Polemik Ahli Gizi MBG, RI Perlu Tiru Konsep Shokuiku Jepang
- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Presiden Prabowo telah menjangkau 13.514 SPPG, namun kapasitas ahli gizi Indonesia diuji. Pengamat menyarankan adopsi model Jepang, khususnya konsep Shokuiku, yang menjadikan makan siang sekolah sebagai "buku pelajaran hidup" untuk edukasi gizi dan etika makan. Keberhasilan MBG, yang didukung UNICEF dan Kemenkeu, bergantung pada penguatan ahli gizi dan integrasi edukasi, meniru Jepang yang mengoptimalkan bahan pangan lokal.

Maharani Dwi Puspita Sari
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dilaksanakan oleh pemerintah, menempatkan ahli gizi Indonesia pada peran strategis sekaligus penuh tekanan. Mereka dituntut memastikan kualitas menu, keamanan makanan, hingga edukasi gizi bagi jutaan penerima manfaat.
Belum lagi soal ketersediaan ahli gizi di pelosok daerah. Hal ini kemudian memunculkan ide kontroversial untuk mengganti ahli gizi dengan tenaga yang dilatih untuk mengawasi kecukupan gizi MBG. Hal ini yang menjadi persoalan dan pro-kontra di kalangan banyak pihak,
Dalam rapat terbatas bersama jajaran menteri kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, pada Rabu, 29 Oktober 2025, Presiden Prabowo Subianto membahas perkembangan pelaksanaan program prioritas nasional di berbagai bidang, salah satunya adalah MBG.
Dalam pertemuan tersebut, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana juga melaporkan saat ini tercatat sebanyak 13.514 satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) telah tersebar di sejumlah daerah di tanah Air. “Alhamdulillah hari ini kita sudah laporkan ada 13.514 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi yang tersebar di 38 provinsi, 509 kabupaten dan 7022 kecamatan dan berpotensi melayani 39,5 juta,” ujarnya.
Namun sejumlah pengamat menilai kapasitas ahli gizi Indonesia masih memerlukan penguatan, dan salah satu rujukan terbaik adalah negara Jepang. Jepang berhasil membangun sistem makan sekolah sebagai fondasi kesehatan nasional. Di Jepang, pendidikan gizi bukan sekadar teori, melainkan dihasilkan dari konsep shokuiku.
Belajar Konsep Shokuiku
Melansir dari Global Child Nutrition Foundation (GCNF) pada Selasa, 18 November 2025, shokuiku merupakan konsep yang tertanam kuat dalam program makanan sekolah nasional. Konsep shokuiku, yang dilembagakan melalui Basic Act on Shokuiku sejak 2005, menjadikan makan siang sekolah sebagai media pendidikan langsung.
Program makan yang disalurkan oleh sekolah di negara tersebut tidak hanya memastikan kecukupan gizi, tetapi juga mengajarkan anak tentang sumber makanan, budaya makan sehat, hingga etika mengonsumsi makanan.
GCNF juga melaporkan makan siang di sekolah Jepang berfungsi sebagai “living textbook”, di mana anak dilibatkan mulai dari penyajian hingga pembersihan ruang makan, sehingga proses makan ini menjadi bagian dari kurikulum perilaku dan pola hidup sehat. Program ini terbukti membuat anak Jepang mengonsumsi lebih banyak protein, buah, sayur, dan serat dibanding anak yang tidak mengikuti program makan di sekolah.
Praktik ini diperkuat oleh tenaga ahli gizi khusus di sekolah yang merancang menu berdasarkan musim, ketersediaan pangan lokal, dan standar nutrisi yang ketat. Hasilnya terlihat jelas, Jepang memiliki peringkat dengan tingkat obesitas anak terendah di dunia dan standar asupan gizi sekolah paling konsisten.
Melansir dari Nippon, Selasa, 18 November 20225, pendekatan sistematis ini lahir dari kolaborasi antara sekolah, pemerintah daerah, hingga komunitas lokal yang menghasilkan budaya makan sehat lintas generasi.
Program MBG yang berlaku di Indonesia, sebetulnya memiliki peluang mengarah ke model serupa. Selain itu, program sosial berskala raksasa ini dapat menjadi investasi sumber daya manusia, jika dikelola secara tepat.
UNICEF menyebut MBG sebagai peluang besar untuk menurunkan stunting dan membangun SDM unggul, sementara Kemenkeu menegaskan program ini sebagai fondasi menuju Indonesia Emas 2045. Namun, hal ini masih menjadi persoalan dan dalam laporan FEB UGM menunjukkan bahwa penyaluran MBG di tahap awal masih jauh dari ideal, termasuk terkait ketepatan sasaran dan efektivitas pengelolaan.
Di titik inilah peran ahli gizi Indonesia diuji. Tidak hanya menyiapkan menu sesuai standar, tetapi juga membangun sistem edukasi gizi di sekolah yang saat ini belum menjadi fokus utama. Jepang menunjukkan bahwa makan sehat tidak hanya cukup diberikan, tetapi harus dipelajari melalui interaksi sehari-hari. Pendekatan ini penting dilakukan oleh Indonesia yang sampai saat ini masih menghadapi ketimpangan pemahaman gizi, kebiasaan makan tinggi karbohidrat, dan rendah konsumsi protein hewani.
Dari sisi ekonomi, penguatan peran ahli gizi dapat membawa dampak signifikan. Jepang mengoptimalkan penggunaan bahan pangan lokal dalam menu sekolah untuk menggerakkan ekonomi desa, memperkuat petani kecil, dan menstabilkan rantai pasok makanan. Jika Indonesia meniru model ini, MBG dapat menjadi katalis ekonomi daerah, karena belanja pangan berskala nasional akan terserap ke UMKM, koperasi, dan petani.
Implementasi Program
Pelatihan bersama Jepang sudah mulai dilakukan. Melalui inisiatif program yang dilaksanakan oleh Japan International Cooperation Agency JICA, perwakilan program MBG dari Indonesia telah melihat langsung dapur sekolah Jepang, standar higiene, manajemen keamanan pangan, dan cara mengorganisir proses makan.
Namun, implementasinya di Indonesia masih membutuhkan penguatan kapasitas ahli gizi di lapangan baik dari penyusunan menu, pengawasan dapur komunitas, edukasi anak, hingga sistem distribusi bahan pangan yang efisien.
Kritik terbesar terhadap pelaksanaan MBG sejauh ini adalah ketidakseragaman standar di daerah, kurangnya tenaga ahli gizi, hingga minimnya integrasi edukasi gizi dalam kegiatan sekolah. Jika pembelajaran dari Jepang dapat diterapkan dengan baik, maka MBG dapat berkembang menjadi sistem gizi nasional yang kuat, menciptakan generasi muda yang sehat, produktif, serta menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi masa depan.

Chrisna Chanis Cara
Editor
