Tren Ekbis

ECAPS Kemang, Kafe Bernuansa Green Sarat Material Up-cycling

  • Tren kafe ramah lingkungan atau green cafe mulai berkembang di Jakarta, ditandai dengan hadirnya ECAPS Cafe di Kemang yang mengusung nilai keberlanjutan melalui penggunaan material daur ulang dan pengelolaan limbah organik. Minat konsumen, khususnya Gen Z, terhadap brand yang memiliki komitmen sosial dan lingkungan mendorong konsep ini menjadi pembeda bisnis sekaligus motor penggerak ekonomi kreatif berbasis ekosistem hijau.
Manual-Ecaps-3-980x719.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Tren kafe dengan konsep ramah lingkungan atau green cafe mulai tumbuh di Jakarta, seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen terhadap isu keberlanjutan dan gaya hidup sehat. 

Salah satu contohnya adalah ECAPS Cafe di Kemang, Jakarta Selatan, yang menghadirkan pengalaman “ngopi” sambil membawa pesan terkait pengurangan limbah dan penggunaan material daur ulang.

Bagi Anda yang tertarik dengan kafe berkonsep common space dan mampu menghadirkan sajian all day dining, ECAPS dapat menjadi salah satu referensi di Jakarta. Tempat ini mengusung tema yang unik, di mana kesan fancy dan hijau dipadukan menjadi satu. Hal ini yang membuat ECAPS kerap dinobatkan sebagai tempat yang ideal untuk hangout maupun bekerja (work from cafe).

Kafe ini telah berdiri sejak tahun 2020, dan buka setiap hari mulai pukul 07.00-23.00 WIB. Jangan khawatir, harga menu yang ditawarkan mulai dari Rp28-100 ribuan saja. Anda dapat mencicipi minuman dan makanan nusantara hingga western. 

ECAPS memberikan klaim bahwa semua sajian yang diberikan adalah “Fresh Good Food”, dan tentunya sesuai dengan kualitasnya. Selain itu, peralatan yang digunakan dalam kafe tersebut, sebagian besar dibuat dari material daur ulang. 

Konsep bisnis yang diusung ECAPS memanfaatkan furnitur hasil up-cycling, dekorasi interior dari sisa material, hingga pengolahan sebagian limbah organik kafe agar tidak berakhir menjadi sampah. Selain itu, kafe ini menghadirkan area hijau dan kebun herbal mini yang dimanfaatkan langsung dalam penyajian. 

Tak Sekadar Estetika

Tren green cafe tidak hanya hadir sebagai konsep estetika, tetapi bagian dari perubahan preferensi konsumen urban. Dalam laporan NielsenIQ Global Sustainability Report 2023, 66% konsumen secara global bersedia membayar lebih untuk produk dan layanan yang dinilai ramah lingkungan. 

Pergeseran preferensi ini menunjukkan bahwa nilai keberlanjutan bukan lagi sekadar tren estetika saja, tetapi menjadi pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong ataupun melakukan aktivitas di luar rumah.

Data ini diperkuat oleh survei YouGov Indonesia 2024, yang mencatat 68% Gen Z lebih percaya dan menyukai brand yang memiliki komitmen sosial dan lingkungan. Bagi mereka, pilihan tempat nongkrong bukan sekadar soal harga atau menu, tetapi juga identitas, nilai, dan citra diri.

Jika dibahas dalam konsep bisnis, pendekatan green lifestyle menjadi pembeda yang membuat kafe ini memiliki segmentasi pasar tersendiri, terutama dari kelompok usia yang memiliki ketertarikan dan perhatian pada isu lingkungan. 

Konsumen di segmen ini cenderung tidak hanya melihat harga ataupun rasa, tetapi juga nilai yang ditawarkan, termasuk etika bisnis dan dampaknya terhadap kesehatan lingkungan.

Baca Juga: 

Konsep kafe seperti ini berpotensi mendorong ekonomi kreatif lokal melalui rantai pasokan yang ramah lingkungan. Hal ini mencakup penggunaan produk lokal, kolaborasi dengan pelaku eco-craft, serta penyerapan tenaga kerja untuk bidang desain interior maupun jasa mendaur ulang. 

Maknanya, bisnis ini tidak hanya menjual makanan dan minuman saja, tetapi membangun ekosistem ekonomi hijau skala mikro. Green cafe mampu memberikan nilai tambah jangka panjang, terutama dalam membangun loyalitas pelanggan. 

Sama seperti bisnis lainnya, konsep ini juga memiliki tantangan seperti biaya awal yang relatif tinggi untuk pengembangan interior berkelanjutan, dan kebutuhan edukasi konsumen agar memahami proses di balik konsep ramah lingkungan tersebut.

Dari sisi ekonomi kreatif, konsep ini mendorong kebutuhan pasokan lokal, seperti penggunaan bahan dari pengrajin dan petani setempat. Hal ini yang mampu meningkatkan kebutuhan tenaga kerja baru seperti desainer eco-interior dan perawat tanaman urban. 

Meski begitu, peningkatan minat konsumen terhadap pola hidup berkelanjutan membuat konsep ini diperkirakan tetap relevan. Di tengah persaingan ketat industri kafe di Jakarta, nilai diferensiasi seperti keberlanjutan dapat menjadi faktor penentu bagi keberlangsungan usaha. Jika tren ini terus berkembang, sektor kuliner berpotensi menjadi salah satu alat penggerak ekonomi hijau berbasis konsumsi urban.