Di Balik Krisis Asia 1997-1998, Bikin Ekonomi Indonesia Hancur Lebur
- Krisis Asia 1997–1998 mengguncang ekonomi, politik, dan sosial Indonesia. Benarkah George Soros biang kerok atau sekadar memanfaatkan kelemahan sistem?

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA TRENASIA.ID - Krisis ekonomi Asia 1997-1998 merupakan salah satu peristiwa paling dramatis dalam sejarah keuangan modern. Dimulai dari Thailand, badai ini dengan cepat menyebar ke berbagai negara Asia, termasuk Indonesia, dan meninggalkan jejak krisis ekonomi, politik, hingga sosial.
Di balik pusaran krisis tersebut, nama George Soros kerap disebut, ada yang menudingnya sebagai biang kerok, ada pula yang melihatnya sekadar memanfaatkan kerapuhan yang sudah ada.
Apa yang Terjadi pada Krisis 1997-1998?
Dilansir dari laman ensiklopedia britanica, Senin, 22 September 2025m Krisis yang juga dikenal sebagai “Asian Contagion” berawal pada Juli 1997 ketika pemerintah Thailand dipaksa melepas patokan nilai Baht Thailand terhadap dolar Amerika Serikat setelah tidak lagi mampu menahan tekanan spekulasi.
Kondisi ini membuka kotak pandora yang menunjukkan rapuhnya fundamental ekonomi di kawasan. Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan, sebelumnya memang mencatat pertumbuhan pesat, tetapi pertumbuhan tersebut dibarengi dengan defisit neraca berjalan yang besar serta gelembung di sektor properti dan pasar saham.
Masalah lain muncul karena liberalisasi finansial yang dilakukan terlalu dini tanpa diimbangi pengawasan memadai. Banyak bank menyalurkan kredit besar, termasuk dalam valuta asing, tanpa analisis risiko yang ketat.
Baca juga : Ya Ampun, Gelang Emas Firaun Berusia 3000 Tahun Dicuri dan Dilebur
Sementara itu, kebijakan mempertahankan nilai tukar tetap justru mendorong perusahaan dan bank berutang besar dalam dolar AS. Ketika nilai tukar lokal melemah, beban utang melonjak drastis.
Dampaknya sangat cepat terasa, nilai tukar mata uang di berbagai negara anjlok, perusahaan dan bank bangkrut, PHK massal terjadi, dan kerusuhan sosial pun meletus. Di Indonesia, krisis ini bahkan berujung pada kejatuhan pemerintahan Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa.
Peran dan Kontroversi George Soros
Nama George Soros, manajer hedge fund legendaris, menyeruak ke permukaan sebagai figur kontroversial. Melalui Quantum Fund, ia melakukan aksi short-selling terhadap Baht Thailand, meminjam dalam jumlah besar untuk kemudian dijual dengan spekulasi bahwa ia bisa membelinya kembali dengan harga lebih murah setelah nilai mata uang itu runtuh.
Strategi ini mirip dengan yang pernah dilancarkannya terhadap Poundsterling Inggris pada 1992, yang membuatnya dijuluki “The Man Who Broke the Bank of England”.
Namun, tindakannya menuai kecaman. Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahathir Mohamad, menuduh Soros sebagai dalang yang sengaja mengguncang ekonomi Asia.
Mahathir bahkan menyebut perdagangan spekulatif semacam itu tidak produktif dan tidak bermoral. Soros sendiri membantah tudingan tersebut.
Menurutnya, yang terjadi bukanlah hasil dari ulah segelintir spekulan, melainkan akibat kelemahan fundamental yang sudah lama menggerogoti perekonomian negara-negara Asia.
Beberapa analis keuangan juga berpendapat bahwa Soros hanyalah katalis yang mempercepat pecahnya gelembung ekonomi yang memang sudah rapuh sejak awal.
Faktanya, Quantum Fund juga tidak sepenuhnya untung, mereka mengalami kerugian miliaran dolar dari gejolak pasar di kawasan lain selama krisis.
Baca juga : Valuasi GOTO Diskon Besar Dibanding Grab, Analis Ramal Potensi Cuan 81 Persen
Dampak Langsung dan Mendalam bagi Indonesia
Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terpukul oleh badai krisis Asia. Sistem perbankan nasional yang rapuh akibat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme membuat krisis moneter dengan cepat berubah menjadi krisis ekonomi total.
Nilai tukar rupiah terjun bebas, inflasi melonjak, dan banyak perusahaan kolaps. Krisis ini tidak berhenti di ranah ekonomi, melainkan berkembang menjadi krisis politik dan sosial.
Gelombang kerusuhan di berbagai kota pada akhirnya mendorong Presiden Soeharto lengser dari kekuasaan pada Mei 1998 setelah lebih dari tiga dekade memimpin.
Untuk mengatasi krisis, Indonesia terpaksa menerima bantuan dari International Monetary Fund (IMF) dengan paket penyelamatan sekitar US$40 miliar (Rp654 triliun).
Namun, bantuan itu datang dengan syarat reformasi ketat yang memaksa pemerintah melakukan pengetatan anggaran (austerity measures). Alih-alih memulihkan kepercayaan pasar secara cepat, langkah ini justru memperburuk resesi dalam jangka pendek dan menambah beban rakyat kecil yang sudah menderita.
Perdebatan mengenai peran George Soros dalam krisis Asia 1997-1998 tidak pernah benar-benar selesai. Sebagian menempatkannya sebagai tokoh antagonis yang mempermainkan mata uang negara berkembang demi keuntungan pribadi.
Namun, banyak ekonom menilai bahwa Soros hanyalah katalis, seorang spekulan yang memanfaatkan celah dari sistem yang rapuh. Akar permasalahan sebenarnya terletak pada tata kelola ekonomi domestik, lemahnya sistem perbankan, serta kebijakan nilai tukar yang tidak realistis.
Krisis ini menjadi pengingat bahwa dalam dunia global yang terintegrasi, kerapuhan internal bisa dengan mudah diekspos oleh dinamika pasar global.
George Soros mungkin menjadi simbol dari kekuatan spekulasi internasional, tetapi krisis Asia 1997-1998 adalah cerminan nyata dari rentannya fondasi ekonomi yang dibangun tanpa regulasi yang kokoh.

Muhammad Imam Hatami
Editor
