Tren Global

Mobil Listrik China Kian Perkasa, Ford Akui Kalah dan Pangkas Produk EV di AS

  • Ford Motor Company, salah satu raksasa otomotif AS, terpaksa menghentikan sebagian model mobil listriknya dan mencatat penurunan nilai aset EV hingga US$19,5 miliar.
FORD-RMA-DEALER-LOCATION-2023_03.jpg.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV) Amerika Serikat mengalami pukulan serius. Ford Motor Company, salah satu raksasa otomotif AS, terpaksa menghentikan sebagian model mobil listriknya dan mencatat penurunan nilai aset EV hingga US$19,5 miliar. 

Langkah ini menandai kemunduran besar industri EV AS di tengah menguatnya dominasi produsen mobil listrik China di pasar global. CEO Ford Jim Farley secara terbuka mengakui bahwa bisnis EV perusahaan terus merugi sejak 2023.

“Kita tidak bisa mengalokasikan uang untuk hal-hal yang tidak akan menghasilkan uang, meskipun saya menyukai produk-produk itu, pelanggan di AS tidak akan mau membayarnya.” kata Farley, dalam peryataan resminya, dikutip Reuters, 17 Februari 2025.

Ford tercatat telah merugi sekitar US$13 miliar dari bisnis kendaraan listrik dalam dua tahun terakhir. Kondisi ini memaksa perusahaan mengevaluasi ulang strategi besar elektrifikasi yang sebelumnya digadang-gadang sebagai masa depan industri otomotif Amerika.

Baca juga : Tak Sekadar Naik Turun Harga, Ini Cara Membaca Grafik Saham dengan Benar

Subsidi Dicabut, EV AS Kehilangan Daya Saing

Kemunduran Ford tak lepas dari perubahan kebijakan otomotif di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Subsidi kendaraan listrik dicabut, aturan emisi dilonggarkan, dan kredit pajak EV sebesar US$7.500 berakhir pada 30 September. Akibatnya, minat konsumen AS terhadap EV anjlok tajam.

Pangsa pasar EV di Amerika kini hanya sekitar 5 persen, jauh tertinggal dibanding China yang mendekati 50 persen dan Eropa sekitar 25 persen.

Kondisi ini sangat kontras dengan China, yang terus mendorong EV lewat subsidi besar, skala produksi masif, dan teknologi baterai murah, membuat mobil listrik buatan China semakin kompetitif secara harga dan kualitas. Farley mengakui bahwa tantangan Ford bukan masalah tunggal, melainkan akumulasi tekanan global. 

“Bukan hanya satu hal. Sebenarnya ini adalah kombinasi dari semuanya, selama beberapa bulan terakhir, tim menjadi sangat menyadari. Kita harus melakukan perubahan.”jelasnya.

Sebagian besar produsen mobil AS kini menghadapi dilema serupa, EV sulit dijual secara menguntungkan di dalam negeri, tetapi tetap harus diproduksi untuk pasar China dan Eropa demi memenuhi regulasi dan bersaing langsung dengan merek-merek China yang agresif.

Konsultan otomotif Michael Dunne menilai industri otomotif AS praktis tidak punya pilihan. “Kendaraan listrik tidak akan hilang, jadi apakah kita akan bersaing secara global atau kita hanya akan berdiam di dalam negeri?”, ujar Dunne.

Baca juga : Berebut Saham SUPA: Pesanan Tembus 1 Juta, Ritel Dapat Remahan

Strategi Global Gagal, Ford Tinggalkan “One Ford”

Tekanan tersebut memaksa Ford meninggalkan strategi global lama seperti konsep “One Ford”, yakni menjual model kendaraan yang sama di seluruh dunia. Kini Ford memilih strategi regional, dengan model berbeda untuk tiap pasar, meski biayanya lebih mahal.

Untuk menekan biaya dan mengejar teknologi, Ford mulai bermitra dengan produsen lain, termasuk Renault untuk EV murah di Eropa dan menjajaki kerja sama dengan mitra China untuk platform EV.

Namun, sejumlah rencana tetap dipangkas, Ford memutuskan membatalkan produksi van listrik komersial di Eropa, meski masih mempertahankan rencana peluncuran truk listrik ukuran menengah seharga US$30.000 pada 2027.

“Sebagai perusahaan global yang bersaing dengan perusahaan Tiongkok dan lainnya, kami tidak punya waktu,” ujar Farley.

Seiring lesunya EV murni, Ford, seperti juga Toyota kini semakin mengandalkan kendaraan hibrida, yang penjualannya justru tumbuh pesat. Investor pun menyambut positif perubahan arah ini.

“Kendaraan hibrida adalah masa depan bagi produsen mobil konvensional,” kata Elliot Johnson, Kepala Investasi Evolve ETFs.

Langkah Ford juga diikuti General Motors (GM), yang mencatat kerugian US$1,6 miliar akibat pengurangan rencana EV dan mulai mengalihkan pabrik EV ke produksi mobil bensin dan hibrida.

Menurut Stephanie Valdez Streaty dari Cox Automotive, koreksi besar yang dialami Ford mencerminkan kondisi industri secara keseluruhan. “Ekonomi kendaraan listrik masih belum berjalan tanpa dukungan pemerintah.” ujar Valdez

Meski memangkas ambisi jangka pendek, Ford tetap menargetkan 50 persen penjualan global pada 2030 berasal dari EV, hibrida, atau model listrik jarak jauh, dari posisi saat ini sekitar 17 persen.

Namun, realitas pasar menunjukkan satu hal jelas, mobil listrik China kini unggul secara harga, volume, dan kecepatan inovasi, sementara produsen Amerika masih berjuang mencari model bisnis yang berkelanjutan tanpa subsidi.

Langkah Ford memang bukan menyerah sepenuhnya, tetapi menjadi sinyal kuat bahwa Amerika kalah langkah dalam perlombaan EV global, setidaknya untuk saat ini.