Tren Global

Pasca-Damaikan Gaza, akankah Trump Raih Nobel Perdamaian?

  • Meski dipuji atas keberhasilan diplomasi di Gaza, Donald Trump dinilai masih sulit memenangkan Nobel Perdamaian 2025 karena faktor politik dalam Komite Nobel Norwegia.
trump.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Menjelang pengumuman Hadiah Nobel Perdamaian 2025 pada Jumat, 10 Oktober 2025  di Oslo, Norwegia, dunia menyoroti perkembangan terbaru dari Timur Tengah yang dinilai dapat memengaruhi peta politik global. 

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan tercapainya kesepakatan tahap pertama (phase one) antara Israel dan Hamas , sebuah langkah yang mencakup pembebasan seluruh sandera serta penarikan sebagian pasukan Israel dari wilayah konflik. 

Di tengah keputusasaan panjang, kabar ini memunculkan kembali nama Trump dalam daftar calon penerima Nobel Perdamaian. Bagi banyak pihak, kabar keberhasilan diplomatik ini terasa mengejutkan. Trump, yang selama masa kepresidenan pertamanya dikenal dengan gaya konfrontatif, kini berusaha memposisikan diri sebagai pembawa damai di Timur Tengah. 

Dukungan pun berdatangan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, pemerintah Kamboja dan pemerintah Pakistan secara terbuka menyampaikan apresiasi, bahkan mengajukan nominasi resmi bagi Trump untuk Nobel Perdamaian.

Beberapa tokoh politik Amerika Serikat juga memberikan pengakuan, termasuk Senator Demokrat Richard Blumenthal, yang menilai Trump “pantas mendapat pujian” apabila kesepakatan tersebut berhasil diwujudkan secara nyata. 

Peter Wallensteen, analis dari Universitas Uppsala, menyebut peluang Trump mungkin akan “lebih besar di tahun depan” apabila kesepakatan ini dapat dikonsolidasikan dengan baik dan menghasilkan gencatan senjata yang permanen.

“Pengumuman yang mencantumkan nama Trump tampaknya tidak mungkin saat ini, bahkan setelah kemajuan di Gaza.” ujar Richard, dikutip media Brazil, Gazeta, Jumat, 10 Oktober 2025.

Komposisi Komite Nobel Norwegia yang terdiri dari lima anggota berhaluan kiri-tengah juga disebut tidak menguntungkan bagi presiden Amerika tersebut. Ketua komite, Jørgen Watne Frydnes, dan anggota Berit Reiss-Andersen sama-sama ditunjuk oleh Partai Buruh Norwegia, yang dikenal berpandangan progresif.

Di sisi lain, rekam jejak Trump yang kerap menarik Amerika dari berbagai perjanjian internasional serta memicu perang dagang dianggap bertentangan dengan semangat Nobel yang mengedepankan kerja sama multilateral.

Senator Amerika Serikat, Dick Durbin bahkan mengingatkan agar publik tidak terburu-buru menilai. Meski begitu, momentum politik yang diciptakan Trump jelas telah mengubah arah pembicaraan global mengenai Gaza.

“Mari kita tidak terburu-buru, kita masih dalam tahap paling awal dari rencana perdamaian yang diajukan.” ujar Dick

Sementara itu, analis CNN Brett McGurk menyatakan bahwa sangat kecil kemungkin Trump akan menerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini. Namun ia juga optimis Trump berpeluang meraih nobel tahun depan

“Jika presiden AS berhasil mengkonsolidasikan perjanjian damai di Gaza dan Ukraina, ia dapat secara sah mengklaim Hadiah Nobel Perdamaian ke-125 tahun depan.” ujar Brett.

Sejak pertama kali dianugerahkan pada tahun 1901, Hadiah Nobel Perdamaian diberikan kepada tokoh yang mencapai “karya terbesar atau terbaik untuk persaudaraan antarbangsa dan untuk memajukan perdamaian.”

Empat presiden Amerika Serikat sebelumnya telah menerima penghargaan ini, Theodore Roosevelt, Woodrow Wilson, Jimmy Carter, dan Barack Obama pada tahun 2009.

Trump sendiri kerap menegaskan bahwa dirinya tidak menginginkan Nobel karena kesombongan pribadi, tetapi sebagai pengakuan atas “upaya perdamaian global” yang dipimpin pemerintahannya.

“Mereka tidak akan pernah memberi saya Hadiah Nobel Perdamaian, tetapi saya pantas mendapatkannya. Itu akan menjadi kehormatan besar bagi negara kita.” ujar Trump dikutip New York Times.

Luka dan Lelah di Gaza

Data dari Kementerian Kesehatan Gaza mencatat sedikitnya 69.000 korban tewas, dan sekitar 80% di antaranya adalah warga sipil. Reruntuhan kota menunjukkan betapa dahsyatnya kehancuran, 90% rumah di Gaza hancur atau rusak, membuat 1,9 juta dari total 2,1 juta penduduk kehilangan tempat tinggal.

Blokade total yang berlangsung selama konflik juga memicu bencana kelaparan parah, menewaskan lebih dari 450 orang. termasuk 150 anak-anak.

Di sisi lain, masyarakat Israel juga menunjukkan kelelahan yang mendalam. Sebuah survei dari Israel Democracy Institute menunjukkan bahwa 66% warga Israel menginginkan perang segera diakhiri, sementara 64% menilai Perdana Menteri Benjamin Netanyahu harus mundur. 

Kesepakatan “phase one” yang diumumkan Trump menjadi titik balik penting. Ia membuka peluang bagi dialog lanjutan yang lebih komprehensif, sesuatu yang selama dua tahun terakhir terasa mustahil. 

Meski masih dini untuk menyebutnya sebagai perdamaian sejati, langkah ini menunjukkan bahwa diplomasi masih memiliki ruang untuk bekerja, bahkan di antara pihak-pihak yang selama ini tak pernah saling percaya.

Apakah ini akan menjadi langkah awal menuju penghentian perang yang sesungguhnya, atau sekadar jeda singkat sebelum konflik kembali membara? Dunia masih menunggu jawabannya. Namun satu hal pasti, di balik kepentingan politik dan perebutan pengaruh, rakyat sipil di Gaza dan Israel hanya menginginkan hal yang sama, kehidupan yang normal, aman, dan manusiawi.