Dari Banyu Geni hingga Bobibos, Antara Terobosan dan Pembelajaran
- Di tengah euforia penemuan Bobibos, para ahli mengingatkan pentingnya verifikasi ilmiah dan kesiapan komersial agar tak mengulang kisah “Blue Energy” atau "Banydi tengah euforia penemuan ini, para ahli mengingatkan pentingnya verifikasi ilmiah dan kesiapan komersial agar tak mengulang kisah “Blue Energy” atau " Banyu Geni" yang sempat menghebohkan Indonesia pada 2008.

Maharani Dwi Puspita Sari
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Di tengah meningkatnya kebutuhan energi alternatif dan desakan global menuju dekarbonisasi, inovasi bahan bakar ramah lingkungan kembali mencuri perhatian publik Indonesia. Salah satunya datang dari Subang, Jawa Barat, lewat temuan bahan bakar dari jerami bernama “Bobibos”.
Bahan bakar ini diklaim memiliki angka oktan mencapai 98,1, hasil uji laboratorium Lemigas, dan telah diuji langsung oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, pada kendaraan traktor pertanian.
Inovasi ini dikembangkan oleh Muhammad Ikhlas Thamrin, peneliti muda asal Subang, yang menyebutkan bahwa jerami padi bisa diolah menjadi bahan bakar nabati beroktan tinggi melalui proses fermentasi dan distilasi. Berbeda dengan bioetanol konvensional, Bobibos diklaim memiliki emisi lebih rendah dan dapat menjadi alternatif bagi BBM fosil, terutama di sektor pertanian dan transportasi ringan.
Hasil pengujian awal menunjukkan potensi besar untuk diaplikasikan secara lokal. Namun, seperti banyak inovasi energi sebelumnya, para ahli mengingatkan bahwa skala laboratorium tidak serta merta menjamin keberhasilan komersial. Perlu riset lanjutan terkait efisiensi biaya produksi, keamanan distribusi, serta dampak lingkungannya dalam jangka panjang.
Baca juga: Serupa Bobibos, Perusahaan Asing Ini Olah Jerami jadi Bahan Bakar
Refleksi dari Kasus “Banyu Geni”
Sebelum Bobibos mencuat, publik Indonesia sempat dibuat heboh oleh kasus “Banyu Geni” atau “Blue Energy” pada 2008, yang diklaim mampu menghasilkan bahan bakar dari air. Proyek ini dipimpin oleh Joko Suprapto, yang pada saat itu mendemonstrasikan teknologi konversi air laut menjadi energi di Yogyakarta. Proyek tersebut bahkan sempat dipertunjukkan di hadapan pejabat publik dan media nasional.
Namun, fakta ilmiah dan audit kemudian menunjukkan tidak ada bukti teknologi tersebut mampu menghasilkan energi sebagaimana diklaim. Kritik datang dari berbagai lembaga riset, termasuk LIPI dan kalangan universitas, yang menyebut proyek Blue Energy tidak memiliki dasar ilmiah dan metodologi penelitian yang dapat diverifikasi.
Di tahun 2008, Deputi Jasa Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Jan Sopaheluwakan mengatakan “Kita harus tahu persisnya apa yang dia klaim. Dia harus transparan, kelihatannya ada sesuatu yang disembunyikan. Ada sesuatu yang belum diekspose," ungkapnya saat itu.
Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa cairan yang disebut “Blue Energy” ternyata mengandung unsur minyak tanah dan campuran bahan kimia biasa, bukan berasal dari air murni. Artinya, Joko tidak benar-benar menemukan bahan bakar baru, melainkan melakukan rekayasa kimia yang diklaim sebagai inovasi.
Kasus ini berujung pada penyelidikan hukum dan tuntutan pidana, setelah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melaporkan kerugian sekitar Rp1,3 miliar akibat proyek PLT Jodhipati yang tidak terealisasi. Joko akhirnya dipenjara dengan 4 tahun penjara atas penipuan dan penyalahgunaan dana penelitian.
Kisah “Banyu Geni” menjadi pengingat bahwa euforia terhadap inovasi teknologi tanpa verifikasi ilmiah dapat membawa kerugian besar, baik secara finansial maupun reputasi akademik.

Maharani Dwi Puspita Sari
Editor
