Kondisi Hutan Papua di Tengah Rencana Ekspansi Sawit
- Arah kebijakan pembangunan pangan dan energi nasional yang menempatkan Papua sebagai lumbung berpotensi memicu gelombang deforestasi baru dalam skala masif.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID--Presiden Prabowo Subianto menyampaikan rencana menjadikan Papua sebagai basis produksi energi nabati. Ia mendorong penanaman kelapa sawit untuk biodiesel, serta tebu dan singkong untuk etanol, dengan target swasembada energi daerah dalam lima tahun.
Kebijakan tersebut disampaikan tak lama setelah banjir bandang di Pulau Sumatra, yang salah satu penyebabnya diduga adalah pembukaan lahan sawit secara masif.
"Kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit, juga tebu menghasilkan etanol, singkong cassava juga untuk menghasilkan etanol," jelas Prabowo saat memberikan arahan di depan kepala daerah se-Papua, di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 16 Desember 2025.
Prabowo berargumen kebijakan ini dapat menghemat triliunan rupiah subsidi impor BBM. "Saya kira Papua punya sumber energi yang sangat baik dan Menteri ESDM juga sudah merancang bahwa daerah-daerah Papua harus menikmati hasil daripada energi yang diproduksi di Papua," tambah Prabowo.
Kondisi hutan Papua sendiri kini berada pada fase titik kritis. Sebagai satu-satunya pulau besar dengan tutupan hutan alam masih di atas 50%, Papua selama ini menjadi benteng terakhir hutan tropis Indonesia.
Namun, arah kebijakan pembangunan pangan dan energi nasional yang menempatkan Papua sebagai lumbung baru justru memicu gelombang deforestasi baru dalam skala masif.
Data pemantauan satelit menunjukkan pada 2024 kehilangan hutan primer di Papua meningkat 10 persen menjadi 25.300 hektar. Tren awal 2025 bahkan mengindikasikan percepatan yang lebih tajam, seiring berjalannya proyek-proyek nasional dan ekspansi industri berbasis lahan.
Proyek Nasional Jadi Pendorong Utama Deforestasi
Deforestasi di Papua tidak lagi didominasi aktivitas tradisional, melainkan didorong proyek berskala besar. Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke tercatat menyumbang sekitar 5.936 hektare atau 24% dari total deforestasi 2024, terutama melalui pembukaan lahan untuk food estate padi dan perkebunan tebu bioetanol.
Selain itu, ekspansi perkebunan kelapa sawit berkontribusi sekitar 3.577 hektare (14%), terutama di wilayah Sorong dan sekitarnya. Aktivitas penebangan kayu menyumbang 4.890 hektare (19%), sementara pembangunan jalan dan permukiman pendukung proyek mencapai 1.386 hektare (5%.
Agenda sawasembada pangan dan energi itu tidak berhenti pada wacana. Food estate Merauke telah berjalan dengan target ambisius, pembukaan hingga 1 juta hektare lahan padi dan 2 juta hektare perkebunan tebu untuk bioetanol. Secara keseluruhan, proyek ini berpotensi mengancam hingga 3 juta hektare ekosistem alami Papua selatan.
Salah satu aktor utama proyek ini adalah Jhonlin Group, konglomerasi milik Andi Syamsuddin Arsyad (Haji Isam). Grup ini terlibat dalam pembukaan lahan, logistik, dan penyediaan alat berat, bahkan dilaporkan memesan sekitar 2.000 unit ekskavator untuk mendukung percepatan proyek.
Berbagai laporan lapangan juga mencatat keterlibatan aparat keamanan untuk mengawal alat berat dan proyek, yang memicu kekhawatiran pembungkaman suara masyarakat adat yang menolak pelepasan tanah ulayat mereka.
Kekhawatiran publik semakin menguat mengingat Proyek Tanah Merah di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan. Proyek ini merupakan salah satu kasus pembukaan hutan terbesar di Papua dalam satu dekade terakhir.
Tanah Merah mencakup konsesi perkebunan sawit seluas lebih dari 280.000 hektar, yang sempat dikendalikan jaringan perusahaan terafiliasi dengan grup bisnis besar. Proyek ini pernah disorot internasional karena dugaan perizinan bermasalah, manipulasi izin lingkungan, serta perampasan tanah adat.
Meski sebagian izin kemudian dicabut pemerintah, jejak deforestasi telah terjadi, dan skema serupa dikhawatirkan terulang dalam proyek food estate dan sawit energi di bawah payung PSN.
Bagi masyarakat adat, Tanah Merah menjadi simbol bagaimana kebijakan pembangunan bisa mengorbankan hutan dan hak ulayat tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC).
Penolakan Masyarakat Adat
Sementara itu, masyarakat adat dari suku Awyu dan Moi sempat melakukan aksi damai di Jakarta pada tanggal 27 Mei 2024 untuk menolak penggundulan hutan dan konversi tanah adat Papua menjadi perkebunan komersial.
Para demonstran yang datang ke Ibu Kota terlihat mengenakan pakaian adat dan membawa spanduk tuntutan di depan Mahkamah Agung dan sejumlah kantor pemerintahan, menyerukan perlindungan terhadap hutan adat yang menjadi sumber kehidupan dan budaya bagi komunitas mereka.
Aksi ini juga merupakan bagian dari upaya legal dan publik untuk menghadang izin-izin pelepasan kawasan hutan yang telah dikeluarkan negara untuk perusahaan sawit dan proyek strategis lainnya.
Para pengunjuk rasa menegaskan hutan Papua bukan hanya area lahan kosong, melainkan rumah dan sumber mata pencaharian masyarakat adat yang telah mendiami wilayah itu selama ribuan tahun.
Mereka menyuarakan kekhawatiran atas ekspansi perkebunan sawit dan proyek pembangunan yang berpotensi menyebabkan deforestasi besar-besaran di wilayah mereka, yang akan mengancam keberlanjutan hidup komunitas serta keanekaragaman hayati hutan tropis Papua.
Permintaan mereka disertai dengan penyerahan petisi dan pernyataan kepada lembaga hukum di Jakarta agar izin-izin tersebut ditinjau ulang dan dicabut.

Muhammad Imam Hatami
Editor
