Patungan Beli Hutan Bukan Mimpi: Sudah Terbukti Berhasil di Malaysia
- Gerakan urunan dana membeli hutan terbukti efektif di Kinabatangan, Sabah. Kolaborasi WLT dan HUTAN selamatkan koridor satwa dan diakui UNESCO 2025.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Wacana publik di Indonesia belakangan ini ramai menyuarakan ide urunan dana untuk membeli hutan demi mencegah banjir. Seruan viral ini muncul sebagai respons atas kerusakan ekosistem di Sumatera, memicu pencarian solusi alternatif di luar mekanisme negara untuk menyelamatkan habitat yang tersisa.
Aspirasi netizen tersebut ternyata bukan utopia. Bukti keberhasilan konsep ini dapat ditemukan di tetangga sebelah, Sabah, Malaysia. Di wilayah Kinabatangan, kolaborasi strategis antara lembaga internasional World Land Trust (WLT) dan organisasi lokal HUTAN terbukti efektif mengamankan kawasan hutan kritis melalui mekanisme pembelian lahan.
Puncak dari inisiatif ini terjadi pada tahun 2025, saat UNESCO menetapkan wilayah Kinabatangan sebagai Cagar Biosfer (Biosphere Reserve). Model yang diterapkan di Sabah menawarkan data empiris berharga bagi Indonesia mengenai efektivitas pengelolaan dana donasi global oleh entitas lokal untuk penyelamatan ekosistem.
1. Peran Strategis Organisasi Lokal
Operasional proyek ini bertumpu pada HUTAN, sebuah organisasi konservasi akar rumput yang didirikan pada 1998. Berbasis di dataran banjir Kinabatangan, entitas ini dikelola sepenuhnya oleh warga lokal yang berperan sebagai peneliti satwa, tim reforestasi, dan unit penjaga habitat.
Dalam struktur kerja sama ini, WLT tidak memegang kendali operasional langsung. Sejak kemitraan resmi dimulai pada 2008, WLT berperan sebagai penyedia pendanaan untuk akuisisi lahan. Dana tersebut dihimpun dari donatur global untuk disalurkan kepada mitra di lapangan.
Sementara itu, HUTAN bertanggung jawab penuh atas proses pembelian, legalitas kepemilikan, dan manajemen konservasi. Pembagian peran ini memastikan bahwa eksekusi program tetap relevan dengan konteks sosial setempat, sekaligus memberdayakan komunitas lokal dalam menjaga sumber daya alam mereka sendiri.
2. Strategi Pembentukan Koridor Satwa
Alokasi pendanaan WLT di Sabah difokuskan pada pembentukan koridor satwa (wildlife corridors). Hutan di Kinabatangan mengalami fragmentasi masif akibat ekspansi perkebunan dan penebangan, yang memutus jalur migrasi alami bagi berbagai spesies satwa liar di kawasan tersebut.
Melalui skema akuisisi lahan, WLT dan HUTAN membeli petak-petak tanah strategis di sepanjang tepi sungai. Pembelian ini bertujuan untuk menyambungkan kembali blok-blok hutan yang terisolasi, menciptakan jembatan ekologis yang vital bagi pergerakan satwa di lanskap yang terpecah.
Konektivitas ini memungkinkan satwa berpindah antar kawasan konservasi dengan aman. Hal ini meminimalkan risiko konflik antara satwa liar dengan manusia di area perkebunan atau pemukiman, serta memastikan keberlanjutan siklus hidup spesies di habitat aslinya.
3. Urgensi Perlindungan Biodiversitas
Sabah terletak di jantung hutan tropis Borneo yang dikenal memiliki tingkat biodiversitas tinggi. Kawasan ini merupakan habitat alami bagi spesies endemik yang terancam punah, termasuk orangutan Borneo, gajah kerdil (pygmy elephant), dan macan tutul awan.
Isolasi habitat akibat deforestasi diidentifikasi sebagai ancaman utama bagi kelangsungan hidup spesies tersebut. Tanpa jalur migrasi yang memadai, populasi satwa berisiko mengalami penurunan kualitas genetik akibat perkawinan sedarah (inbreeding) dalam kelompok yang terisolasi.
Strategi pembentukan koridor hutan berfungsi memitigasi risiko tersebut. Perluasan area jelajah melalui pembelian lahan memberikan ruang yang memadai bagi satwa untuk mencari sumber pakan, sekaligus menjaga keragaman genetik yang krusial bagi daya tahan populasi liar jangka panjang.
4. Penetapan Status UNESCO 2025
Konsistensi dalam akuisisi dan restorasi lahan membuahkan pengakuan internasional. Penetapan status Kinabatangan Biosphere Reserve oleh UNESCO pada 2025 mencakup area seluas 413.866 hektare. Kawasan ini meliputi hutan hujan, lahan basah, dan area pemukiman yang dikelola berkelanjutan.
Status Cagar Biosfer ini memvalidasi keberhasilan model konservasi berbasis komunitas yang diterapkan. Pengakuan ini tidak hanya melindungi aspek ekologis, tetapi juga mendorong integrasi antara pelestarian alam dengan pembangunan ekonomi masyarakat yang berada di sekitar kawasan penyangga.
Rencana manajemen kawasan kini diperluas mencakup pemulihan hutan riparian. Program ini juga fokus pada mitigasi konflik manusia-satwa serta penerapan praktik perkebunan berkelanjutan yang selaras dengan prinsip konservasi, memastikan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan ekologi.
5. Model Kepemilikan Aset Konservasi
Aspek fundamental dari model konservasi di Sabah adalah struktur kepemilikan tanah. WLT menerapkan kebijakan ketat di mana lahan yang dibeli menggunakan dana internasional tetap menjadi aset nasional. Sertifikat tanah dipegang sepenuhnya oleh mitra lokal (HUTAN) sesuai hukum Malaysia.
Mekanisme ini menjamin bahwa aset konservasi tetap berada di bawah kedaulatan yurisdiksi negara setempat. Pendekatan ini menghindari isu penguasaan asing atas sumber daya alam, yang sering menjadi kendala dalam proyek konservasi internasional.
Dana publik global berfungsi sebagai katalisator finansial. Sementara itu, eksekusi, kepemilikan aset, dan pengambilan keputusan strategis sepenuhnya dikelola oleh organisasi lokal yang memiliki pemahaman mendalam terhadap dinamika sosial dan hukum di wilayah tersebut.

Alvin Bagaskara
Editor
