Tren Ekbis

Efek Domino Jika 9 Perusahaan China Jadi Bangun Pabrik Tekstil di Indonesia

  • Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mengungkapkan ada sembilan perusahaan besar asal China yang berminat membangun pabrik tekstil di Indonesia. Rencana relokasi dipandang berpotensi mengubah peta industri tekstil Asia sekaligus membuka peluang strategis bagi ekspor dan penyerapan tenaga kerja
pabrik-sritex-bloomberg-via-getty-imagesbloomberg-2_169.jpeg
Karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau biasa dikenal Sritex. (Dok/Bloomberg)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Indonesia kembali menjadi incaran investor asing di sektor manufaktur. Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mengungkapkan ada sembilan perusahaan besar asal China yang berminat membangun pabrik tekstil di Indonesia. 

Rencana relokasi dipandang berpotensi mengubah peta industri tekstil Asia sekaligus membuka peluang strategis bagi ekspor dan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri. Faisol menyebut kesembilan perusahaan tersebut telah menunjukkan minat serius, meskipun lokasi pabrik belum diungkapkan secara rinci. 

“Perusahaan-perusahaan terutama dari Cina melirik Indonesia sebagai tempat baru memproduksi. Tercatat terakhir 9 perusahaan yang sangat besar. Nantilah, beberapa sudah jalan.” ujar Faisol kepada awak media, dikutip Jumat, 12 Desember 2025.

Faisol menjelaskan langkah relokasi para produsen tekstil China tidak terlepas dari meningkatnya hambatan perdagangan antara China dan Amerika Serikat. Banyak perusahaan kini kesulitan mengekspor produk secara langsung dari daratan China. 

“Setelah mereka melihat kemungkinan mereka untuk ekspor secara langsung dari Cina ke Amerika banyak kendala, mereka melihat tempat-tempat seperti Indonesia untuk melakukan relokasi,” ujarnya. 

Sebelum mulai melirik Indonesia, perusahaan-perusahaan tersebut banyak memindahkan produksinya ke Vietnam dan Meksiko. Namun kini Indonesia makin masuk radar investor berkat ketersediaan tenaga kerja yang besar, biaya produksi yang lebih kompetitif, serta peluang untuk mendapatkan akses lebih luas ke pasar ekspor, khususnya Amerika Serikat yang menjadi tujuan utama produk tekstil dan pakaian jadi.

Baca juga : Krisis Komponen RAM Global Menaikkan Harga Ponsel di 2026

Dampak Relokasi

Menurut Faisol, relokasi pabrik dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. Investasi dari perusahaan-perusahaan China diperkirakan dapat menciptakan banyak lapangan kerja baru serta menggenjot kinerja ekspor Indonesia, terutama ke Amerika Serikat. 

Ia menjelaskan selama ini hambatan bea masuk AS membuat ekspor produk olahraga dari Indonesia sempat tertahan. “Karena ekspor terbesar alat-alat olahraga kita ke Amerika dan waktu Amerika menutup beberapa kali kemungkinan ekspor karena bea masuk, jadi akhirnya sempat tertahan, walaupun pelan-pelan juga kembali,” ujarnya. 

Dengan masuknya perusahaan-perusahaan China tersebut, sektor tekstil dan pakaian jadi Indonesia diprediksi bisa kembali kompetitif dalam menghadapi Vietnam, Bangladesh, dan Meksiko yang telah lebih dulu menjadi basis produksi global.

Relokasi juga membuka peluang terjadinya transfer teknologi karena pabrik-pabrik asal China umumnya mengandalkan mesin produksi modern dengan efisiensi tinggi.

Selain itu, masuknya investasi baru dapat memperkuat rantai pasok tekstil nasional sehingga sektor hulu dan hilir lebih terintegrasi dan mampu meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.

Kondisi Industri Tekstil Indonesia

Saat ini industri tekstil Indonesia tengah menghadapi sejumlah tekanan, baik dari sisi tenaga kerja maupun ekspor. Ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia ke Amerika Serikat pada 2024 mencapai US$ 4,6 miliar, menjadikan AS sebagai pasar terbesar. 

Namun jumlah tenaga kerja sektor tekstil pada 2024 hanya 957.122 orang, turun sekitar 7,5% dibanding 2023 dan jauh di bawah 1,24 juta pekerja pada 2015. Sementara itu, sektor pakaian jadi justru relatif stabil dengan 2,9 juta pekerja dan cenderung meningkat sejak 2015. 

Kondisi ini menunjukkan bahwa industri tekstil membutuhkan suntikan investasi besar agar mampu bangkit dari keterpurukan akibat persaingan global dan tekanan biaya produksi.

Relokasi ini menjadi momentum penting untuk mengembalikan kejayaan sektor manufaktur nasional. Pada periode 1986 hingga 1996, pertumbuhan manufaktur Indonesia mencapai 9 hingga 12% per tahun. 

Kontribusinya terhadap PDB bahkan mencapai puncaknya pada 2002 dengan angka 32%, salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Pada era 1990-an, ekspor non-migas Indonesia sangat didominasi oleh produk tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki, yang merupakan industri padat karya unggulan.

Dengan adanya investor baru dari China, pemerintah berharap sektor manufaktur kembali memperoleh energi baru untuk menguatkan posisi Indonesia dalam rantai pasok industri global.

Keberhasilan relokasi ini tetap bergantung pada kesiapan infrastruktur, kepastian regulasi, peningkatan kualitas tenaga kerja, serta perbaikan iklim investasi agar Indonesia benar-benar menjadi tujuan utama relokasi industri global.