Beberapa Hal yang Perlu Kamu Tahu Terkait KTT Iklim COP30
- COP30 merupakan singkatan dari Conference of the Parties ke-30 dalam kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.

Distika Safara Setianda
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Para pemimpin dunia berkumpul di kawasan hutan hujan Amazon untuk membuka konferensi iklim COP30.
Aksi iklim, termasuk penerapan dan penyesuaian berbagai solusi untuk secara signifikan menurunkan emisi gas rumah kaca menjadi salah satu fokus utama dalam konferensi tahun ini.
Brasil akan menjadi tuan rumah konferensi tersebut, yang dijadwalkan dimulai pada hari Senin.
Apa itu KTT Iklim COP30?
Melansir dari ABC News, COP30 merupakan singkatan dari Conference of the Parties ke-30 dalam kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
COP adalah pertemuan tahunan yang mempertemukan negara-negara, organisasi non-pemerintah, serta berbagai pihak terkait untuk membahas upaya global dalam mengatasi perubahan iklim akibat aktivitas manusia.
Pertemuan ini juga merundingkan kesepakatan mengenai isu-isu seperti mitigasi, pendanaan, dan adaptasi. UNFCCC sendiri merupakan salah satu badan multilateral terbesar di bawah sistem PBB.
Konferensi tahun ini diselenggarakan di Belém, Brasil, yang dikenal sebagai “gerbang menuju Hutan Hujan Amazon.” Acara ini juga menandai satu dekade sejak Paris Agreement atau Perjanjian Paris disepakati oleh 195 negara pada COP21 pada Desember 2015.
Konferensi ini dipimpin oleh Presiden COP30 André Corrêa do Lago, yang menjabat sebagai Wakil Menteri Urusan Iklim, Energi, dan Lingkungan di Kementerian Luar Negeri Brasil.
Acara ini dijadwalkan akan dihadiri oleh para pemimpin dan menteri pemerintahan, diplomat, perwakilan PBB, ilmuwan, pemimpin bisnis, serta organisasi non-pemerintah dari berbagai negara di dunia.
Pimpinan COP30 menyebut konferensi ini sebagai “Global Mutirão for Sustainability,” yang berarti upaya kolektif untuk mencapai hasil bersama melalui kerja sama dan kolaborasi.
UNFCCC juga menerapkan prinsip “tanggung jawab bersama namun berbeda,” yang menekankan bahwa negara-negara maju dengan tingkat emisi tinggi memiliki kewajiban lebih besar dalam mengatasi krisis iklim.
Kepresidenan bergilir, yang tahun ini dipegang oleh Brasil, memiliki peran penting dalam menyusun agenda serta mendorong negara-negara untuk mencapai tujuan bersama.
Sebagai tuan rumah, Brasil juga menyelenggarakan konferensi selama dua minggu yang menarik perhatian dunia dan menjadi wadah bagi para pemimpin global untuk bertukar pandangan serta memastikan akuntabilitas.
Seiring waktu, COP berkembang menjadi ajang utama bagi pembahasan isu geopolitik dan keuangan, yang membawa semangat desa global dengan melibatkan seluruh negara, kelompok masyarakat sipil, sektor bisnis, dan lembaga keuangan.
Bagi banyak pihak, COP30 dianggap sebagai momen yang menutup satu siklus penuh. Brasil sebelumnya pernah menjadi tuan rumah Konferensi Bumi di Rio, tempat UNFCCC pertama kali ditandatangani 33 tahun lalu.
Tahun ini, Brasil menekankan agar COP kembali kepada semangat awal untuk mengakui kelompok paling rentan, termasuk masyarakat adat yang turut berpartisipasi dalam perundingan.
Brasil juga menyerukan agar negara-negara fokus menyelesaikan komitmen lama, seperti hasil COP28 tentang pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, daripada membuat janji baru. COP30 menjadi konferensi pertama yang secara resmi mengakui kegagalan dunia dalam menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius.
Pemilihan Belem di kawasan Amazon sebagai lokasi penyelenggaraan juga membawa pesan simbolis mengenai pentingnya menjaga kelestarian hutan dunia yang semakin terancam oleh penebangan, pertambangan, kegiatan pertanian, dan industri energi fosil.
Pemain Utama dalam COP30
Sebagian besar pemerintahan nasional mengirimkan delegasi mereka, dan banyak negara memilih untuk berbicara melalui kelompok yang memiliki kepentingan bersama.
Beberapa kelompok yang berpengaruh antara lain Aliansi Negara-Negara Pulau Kecil, yang menghadapi ancaman serius akibat naiknya permukaan laut, serta G77+China yang menjadi wadah bagi negara-negara berkembang.
Selain itu, terdapat pula kelompok penting lainnya seperti Africa Group dan BASIC (Brasil, Afrika Selatan, India, dan China). Sementara itu, Amerika Serikat, yang pada Januari lalu menyatakan akan keluar dari Perjanjian Paris, telah mundur dari peran kepemimpinan tradisionalnya, dan kekosongan tersebut kini mulai diisi oleh China, Brasil, serta negara-negara lain.
Apa yang Terjadi Selama Dua Pekan KTT
Area konferensi COP umumnya selalu ramai, dengan para aktivis menarik perhatian terhadap isu-isu yang mereka perjuangkan, sementara perusahaan melobi kebijakan sekaligus mencari peluang bisnis. Namun, tahun ini situasinya sedikit berbeda karena jumlah acara sampingan dikurangi.
Para pelaku sektor keuangan berkumpul di São Paulo, sedangkan para pemimpin daerah bertemu di Rio de Janeiro. Kedua pertemuan tersebut berlangsung sebelum COP30 pada 10-21 November, dengan tujuan membangun momentum dukungan terhadap aksi iklim.
Pada minggu pertama, para negosiator dari berbagai negara memaparkan prioritas masing-masing serta menilai posisi negara lain. Pola isu utama mulai terlihat, sementara negara dan perusahaan mengumumkan berbagai rencana aksi serta komitmen pendanaan.
Memasuki minggu kedua, para menteri hadir untuk menyelesaikan keputusan akhir, termasuk pembahasan mengenai aspek hukum dan teknis.
Dalam KTT Pemimpin COP30, Guterres mengakui negara-negara telah gagal memenuhi komitmen untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5°C. Ia menegaskan, dunia memerlukan perubahan paradigma guna membatasi skala serta lamanya peningkatan suhu Bumi dan segera menurunkannya.
Ia mendesak komitmen pendanaan iklim sebesar US$1,3 triliun per tahun bagi negara-negara berkembang pada 2035 seperti yang telah disepakati di COP29 Baku, Azerbaijan. Menurut Guterres, negara-negara maju harus memimpin dalam penyediaan pendanaan iklim sebesar US$ 300 miliar per tahun.
“Semua penyedia harus menunjukkan bahwa mereka akan berkontribusi untuk memenuhi tonggak US$ 300 miliar dan US$ 1,3 triliun. Sudah bukan waktunya lagi untuk negosiasi,” kata Guterres.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, jumlah pendanaan iklim saat ini masih jauh dari cukup, menunjukkan bahwa negara-negara maju belum benar-benar serius menunaikan tanggung jawab mereka dalam membayar utang iklim kepada negara berkembang.
Sebaliknya, praktik kolonialisme sumber daya alam dan industri ekstraktif yang merusak hutan justru mendapatkan aliran dana yang lebih besar. “Jika praktik itu diselenggarakan, negara-negara berkembang seperti Indonesia akan kehilangan peluang emas untuk berkembang secara berkelanjutan,” ujar Bhima.
Ia menegaskan Indonesia seharusnya menuntut negara-negara maju untuk membayar utang iklim mereka, sambil mendorong sumber pendanaan dalam negeri beralih menuju ekonomi restoratif.
Menurutnya, kebijakan APBN dan bank domestik belum sepenuhnya memperhitungkan pentingnya transisi dari ekstraktif ke ekonomi restoratif, yang berpotensi menghasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp2.208 triliun dalam 25 tahun ke depan.
Bhima juga menekankan agar pemerintah Indonesia tidak hanya duduk dalam arena COP30 melainkan secara aktif, tetapi aktif menyerukan reformasi terhadap lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, dan New Development Bank, agar lembaga-lembaga tersebut berhenti menyalurkan pinjaman kepada perusahaan yang merusak lingkungan.
Bhima menilai, Inisiatif Tropical Forests Forever Fund (TFFF) yang digagas oleh Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, bisa menjadi contoh nyata yang bisa diadaptasi oleh pemerintah Indonesia.
Skema pendanaan senilai US$125 miliar tersebut mencakup mekanisme results-based payments atau pembayaran berbasis hasil bagi negara-negara pemilik hutan tropis yang berhasil menurunkan tingkat deforestasi. Selain itu, 20% dari total dana dialokasikan khusus untuk mendukung masyarakat adat dan komunitas lokal.
Bhima menilai bahwa TFFF tidak hanya memberikan dampak positif bagi upaya pelestarian hutan, tetapi juga berpotensi besar dalam menurunkan emisi karbon secara signifikan serta menggerakkan ekonomi masyarakat adat penjaga hutan.
“Kondisi tersebut hanya dapat terjadi bila terjadi pelibatan masyarakat adat secara bermakna, bukan sekadar keputusan elite pemerintah dan mitra internasional,” paparnya.
Adapun, pemerintah Indonesia menegaskan kembali komitmennya terhadap prinsip keadilan iklim dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) yang diselenggarakan di Belem, Brasil.
Dalam negosiasi iklim global itu, pemerintah mengumumkan pengakuan terhadap 1,4 juta hektare hutan adat, sebuah pencapaian bersejarah yang menegaskan peran masyarakat lokal sebagai garda terdepan dalam upaya penanganan krisis iklim.
Inisiatif yang digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan BPLH ini dianggap sebagai wujud nyata penerapan keadilan sosial dan ekologis.
Selama ini, masyarakat adat yang hidup selaras dengan hutan kerap terabaikan. Kini, hak mereka atas tanah leluhur telah diakui secara resmi oleh negara, memberikan dasar hukum yang kuat bagi mereka untuk melindungi dan mengelola hutan secara berkelanjutan.
Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq menegaskan, pentingnya memastikan tidak ada pihak yang tertinggal dalam proses transisi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
“Keadilan iklim berarti memastikan tak ada yang tertinggal. Indonesia siap memimpin dengan memadukan kebijakan, sains, dan nilai sosial,” ujar Hanif Faisol, Jumat, 7 November 2025.

Distika Safara Setianda
Editor
