<p>JAKARTA – Raja Ampat, tanah surga di ujung timur Indonesia, tengah menghadapi dilema besar: memilih kekayaan dari tambang nikel bernilai miliaran dolar, atau menjaga keindahan alamnya yang jadi magnet pariwisata dunia.</p><p>Pulau Gag, yang terletak di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, diketahui menyimpan cadangan bijih nikel sekitar 240 juta ton dengan kadar nikel sekitar 1,35%. Jumlah ini setara dengan 3,24 juta ton logam nikel murni.</p><p>Dengan harga pasar nikel internasional saat ini di kisaran US$18.000 per ton, nilai potensi pendapatan kotor dari cadangan tersebut bisa mencapai sekitar US$58,3 miliar atau Rp949 triliun (kurs Rp16.200/US$). Angka ini belum termasuk potensi dari harga bijih mentah, yang dapat membuat nilai ekonominya mencapai triliunan dolar.</p><p>Namun, nilai bersih yang masuk ke kas negara dan daerah akan jauh lebih kecil karena harus dikurangi oleh biaya operasional, pajak, royalti, serta risiko dan dampak dari hilirisasi dan pengelolaan lingkungan.</p><h2>Potensi Wisata Raja Ampat: Sumber Pendapatan yang Berkelanjutan</h2><p>Di sisi lain, sektor pariwisata Raja Ampat terus menunjukkan kinerja positif. Tahun 2024, sektor ini menyumbang sekitar Rp150 miliar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan kunjungan wisatawan mencapai 30.000 orang per tahun di mana 70% di antaranya adalah wisatawan mancanegara.</p><p>Pada tahun 2020, ekowisata menyumbang 15% PAD Kabupaten Raja Ampat atau sekitar Rp7 miliar, berasal dari retribusi penginapan, pajak kapal wisata, dan pungutan wisatawan asing.</p><p>Belum lagi dampak ekonomi tidak langsung, seperti peningkatan jumlah homestay, restoran, transportasi lokal, hingga pelaku UMKM yang bergantung pada keberadaan wisatawan. Potensi ini bersifat jangka panjang dan dapat terus tumbuh selama ekosistem dijaga.</p><h2>Tambang Nikel Ancam Ekosistem Laut dan Satwa Endemik</h2><p>Meski menjanjikan secara ekonomi, perluasan tambang nikel telah menimbulkan kekhawatiran besar terhadap kelestarian lingkungan. Menurut catatan Greenpeace Indonesia, dari tahun 2020 hingga 2024, luas area tambang yang berkembang di Pulau Gag telah mencapai 494 hektare.</p><p>Dampaknya mencakup kerusakan pesisir dan laut yang menjadi habitat 75% spesies karang dunia. Ancaman terhadap 1.400 spesies ikan karang dan 700 jenis moluska, dan gangguan terhadap habitat cenderawasih botak (<i>Wilson's bird-of-paradise</i>), satwa endemik yang menjadi ikon wisata pengamatan burung.</p><p>Selain itu, kegiatan pertambangan di pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran diduga melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Undang-undang ini secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau dengan luas di bawah 2.000 km².</p><h2>Dilema Masa Depan: Warisan Tambang atau Alam Lestari?</h2><p>Pemerintah daerah, masyarakat adat, dan pemangku kepentingan kini dihadapkan pada pilihan besar: memaksimalkan potensi tambang jangka pendek atau menjaga alam untuk generasi mendatang.</p><p>Tambang nikel bisa membawa kekayaan instan, tetapi juga berisiko merusak ekosistem yang tak tergantikan. Sebaliknya, pariwisata berkelanjutan menawarkan penghasilan jangka panjang dan stabil, selama lingkungan tetap terjaga.</p><p>Pilihan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal warisan apa yang akan ditinggalkan untuk masa depan Raja Ampat: kekayaan tambang yang bisa habis dalam beberapa dekade, atau keindahan alam yang bisa dinikmati selamanya.</p>

1000079096.jpg

Nilai potensi pendapatan kotor dari nikel di Pulau Gag diperkirakan bisa mencapai US$58,3 miliar atau sekitar Rp 949 triliun (kurs Rp 16.200/US$).

Membandingkan Keuntungan Pariwisata Vs Tambang di Raja Ampat

Tren Ekbis