Tren Global

Alasan Industri Chip Global Hanya Dikuasai Segelintir Negara

  • Dari ASML hingga TSMC, industri semikonduktor global dikuasai pemain lama. Simak peta kekuatan negara dan dampaknya ke harga teknologi.
Ilustrasi Chip
Ilustrasi Chip (Freepik.com/xb100)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Industri semikonduktor global, termasuk produksi chip memori seperti RAM menunjukkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Hingga kini, hanya segelintir negara yang mampu menguasai rantai produksi chip dari hulu ke hilir. 

Penyebabnya bukan semata soal teknologi, melainkan kombinasi rintangan masuk (barriers to entry) yang sangat tinggi, modal raksasa, keahlian presisi, dan jaringan pasokan global yang kompleks.

Membangun pabrik chip (fabrication plant/fab) generasi terbaru membutuhkan investasi puluhan miliar dolar AS. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China bahkan harus mengucurkan subsidi besar demi menopang industri domestik mereka. 

Di sisi teknologi, proses manufaktur chip, terutama di bawah 5 nanometer, menuntut presisi ekstrem dan keahlian khusus yang hanya dimiliki sedikit perusahaan.

Peralatan kunci seperti mesin litografi EUV, misalnya, hanya diproduksi oleh satu perusahaan dunia, ASML dari Belanda. Ketergantungan pada teknologi dan pemasok tertentu membuat industri ini sulit ditiru dari nol.

Baca juga : Fenomena Pembangkit Hantu, Harga Mahal Transisi Energi yang Inefisien

Rantai Pasokan Terkonsentrasi

Industri chip tidak berdiri sendiri. Tahap desain, manufaktur, pengemasan, hingga pengujian sering kali berada di negara berbeda dan dikuasai pemain spesialis. Konsentrasi ini menciptakan efisiensi tinggi bagi pemain lama, namun sekaligus menjadi hambatan besar bagi pendatang baru.

Fenomena winner-takes-most pun tak terelakkan. Perusahaan dan negara yang sudah unggul, seperti TSMC di Taiwan atau Samsung di Korea Selatan terus menarik investasi, talenta terbaik, dan pesanan terbesar dunia.

Taiwan muncul sebagai pusat manufaktur chip global melalui TSMC yang menguasai lebih dari separuh pasar foundry dunia, terutama untuk chip logika canggih yang digunakan Apple, Nvidia, dan AMD. Korea Selatan menjadi raja chip memori berkat dominasi Samsung dan SK Hynix di pasar DRAM dan NAND.

Amerika Serikat memimpin di sisi desain chip (fabless) dan perangkat lunak, dengan raksasa seperti Nvidia, Qualcomm, dan AMD. Melalui CHIPS Act, AS kini juga memperkuat kembali basis manufaktur domestik. 

Jepang berperan vital sebagai pemasok material dan peralatan presisi, sementara Uni Eropa menjadi kunci lewat ASML dan produsen chip khusus seperti Infineon.

Baca juga : Harga Emas Antam Turun Tipis Jelang Akhir Pekan

China, di sisi lain, merupakan konsumen sekaligus produsen chip besar. Meski masih unggul di teknologi mature node, Beijing terus mengejar kemandirian chip canggih di tengah pembatasan ekspor teknologi dari Amerika Serikat.

Persaingan geopolitik AS–China semakin membentuk arah industri. Pembentukan aliansi seperti “Chip 4” (AS, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang) mencerminkan upaya negara-negara maju mengamankan rantai pasokan dan mengurangi risiko geopolitik.

Dinamika ini terasa langsung di pasar konsumen. Pada bulan desember 2025, lonjakan permintaan chip memori untuk pusat data dan kecerdasan buatan (AI) mendorong Samsung, SK Hynix, dan Micron mengalihkan kapasitas produksi ke produk bernilai tinggi seperti HBM. 

Akibatnya, pasokan RAM untuk PC dan smartphone menyusut, memicu kelangkaan dan lonjakan harga lebih dari 100 persen hingga akhir 2025.

Kondisi tersebut menegaskan satu hal, selama industri semikonduktor masih terkonsentrasi pada segelintir negara dan perusahaan, guncangan permintaan maupun geopolitik akan cepat berdampak pada harga dan ketersediaan teknologi di tangan konsumen.