Tren Global

Transisi Energi Bersih: Vietnam Larang Motor Bensin, RI Masih Andalkan Insentif

  • Vietnam akan melarang motor bensin mulai 2026, sementara Indonesia memilih transisi bertahap melalui insentif EV dan penguatan industri lokal. Simak perbedaan strateginya.
Macet Jalur Puncak.jpg
Kepadatan kendaraan wisatawan dan pemudik pada H+2 Lebaran di Jalan Raya Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis, 5 Mei 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Pemerintah Hanoi mengambil langkah berani dalam upaya menekan polusi udara dan mempercepat transisi ke kendaraan ramah lingkungan. 

Dikutip laman Reuters, Kamis, 23 Oktober 2025, mulai 1 Juli 2026, semua sepeda motor dan skuter bermesin bensin akan dilarang beroperasi di wilayah pusat kota dalam kawasan Ring Road 1. Kebijakan ini kemudian akan diperluas ke Ring Road 2 pada 2028, dan mencakup seluruh wilayah hingga Ring Road 3 pada 2030. 

Tujuan akhirnya dari kebijakan ini diharapkan dapat menghapus kendaraan bermesin bensin dari jalanan ibu kota secara bertahap untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Langkah tersebut langsung berdampak signifikan terhadap pasar kendaraan listrik di Vietnam. Produsen lokal seperti VinFast mencatat lonjakan penjualan e-scooter dan e-bike hingga lebih dari 480% sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2025. 

Namun, kebijakan ini juga menuai tantangan besar, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang masih bergantung pada motor bensin untuk bekerja. 

Banyak pekerja harian, ojek, dan kurir menyuarakan kekhawatiran terkait biaya tinggi untuk beralih ke motor listrik serta keterbatasan infrastruktur pengisian daya yang masih minim di kota Hanoi.

Baca juga : Tren Pasar Properti Bergeser: Tangerang Resmi Salip Jakarta Selatan Jadi Lokasi Paling Dicari

Bagaimana Posisi Indonesia ?

Berbeda dengan Vietnam yang memilih jalur pelarangan langsung, Indonesia menempuh strategi yang lebih gradual dengan menyeimbangkan antara insentif konsumen dan penguatan industri lokal. 

Pemerintah fokus mendorong transisi dua arah melalui kebijakan fiskal dan investasi industri dalam negeri. Data terbaru menunjukkan penjualan kendaraan listrik di Indonesia melonjak tajam. 

Berdasarkan catatan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pada kuartal I 2025, penjualan EV mencapai 27.616 unit, naik dari 19.260 unit pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada kendaraan berbasis baterai (BEV) yang meningkat hingga 152,5%.

Untuk mempercepat adopsi, pemerintah memberikan berbagai insentif fiskal, termasuk pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi kendaraan listrik yang memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40%. 

Regulasi ini diatur dalam PMK 12/2025 dan menjadi bagian penting dalam strategi pemerintah agar industri otomotif nasional tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga produsen utama kendaraan listrik.

Indonesia juga memperkuat rantai pasok industri melalui pemanfaatan cadangan nikel yang melimpah sebagai bahan baku utama baterai EV. Pemerintah menargetkan produksi 600.000 unit kendaraan listrik pada 2030 dan dua juta unit kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) di jalan raya pada tahun yang sama.

Dukungan investasi terus mengalir dari sejumlah produsen besar, termasuk VinFast dan BYD, yang telah mengumumkan rencana pembangunan pabrik serta infrastruktur pengisian daya berskala besar di Tanah Air. VinFast bahkan berencana membangun hingga 100.000 stasiun pengisian listrik di seluruh Indonesia.

Meski pasar otomotif nasional secara umum mengalami perlambatan, sektor EV menjadi titik terang yang mendorong pertumbuhan baru. Pemerintah menargetkan pembangunan 2.400 stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) pada 2025 untuk memperluas jangkauan pengguna kendaraan listrik, terutama di wilayah perkotaan besar.

Kedua negara sama-sama berupaya menuju mobilitas berkelanjutan, namun strategi dan risikonya berbeda. Vietnam menempuh jalur cepat melalui pelarangan kendaraan bensin di wilayah perkotaan, yang dinilai efektif mengurangi polusi namun berisiko memunculkan gejolak sosial karena kesiapan infrastruktur dan kemampuan masyarakat masih terbatas. 

Sementara itu, Indonesia memilih pendekatan insentif progresif tanpa pelarangan langsung, dengan harapan transisi berjalan lebih halus tanpa mengganggu ekonomi rakyat.

Fokus Indonesia terletak pada pembangunan ekosistem industri lokal. Melalui TKDN dan investasi baterai, Indonesia berharap bisa menjadi pusat produksi EV di kawasan Asia Tenggara. 

Baca juga : TKA SMA Digelar Awal November, PGRI Dorong Guru dan Siswa Jaga Integritas

Tantangannya, jika pertumbuhan industri dalam negeri tidak sejalan dengan laju permintaan, maka ketergantungan terhadap impor bisa meningkat, atau subsidi pemerintah justru membengkak. 

Di sisi lain, langkah cepat Vietnam memang mempercepat transisi dan menurunkan emisi, tetapi berpotensi memunculkan kesenjangan sosial serta ketidakmerataan akses kendaraan listrik.

Secara keseluruhan, Indonesia berada pada jalur transisi yang lebih proaktif namun hati-hati dibandingkan Vietnam. Pemerintah menggabungkan strategi mendorong permintaan lewat insentif fiskal dan menumbuhkan industri melalui produksi lokal serta pengembangan rantai pasok baterai.

Tantangan masih besar, terutama terkait pembangunan infrastruktur pengisian dan peningkatan daya beli masyarakat terhadap kendaraan listrik.

Namun keunggulan Indonesia terletak pada potensi sumber daya dan posisi strategis dalam rantai pasok global. Dengan cadangan nikel yang besar, target industri yang jelas, dan dukungan kebijakan yang terus berkembang, Indonesia berpeluang menjadi pusat manufaktur dan inovasi kendaraan listrik di Asia Tenggara.