Deretan Kerusakan Lingkungan yang Memicu Banjir di Bali
- Akibat banjir yang melanda sejumlah wilayah di Bali, jumlah korban meninggal terus bertambah. Per 12 September 2025, korban tewas menjadi 18 orang. Kerusakan lingkungan menjadi pemicu utama.

Distika Safara Setianda
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Kalau mendengar kata Bali, apa yang ada di pikiran kalian? Kebanyakan orang pasti akan menjawab wisatanya. Baru-baru ini, Bali diterjang banjir besar sejak Rabu, 10 September 2025.
Akibat banjir yang melanda sejumlah wilayah di Bali, jumlah korban meninggal terus bertambah. Per 12 September 2025, korban tewas menjadi 18 orang.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, penyebab banjir Bali yaitu disebabkan oleh adanya tumpukan sampah yang menyumbat aliran air, dan alih fungsi lahan.
Menurut Hanif, pembangunan hotel, cottage, dan perumahan di kawasan lereng dan sawah berpotensi merusak struktur tata ruang alam. Ia mengatakan, hal ini bisa menurunkan kapasitas dukung lingkungan dan meningkatkan potensi bencana.
Kerusakan Lingkungan di Bali
Berikut ini beberapa kerusakan lingkungan yang terjadi di Bali:
1. Permasalahan Sampah dan Polusi Plastik
Pantai Kedonganan di Jimbaran, Bali, masih menjadi langganan sampah kiriman dari waktu ke waktu. Hamparan pasir di depan pasar ikan terkenal di Pulau Dewata hampir tak terlihat karena tertutup limbah produk sekali pakai yang menumpuk di hampir seluruh area.
Sungai Watch, organisasi lingkungan yang berfokus menghentikan sampah plastik masuk ke laut, kembali mengeluarkan seruan darurat agar masyarakat ikut serta dalam aksi bersih-bersih. Berkat upaya ini, sebanyak 66,3 ton sampah berhasil dikumpulkan dari Pantai Kedonganan.
Aksi bersih-bersih pantai ini melibatkan lebih dari 2.989 relawan dan berlangsung dari 24 Desember 2024 hingga 5 Januari 2025. Di antara tumpukan sampah, ditemukan dua penyu laut yang masih hidup terjebak di antara plastik, menyoroti dampak serius polusi plastik terhadap kehidupan satwa liar.
3. Overtourism
Sejak lama Bali menjadi tujuan wisata, baik untuk wisatawan domestik maupun mancanegara. Keindahan alamnya yang memukau, menjadikan Bali populer di dunia. Tentu hal tersebut menyebabkan overtourism yang terus meningkat setiap tahunnya.
Lonjakan jumlah wisatawan memang mendorong pemulihan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, tapi hal ini juga menimbulkan overtourism, tekanan berlebihan yang merusak lingkungan, memicu konflik sosial, dan mengancam kesakralan budaya.
3. Alih Fungsi Lahan dan Deforestasi
Alih fungsi lahan mengakibatkan perubahan signifikan pada tutupan lahan, yang mencerminkan pergeseran dalam pola penggunaan lahan. Kawasan hijau yang sebelumnya sebagai lahan pertanian dan kawasan penyimpanan air, kini berubah menjadi bangunan-bangunan beton.
Setelah pulih dari pandemi Covid-19, alih fungsi lahan di Bali meningkat dan sangat masif. Akibatnya, luas lahan sawah yang produktif terus berkurang, yang juga tercermin dari menurunnya surplus produksi beras di Bali.
Dilansir dari dlh.bulelengkab.go.id, ketika lahan-lahan penting ini dialihfungsikan menjadi kawasan komersial atau perumahan, permukaan tanah yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan air hujan menjadi tertutup, sehingga kemampuan tanah menyerap air menurun.
Kondisi ini berpotensi meningkatkan risiko banjir sekaligus menurunkan kualitas air tanah.
4. Penurunan Kualitas Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang di Bali juga menghadapi ancaman serius. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Bali, lebih dari 50% terumbu karang di kawasan pesisir mengalami kerusakan.
Dilansir dari diskelkan.baliprov.go.id, kerusakan ini disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti penangkapan ikan menggunakan bom dan racun, serta efek perubahan iklim yang memicu pemutihan terumbu karang (coral bleaching).
Nusa Penida, salah satu kawasan dengan terumbu karang terbaik di Bali, juga mengalami kerusakan. Pemutihan terumbu karang di wilayah ini dilaporkan meningkat selama lima tahun terakhir akibat kenaikan suhu air laut.
Selain itu, tingginya jumlah wisatawan yang melakukan snorkeling dan diving menjadi tantangan, terutama jika aktivitas tersebut tidak dikelola dengan baik.
5. Krisis Air
Konsumsi air di Bali terus meningkat seiring pertumbuhan pariwisata dan urbanisasi. Hotel, restoran, dan fasilitas wisata lainnya menggunakan air dalam jumlah besar, sementara cadangan air tanah menurun akibat eksploitasi berlebihan. Akibatnya, intrusi air laut mulai terjadi, menurunkan kualitas air tanah di beberapa wilayah.
Di tengah tantangan ini, Subak seharusnya menjadi solusi utama pengelolaan air di Bali. Sistem irigasi tradisional ini telah terbukti menjaga keseimbangan ekosistem air selama berabad-abad. Namun, modernisasi dan perluasan sektor pariwisata membuat Subak semakin terpinggirkan.
Banyak lahan sawah yang sebelumnya termasuk dalam jaringan Subak kini dialihfungsikan menjadi perumahan dan kawasan komersial, sehingga berkurangnya lahan pertanian juga mengurangi area yang mampu menyerap dan menyimpan air secara alami.

Distika Safara Setianda
Editor
