Tren Ekbis

Dana CSR BI, Manfaat Sosial atau Ladang Bancakan Korupsi?

  • Dana CSR Bank Indonesia kembali jadi sorotan. Skema PSBI dinilai rawan bancakan politik, terseret kasus korupsi dari 2008 hingga 2025.
Bank Indonesia
Bank Indonesia (Dok/BI)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Dana Corporate Social Responsibility (CSR) umumnya identik dengan perusahaan swasta atau BUMN yang menyalurkan sebagian laba untuk kepentingan publik. Namun berbeda dari lembaga keuangan lain, Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral juga memiliki skema CSR sendiri bernama Program Sosial Bank Indonesia (PSBI). 

Program ini bertujuan mulia, yakni mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat, pendidikan, kesehatan, riset, hingga UMKM. Meski demikian, keberadaan dana sosial BI ini kembali menjadi sorotan karena dalam praktiknya justru berulang kali terseret kasus korupsi. 

Hal tersebut memunculkan pertanyaan besar, apakah BI memang perlu memiliki dana CSR, atau justru skema ini menjadi celah bancakan yang sulit diawasi?

BI mengalokasikan dana PSBI untuk berbagai program sosial seperti beasiswa, pengembangan UMKM, bantuan fasilitas pendidikan, kesehatan, serta kegiatan sosial lainnya. 

Secara konsep, PSBI menjadi bentuk kontribusi BI dalam pembangunan nasional di luar fungsi moneter. BI juga menegaskan bahwa PSBI dijalankan dengan tata kelola berlapis dan proses seleksi penerima bantuan yang ketat. 

Namun, temuan berbagai kasus menunjukkan bahwa di tingkat implementasi, program ini rentan disusupi kepentingan politik karena sering melibatkan anggota DPR, khususnya Komisi XI dalam penjaringan proposal dan distribusi bantuan. Keterlibatan pihak luar inilah yang kemudian membuka ruang penyimpangan dan praktik politisasi dana sosial BI.

Skandal Korupsi CSR BI

Sejak 2008, dana sosial BI tercatat sudah beberapa kali menjadi alat gratifikasi dan suap politik. Kasus pertama yang mencuat adalah skandal pada 2008 yang menyeret Gubernur BI saat itu, Burhanuddin Abdullah, serta Deputi BI Aulia Pohan.

Dana PSBI sebesar Rp31,5 miliar terbukti mengalir ke sejumlah anggota DPR dengan dalih “biaya sosialisasi” revisi Undang-Undang BI. Faktanya, dana tersebut menjadi suap untuk meloloskan kepentingan BI. 

Burhanuddin Abdullah akhirnya dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Pola serupa kembali muncul dalam kasus terbaru pada 2024-2025, ketika KPK mengungkap dugaan korupsi dana CSR BI dan dana PJK OJK periode 2020–2023 yang diduga dinikmati oleh dua anggota Komisi XI DPR, Heri Gunawan dan Satori. 

Dana yang seharusnya disalurkan melalui yayasan untuk kegiatan sosial, justru diselewengkan menjadi pembelian properti, kendaraan, hingga deposito pribadi. 

Dalam pemeriksaan, tersangka Satori bahkan menyebut bahwa bukan hanya dirinya, tetapi sebagian besar anggota Komisi XI juga pernah menerima kucuran dana tersebut, mengindikasikan potensi korupsi berjamaah, mirip dengan kasus DPRD Kota Malang beberapa tahun lalu.

Baca juga : Market Goyang, SMGR, BMRI, UNVR Bisa Jadi Penopang

KPK juga melakukan penggeledahan di Kantor Pusat Bank Indonesia (BI) Jakarta pada Senin malam, 16 Desember 2024. Langkah tersebut dilakukan untuk melengkapi proses penyidikan terkait dugaan penyalahgunaan dana tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang disalurkan oleh BI. 

Penggeledahan ini menjadi sorotan karena menyangkut lembaga keuangan sentral yang memiliki peran vital dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso menegaskan bahwa BI akan bersikap terbuka dan kooperatif dalam proses hukum tersebut. 

“BI menghormati  sepenuhnya proses hukum yang dilaksanakan oleh KPK sebagaimana prosedur dan ketentuan yang berlaku, mendukung upaya-upaya penyidikan, serta bersikap kooperatif kepada KPK,” ujar Ramdan kepada awak media, dikutip Selasam 4 November 2025.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo juga telah menegaskan komitmennya untuk menghormati proses hukum. Pada pertengahan Agustus 2024, Perry menyampaikan kesiapannya memberikan keterangan yang dibutuhkan oleh penyidik.

Meski tengah menjadi sorotan, Perry menegaskan bahwa pelaksanaan program CSR atau Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) telah dijalankan sesuai ketentuan dan prosedur yang berlaku. Ia menekankan pentingnya tata kelola yang kuat dalam setiap kegiatan sosial yang dilakukan oleh BI. 

“Kami pastikan bahwa CSR atau PSBI mempunyai tata kelola ketentuan yang kuat dengan proses pengambilan keputusan yang berjenjang,” tutur Perry dalam pernyataannya.

Lebih lanjut, Perry menjelaskan bahwa penyaluran CSR BI dilakukan dengan mekanisme dan persyaratan yang ketat. Bantuan tersebut hanya diberikan kepada lembaga berbadan hukum yang memiliki program sosial jelas dan konkret. 

“CSR hanya diberikan kepada yayasan, bukan individu. Yayasan tersebut merupakan lembaga hukum yang sah dan memiliki program jelas dan konkret,” kata Perry. Ia juga menambahkan bahwa BI tetap berkomitmen menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Baca juga : Harga Sembako di Jakarta: Gas Elpiji 3kg Naik, Tepung Terigu Turun

Penyidikan KPK

Berdasarkan hasil penyidikan, separuh dari dana CSR diduga tidak digunakan sesuai peruntukan. Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, “Misalkan CSR ada 100, yang digunakan hanya 50, yang 50-nya tidak digunakan. Yang jadi masalah tuh, yang 50-nya yang tidak digunakan tersebut digunakan, misalnya, untuk kepentingan pribadi.” jelas Asep dalam keterangannya dikutip Senin, 4 November 2025.

Dari hasil penyelidikan awal, KPK telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini. Penetapan tersebut dilakukan beberapa bulan lalu, namun hingga kini lembaga antirasuah itu belum mengungkap identitas dan asal lembaganya secara terbuka.

KPK juga memberikan sinyal kuat bahwa anggota DPR turut terlibat dalam penyelewengan dana tersebut. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Irjen Rudi Setiawan menanggapi singkat ketika ditanya mengenai kemungkinan keterlibatan pihak legislatif. “Itu tahu,” ujarnya, memberi indikasi bahwa penyidik telah mengetahui adanya peran oknum di lembaga perwakilan rakyat dalam kasus ini.

Selain pihak BI dan DPR, penyidik KPK menemukan dugaan bahwa sejumlah yayasan turut menjadi perantara penyaluran dana CSR. Dana tersebut tidak hanya berasal dari Bank Indonesia, tetapi juga dari lembaga keuangan lain seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Temuan ini memperluas cakupan penyelidikan karena menunjukkan adanya potensi praktik sistematis dalam pengalihan dana CSR dari berbagai lembaga negara ke pihak-pihak yang tidak berhak.

Modus yang digunakan disebut melalui penyaluran dana CSR ke yayasan sosial. Namun, sebagian besar dana itu diduga tidak benar-benar digunakan untuk kegiatan sosial sebagaimana laporan resmi, melainkan dialirkan ke kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.