunan dana untuk membeli hutan kembali menguat di Indonesia. Fenomena ini muncul sebagai respons kolektif atas krisis ekologis dan banjir yang semakin parah, memicu pertanyaan tentang kemungkinan partisipasi langsung masyarakat menyelamatkan ekosistem lewat pembelian lahan.
Diskusi ini merujuk pada keberhasilan model konservasi di Sabah, Malaysia. Di wilayah Kinabatangan, kolaborasi antara World Land Trust (WLT) dan organisasi lokal HUTAN sukses membeli lahan kritis untuk koridor satwa, hingga akhirnya kawasan tersebut diakui UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada 2025.
Namun, penerapan model serupa di Indonesia menghadapi kendala regulasi fundamental. Struktur hukum agraria dan kehutanan di Tanah Air memiliki perbedaan signifikan dengan Malaysia, sehingga model "patungan beli hutan" memiliki batasan legal yang ketat dan tidak dapat diadopsi secara sembarangan.
1. Batasan Hukum: Status Hutan Negara
Hambatan utama terletak pada status kepemilikan lahan. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mayoritas kawasan hutan di Indonesia dikategorikan sebagai Hutan Negara. Artinya, kawasan tersebut berada di bawah kewenangan penuh pemerintah dan tidak dapat diperjualbelikan sebagai hak milik.
Status ini menjadikan hutan tidak bisa menjadi objek transaksi kepemilikan pribadi atau swasta. Lahan di dalam kawasan hutan hanya dapat diberikan melalui mekanisme perizinan pemanfaatan (konsesi), bukan perpindahan hak kepemilikan tanah (sertifikat hak milik) seperti yang umum dilakukan dalam model WLT.
Oleh karena itu, pembelian secara harfiah terhadap kawasan yang sudah berstatus hutan lindung atau konservasi negara adalah mustahil secara hukum. Dana publik tidak dapat digunakan untuk memprivatisasi aset negara, meskipun tujuannya adalah untuk pelestarian lingkungan atau reforestasi mandiri.
2. Opsi Alternatif: Lahan Area Penggunaan Lain (APL)
Meskipun Hutan Negara tidak dapat diperjualbelikan, transaksi dimungkinkan pada lahan berstatus Area Penggunaan Lain (APL). Pembelian dapat dilakukan jika lahan tersebut berada di luar peta kawasan hutan negara, misalnya tanah hak milik individual atau tanah eks-HGU yang telantar.
Syarat utamanya adalah lahan tersebut harus memiliki dokumen legal yang sah dan bersih (clean and clear). Sertifikat tanah tidak boleh tumpang tindih dengan klaim kawasan hutan negara atau sengketa lahan dengan masyarakat adat agar memiliki kepastian hukum jangka panjang.
Dalam skenario ini, dana publik dapat dialokasikan untuk membeli lahan kritis milik warga. Lahan tersebut kemudian dapat direstorasi kembali menjadi hutan (reforestasi) atau difungsikan sebagai zona penyangga (buffer zone) untuk melindungi kawasan hutan lindung utama dari perambahan pihak luar.
3. Model Kelembagaan: Yayasan atau Koperasi
Mengingat kepemilikan individu atas lahan luas seringkali dibatasi, diperlukan wadah kelembagaan. Model yang paling memungkinkan secara hukum di Indonesia adalah melalui koperasi konservasi atau yayasan lingkungan yang berbadan hukum resmi untuk memegang aset tanah hasil urunan dana publik tersebut.
Pendekatan ini memiliki kemiripan dengan strategi di Sabah, namun disesuaikan dengan hukum agraria Indonesia. Yayasan bertindak sebagai wali amanat (trustee) yang mengelola lahan tersebut untuk tujuan konservasi abadi, memastikan aset tidak dialihfungsikan untuk kepentingan komersial di masa depan.
Selain yayasan, skema perhutanan sosial seperti Hutan Desa juga menjadi opsi kolaborasi. Dalam model ini, masyarakat tidak membeli tanah, melainkan membantu mendanai operasional pengelolaan hutan yang hak kelolanya sudah diberikan negara kepada komunitas lokal untuk jangka waktu tertentu.
4. Contoh Lokal: Strategi Buffer Zone
Di Indonesia, inisiatif pembelian lahan untuk konservasi sebenarnya sudah dirintis dalam skala mikro. Aktivis lingkungan seperti Chanee Kalaweit di Kalimantan dan Sumatra telah menerapkan strategi pembelian lahan milik warga yang berbatasan langsung dengan hutan lindung.
Tujuannya bukan untuk menguasai hutan negara, melainkan menciptakan zona penyangga (buffer zone). Lahan yang dibeli dari warga ini dibiarkan tetap berhutan atau direstorasi, berfungsi sebagai perisai agar perkebunan sawit atau aktivitas ekstraktif tidak menempel langsung ke bibir hutan lindung.
Model ini membuktikan bahwa intervensi pembelian lahan tetap bisa dilakukan di Indonesia asalkan targetnya tepat sasaran. Fokusnya adalah mengamankan lahan APL di area perbatasan kritis untuk mencegah ekspansi industri masuk ke kawasan hutan yang lebih dalam.
5. Tantangan Biaya Operasional Berkelanjutan
Pembelian lahan hanyalah tahap awal dari konservasi. Tantangan terbesar dari model ini adalah biaya operasional pasca-pembelian. Menjaga lahan dari perambah liar, risiko kebakaran hutan, dan konflik tenurial membutuhkan biaya patroli dan pengawasan yang harus tersedia seumur hidup.
Tanpa skema pendanaan abadi (endowment fund), inisiatif pembelian lahan rentan gagal. Lahan yang sudah dibeli berisiko kembali rusak atau dijarah jika tidak ada pengelola profesional atau ranger yang digaji untuk menjaga aset konservasi tersebut secara rutin dan berkelanjutan.

Alvin Bagaskara
Editor
