Menakar Dampak Fiskal jika Banjir Sumatra Ditetapkan Bencana Nasional
- Penetapan banjir Sumatra sebagai bencana nasional akan memicu konsekuensi fiskal besar, memaksa pemerintah pusat mengaktifkan instrumen pendanaan darurat dan mencairkan Dana Siap Pakai BNPB. Di sisi lain, ada potensi pendanaan asing dengan penetapan status ini.

Maharani Dwi Puspita Sari
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Wacana penetapan bencana banjir dan longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sebagai bencana nasional berpotensi memicu konsekuensi fiskal yang signifikan. Salah satu konsekuensi fiskal ini nantinya akan mengubah postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Jika status ini ditetapkan, Pemerintah Pusat akan mengaktifkan seluruh instrumen pendanaan darurat, yang secara langsung berdampak pada defisit anggaran dan alokasi dana non prioritas.
Presiden Prabowo Subianto sendiri melempar sinyal belum akan menetapkan status bencana nasional dalam waktu dekat. “Ya kita monitor terus. Saya kira situasi membaik ya, saya kira kondisi yang sekarang ini sudah cukup ya,” kata Prabowo usai melakukan kunjungan ke lokasi bencana di Tapanuli Tengah, Senin, 1 Desember 2025.
Prabowo menuturkan cuaca ini mulai menunjukkan perbaikan. Kendati demikian, ia menekankan fenomena iklim yang kian ekstrem tetap menjadi ancaman jangka panjang yang harus diantisipasi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Contoh kondisi yang dikatakan sebagai bencana nasional adalah peristiwa seperti Tsunami Aceh 2004 dan pandemi COVID-19 pada tahun 2020. Namun, banyak orang yang mempertanyakan apakah bencana banjir ini dapat dikatakan sebagai bencana nasional?
Menurut UU NO. 24 Tahun 2007 dan pedoman Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), status bencana nasional dapat ditetapkan apabila dampak bencana tersebut sudah melampaui kemampuan penanganan dari lembaga daerah. Akibatnya, penanganan tersebut membutuhkan intervensi dan bantuan dari pemerintah pusat.
Penetapan status bencana nasional dinilai sejumlah pihak penting untuk mempercepat penanganan banjir Sumatra yang telah menelan ratusan korban jiwa. Hal itu karena pusat bakal mengambil alih evakuasi, bantuan pengungsian, rehabilitasi hingga rekonstruksi wilayah.
Pemerintah juga dapat membuka akses khusus dengan lebih mudah. Mulai dari pengerahan TNI/Polri secara masif, pengerahan kendaraan taktis, helikopter dan alat berat hingga pengerahan logistik skala besar.
Status nasional ini turut memungkin pemerintah membuka jalur dukungan negara asing hingga mengizinkan lembaga internasional bekerja di lapangan. Namun di sisi lain, status bencana nasional dianggap bisa menunjukkan kelemahan negara.
Pada tahun 2018 lalu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, alm. Sutopo Purwo Nugroho menyatakan penetapan status bencana sosial ini berpotensi mengundang intervensi asing dan merusak citra negara.
Kondisi ini membuka pintu bantuan dari internasional, sehingga menciptakan kesan Indonesia sebagai “negara yang tidak mampu”. Pernyataan ini disampaikan karena di tahun tersebut bertepatan dengan gempa di Lombok, dan memperlihatkan ketidakmampuan negara dalam menangani kasus internal.
Kemudian jika banjir Sumatra ditetapkan sebagai bencana nasional, apakah negara siap berbagi peran, panggung, dan legitimasi kepada pihak internasional? Bagaimana dampak fiskalnya? Belajar dari penanganan Tsunami Aceh 2004, berikut fase penanggulangan dalam status bencana nasional.
1. Fase Tanggap Darurat
Saat ini, penanganan bencana di Sumatra masih menggunakan skema normal, yakni melalui alokasi rutin kementerian atau lembaga dan dana siap pakai yang dikelola oleh BNPB.
Jika ditetapkan bencana nasional, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mencairkan dana dalam jumlah yang jauh lebih besar dan cepat. Dana ini akan bersifat fleksibel dan bersumber dari APBN, yang dapat menekan saldo kas negara dalam waktu singkat.
Namun, jika skala kerugian melebihi alokasi dana BNPB yang cenderung menurun, maka pemerintah harus menggunakan anggaran belanja lain atau menggeser anggaran dari pos belanja lain yang tidak mendesak.
2. Fase Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Fase rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana merupakan pos yang paling membebani fiskal. Kerusakan infrastruktur, fasilitas publik, dan rumah tinggal di tiga provinsi tersebut diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah.
Dana rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut, akan disalurkan melalui dana bantuan sosial berpola hibah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdampak. Untuk menutup financing gap, pemerintah mungkin perlu menarik pinjaman luar negeri atau memanfaatkan Pooling Fund Bencana (PFB), yang diresmikan melalui Peraturan Presiden No.75 Tahun 2021.
PFB diharapkan menjadi instrumen mitigasi risiko fiskal, tetapi penggunaannya akan tetap membebani APBN dalam jangka menengah.
3. Tekanan pada Prioritas Belanja Lain
Penetapan bencana nasional dan lonjakan pengeluaran darurat akan mempersempit ruang fiskal pemerintah secara keseluruhan. Pemerintah akan melakukan efisiensi besar-besaran pada pos-pos belanja kementerian atau lembaga yang dianggap kurang prioritas. Tekanan ini terjadi terutama ketika APBN telah dibebani oleh program-program belanja strategis lainnya.
Dari sisi penerimaan negara, pemerintah dapat memberikan insentif pajak berupa pembebanan biaya sumbangan penanggulangan bencana sebagai pengurang penghasilan neto fiskal bagi Wajib Pajak Badan, yang bertujuan mendorong partisipasi swasta.
Melalui pertimbangan biaya yang masif dan kebutuhan dana tanggap darurat yang fleksibel, penetapan bencana nasional di Aceh-Sumatra akan mentransformasi belanja negara menjadi responsif darurat, sekaligus menjadi ujian berat bagi ketahanan fiskal Indonesia pasca pandemi.

Chrisna Chanis Cara
Editor
