Lindungi Tekstil Lokal, Kebijakan Purbaya Potensi Guncang Industri Thrifting
- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor pakaian bekas melonjak hingga 607,6% pada periode Januari-September 2022. Tren ini perlu diwaspadai pemerintah dan pelaku industri pakaian dalam negeri untuk menghindari peningkatan dampak negatif dari impor pakaian bekas.

Distika Safara Setianda
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Industri thrifting di Indonesia kembali menghadapi dinamika. Hal ini setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa akan memberikan sanksi denda kepada importir yang memasukkan pakaian dan tas bekas (balpres) secara ilegal.
Ia menilai upaya penindakan terhadap importir ilegal sejauh ini belum memberikan manfaat bagi negara. Oleh karena itu, perlu dicara cara agar penindakan terhadap aktivitas ilegal tersebut bisa menghasilkan keuntungan.
“Rupanya selama ini hanya dimusnahkan dan yang impor masuk penjara. Saya (Menkeu) nggak dapat duit, (importir) nggak didenda, jadi saya rugi” ujar Purbaya di Kantor Kementerian Keuangan Jakarta, dilansir dari Antara, Rabu, 22 Oktober 2025.
“Cuma mengeluarkan ongkos untuk memusnahkan barang itu, ditambah ngasih makan orang-orang yang dipenjara itu,” sambung dia. Purbaya mengaku pihaknya telah memiliki daftar pelaku impor pakaian bekas ilegal. Dia akan memblokir para pelaku tersebut sehingga mereka tidak lagi dapat melakukan aktivitas impor.
Dia menekankan, kebijakan ini bertujuan untuk menghidupkan kembali pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) legal, sekaligus membuka peluang kerja, terutama bagi produsen industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Purbaya memastikan rencananya tidak akan merugikan para pedagang pasar, termasuk di Pasar Senen. Ia menjelaskan bahwa setelah barang ilegal diberantas, dagangan di pasar akan didominasi oleh produk-produk lokal.
Ciptakan Pasar Baru
Munculnya minat masyarakat terhadap pakaian bekas impor yang dikenal sebagai thrifting, telah menciptakan pasar baru di Indonesia. Toko-toko thrift shop menawarkan pakaian bekas bermerek dengan harga lebih terjangkau, sekaligus menciptakan peluang kerja bagi sebagian orang.
Thrifting menjadi tren populer di kalangan generasi muda. Menelusuri tumpukan pakaian bekas terasa seperti berburu harta karun, karena memungkinkan menemukan potongan unik yang sulit ditemui di toko biasa.
Selain itu, thrifting mendorong kreativitas dalam memadupadankan dan menata pakaian, sehingga gaya berpakaian menjadi lebih unik. Awalnya, thrifting dikenal sebagai kegiatan berbelanja pakaian yang ramah lingkungan karena menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Pakaian yang masih layak pakai namun tidak lagi digunakan oleh pemilik sebelumnya dijual kembali dan dimanfaatkan oleh pembeli baru. Dilansir dari fkm.unair.ac.id, thrifting juga membantu lingkungan karena mengurangi dukungan terhadap industri fast fashion, yang termasuk dalam tiga besar penyumbang limbah dunia akibat limbah tekstil dari proses produksinya.
Namun, hal ini juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, terutama di Indonesia. Sebagian besar pakaian bekas yang dijual di Indonesia merupakan barang impor.
Meski pakaian bekas impor ini diperjualbelikan, proses seleksi tetap dilakukan, sehingga pakaian yang tidak layak pakai dibuang. Hal ini menimbulkan masalah baru terkait pengelolaan limbah tekstil di Indonesia.
Mengimpor pakaian bekas sama dengan mendatangkan limbah dari negara lain, sehingga ironisnya, thrifting yang seharusnya mengurangi limbah justru menciptakan penumpukan limbah baru di Indonesia.
Banyak pakaian bekas akhirnya berakhir sebagai sampah di tempat pembuangan akhir (TPA). Harga pakaian bekas yang tergolong murah mendorong perilaku konsumtif, di mana masyarakat membeli pakaian yang sebenarnya tidak diperlukan dan jarang dipakai.
Tren thrifting sebetulnya memberikan dampak positif bagi lingkungan jika pakaian bekas yang dijual berasal dari produk lokal. Hal ini dapat membantu mengurangi limbah fesyen dalam negeri, karena pakaian bekas tetap bersirkulasi dan bermanfaat meski berpindah tangan ke pengguna baru.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menyatakan limbah tekstil di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 2,3 juta ton setiap tahunnya. Tanpa adanya langkah intervensi, jumlah tersebut diproyeksikan akan meningkat hingga 70% di masa depan.
Indonesia diperkirakan akan menghasilkan sekitar 3,9 juta ton limbah tekstil pada 2030. Jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat polusi air akibat industri tekstil tertinggi kedua di antara negara-negara G20.
Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor pakaian bekas melonjak hingga 607,6% pada periode Januari-September 2022. Tren ini perlu diwaspadai pemerintah dan pelaku industri pakaian dalam negeri untuk menghindari peningkatan dampak negatif dari impor pakaian bekas.
Dampak negatif dari tingginya jual beli pakaian bekas impor bahkan telah terlihat di negara lain seperti Kenya. Di Kenya, masuknya pakaian bekas impor secara ilegal secara drastis mengurangi jumlah tenaga kerja di sektor industri tekstil.
Pada puncak jayanya, industri tekstil di Kenya mampu menyerap 30% tenaga kerja formal. Namun, industri yang sempat mempekerjakan lebih dari 200.000 orang tersebut hanya mampu menampung kurang dari 20.000 pekerja akibat tingginya impor pakaian bekas.
Dilansir dari Hukum Online, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, thrifting pakaian bekas impor merupakan bentuk ekonomi sirkular yang tidak tepat dan justru merugikan negara, termasuk Indonesia.
Untuk mendorong kemajuan dan daya saing industri pakaian lokal di pasar global, Indonesia perlu melindungi produsen serta merek-merek dalam negeri.

Chrisna Chanis Cara
Editor
