Tren Ekbis

Dampak Ekstrem Inflasi dan Deflasi: Ini 5 Instrumen Wajib Investor untuk Menjaga Kekayaan

  • Dinamika ekstrem inflasi (kenaikan harga) dan deflasi (penurunan harga) sama-sama berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan daya beli. Konsekuensi deflasi bisa memicu resesi, pengangguran, dan kebijakan suku bunga nol, sehingga investor wajib mengadopsi strategi safe haven dengan diversifikasi ke emas, obligasi pemerintah, dan properti untuk menjaga nilai kekayaan di tengah fluktuasi harga yang tidak terduga.
images (8).jpeg
Inflasi (Blog IndoGold)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Dinamika inflasi dan deflasi menjadi salah satu perhatian khusus bagi pelaku ekonomi. Keduanya memiliki potensi untuk menekan daya beli, stabilitas bisnis, hingga strategi pengelolaan keuangan masyarakat. 

Sebagai informasi, inflasi merupakan momentum kenaikan harga barang dan jasa, sedangkan deflasi merupakan penurunan harga beli barang dan jasa. Dua hal tersebut menjadi instrumen ataupun patokan yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi di suatu negara.

Bank Indonesia (BI) menyebut bahwa inflasi dapat terjadi karena adanya dorongan permintaan (demand-pull) atau tekanan biaya, termasuk depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga. Sebaliknya, deflasi kerap terjadi ketika konsumsi menurun atau ketika pemerintah memberikan diskon dan subsidi yang menurunkan harga komoditas. Kondisi inflasi dan deflasi yang terlalu ekstrem dapat mengganggu aktivitas usaha serta pendapatan rumah tangga. 

Potensi Penyebab Inflasi dan Deflasi

Melansir dari Scotiabank, pada Rabu, 25 November 2025 potensi penyebab inflasi dan deflasi adalah:

Inflasi:

  1. Permintaan barang dan jasa melebihi pasokan
    Ketika permintaan melebihi pasokan, semua produk akan mengalami kenaikan karena para konsumen bersedia membayar lebih untuk mendapatkan barang atau jasa. Hal ini menjadi pemicu karena pasokan produk yang terlalu berlebihan, akan memaksa jumlah produksi yang berlebih. Akibatnya, produksi akan membutuhkan banyak tenaga dan membutuhkan instrumen khusus yang didukung untuk memenuhi kebutuhan konsumen secara cepat. Meskipun harga barang dan jasa menjadi mahal, konsumen rela mengeluarkan uang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
     
  2. Suku bunga rendah
    Saat suku bunga menjadi rendah, masyarakat dapat melakukan pinjaman uang secara mudah. Hal ini menjadi pemicu karena pada saat uang beredar secara cepat, maka permintaan pembelian barang dan jasa mengalami peningkatan, sehingga berdampak pada kenaikan harga secara signifikan. Semakin banyak diburu, maka harga produk akan meningkat secara cepat. 
     
  3. Meningkatnya biaya produksi
    Meningkatnya permintaan barang dan jasa, mengakibatkan kenaikan harga bahan baku sehingga memaksa perusahaan untuk melakukan pembiayaan produksi secara ekstra. Jika permintaan terjadi secara terus menerus, maka perusahaan harus menyiapkan keuangan yang settle hingga seluruh produksi berhasil dipasarkan kepada masyarakat. Momen inilah yang membuat kenaikan harga produk terjadi secara signifikan

Jika inflasi terjadi secara terus menerus, maka dampak besar yang akan terjadi adalah mempengaruhi nilai daya beli masyarakat, mengakibatkan kenaikan suku bunga, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Kenaikan yang terjadi terus menerus, akan menggerus nilai mata uang dan membuat pertumbuhan ekonomi secara lambat. Akibatnya, masyarakat memilih untuk menyimpan uang dan tidak melakukan aktivitas belanja secara berlebih. Penurunan daya beli yang terjadi pada masyarakat ini, membuat ekonomi melemah dan sektor-sektor retail maupun industri menjadi turun.

Deflasi:

1. Kelebihan Pasokan Barang dan Jasa 

Kondisi deflasi dapat terjadi ketika pasokan barang dan jasa secara keseluruhan melebihi daya beli atau permintaan agregat dari konsumen. Ketika permintaan tidak mampu mengimbangi lonjakan dari konsumen, maka akan terjadi surplus persediaan yang menumpuk di pasar. Untuk mengatasi penumpukan tersebut, perusahaan terpaksa mengambil langkah drastis dengan menurunkan harga secara masif. Penurunan harga yang terjadi di berbagai kategori produk dan jasa inilah yang memicu deflasi pada level ekonomi makro.

2. Kebijakan Suku Bunga yang Kontraktif

Kebijakan moneter dari bank sentral, khususnya melalui peningkatan suku bunga acuan, menjadi salah satu pemicu terjadinya deflasi. Kenaikan suku bunga secara langsung mampu meningkatkan biaya pinjaman uang, baik pada individu maupun korporasi. 

Kondisi ini secara efektif mengurangi jumlah uang beredar dalam perekonomian. Dengan akses kredit yang lebih mahal dan terbatas, masyarakat cenderung menahan diri untuk berbelanja, menunda investasi, dan mengurangi utang. Penurunan tajam dalam pengeluaran dan permintaan inilah yang menekan harga dan menyebabkan deflasi.

3. Penurunan Biaya Produksi (Efek Positif Teknologi)

Deflasi juga dapat dipicu oleh penurunan biaya operasional dan produksi secara substansial. Hal ini sering terjadi karena adanya inovasi teknologi atau penurunan harga bahan baku yang signifikan. Ketika biaya input produksi menurun, para pelaku bisnis atau usaha memiliki kemampuan untuk penghematan biaya dalam bentuk harga jual yang lebih rendah. Namun, penurunan harga yang terjadi secara luas di berbagai industri tetap tercatat sebagai fenomena deflasi.

Deflasi memicu siklus berbahaya yang dimulai dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat konsumen menunda belanja, yang berpotensi memicu resesi. Konsekuensi langsungnya adalah tekanan pada korporasi yang harus memangkas biaya, sehingga mengakibatkan peningkatan angka pengangguran melalui PHK dan pemotongan upah. Untuk melawan penurunan drastis pada permintaan dan produktivitas ini, bank sentral kemudian terpaksa merespons dengan kebijakan moneter ekstrem, yaitu menurunkan suku bunga secara agresif, bahkan hingga mencapai level nol atau di bawahnya.

Dalam situasi tersebut, investor perlu memahami pilihan instrumen yang relatif aman untuk menjaga nilai aset. Sejumlah instrumen dinilai mampu menahan gejolak harga dan memberikan perlindungan saat kondisi ekonomi berubah cepat.

Lima Instrumen Investasi yang Dinilai Lebih Aman

1. Emas (Logam Mulia)

Emas merupakan aset safe haven klasik yang paling umum dan dicari oleh investor, terutama saat terjadi inflasi tinggi serta ketidakpastian geopolitik. Salah satu emas seperti logam mulia yang memiliki fungsi unik sebagai aset pelindung nilai, dan harganya cenderung stabil atau ketika nilai mata uang suatu negara tergerus oleh inflasi. Melalui penyimpanan kekayaan dalam bentuk emas, para investor memiliki tujuan untuk menjaga daya beli aset investasi dalam jangka panjang.

2. Obligasi Pemerintah

Obligasi Pemerintah kerap dianggap sebagai jangkar stabilitas dalam portofolio investasi. Instrumen ini menawarkan tingkat return yang tetap dengan risiko gagal bayar yang relatif paling rendah. Karakteristik investasi dari obligasi ini menjadi relevan, ketika inflasi tidak stabil maupun ketika deflasi mulai menekan aktivitas ekonomi dan mengancam pasar saham. Obligasi ini mampu membantu menyediakan aliran pendapatan yang dapat diprediksi terlepas dari kondisi pasar.

3. Properti (Aset Riil)

Investasi dalam bentuk properti seperti tanah maupun bangunan, berfungsi sebagai penyimpanan aset jangka panjang. Nilai dari investasi properti ini cenderung bergerak naik seiring dengan laju inflasi, sehingga menjadikan sebagai aset riil yang tahan terhadap pelemahan nilai mata uang. Investasi dalam bentuk properti yang dilakukan di wilayah dengan prospek pertumbuhan ekonomi tinggi, memberikan perlindungan yang kuat terhadap risiko inflasi serta menawarkan potensi apresiasi modal yang signifikan.

4. Reksa Dana Pasar Uang 

Reksa dana pasar uang merupakan pilihan favorit bagi investor yang memprioritaskan likuiditas dan keamanan dana. Instrumen investasi ini berbasis pada deposito berjangka dan surat berharga dalam waktu jangka pendek yang aman dan mudah dicairkan. Instrumen investasi ini banyak digunakan sebagai tempat singgah  saat pasar modal sedang bergejolak. Meski menawarkan return yang konservatif, reksa dana merupakan alat penting untuk manajemen risiko dan likuiditas.

5. Diversifikasi Portofolio

Inti dari manajemen risiko adalah diversifikasi portofolio. Hal ini dilakukan untuk menyebar aset ke berbagai kelas investasi yang berbeda seperti emas, reksa dana, obligasi, dan lainnya. Strategi investasi yang dilakukan oleh investor dalam melakukan diversifikasi portofolio bersifat fundamental untuk menurunkan risiko kerugian secara keseluruhan. Dengan mengombinasikan aset yang berbeda, investor dapat memastikan bahwa kinerja dapat mempengaruhi pendapatan yang diraih.  

Seluruh instrumen investasi tersebut bergantung terhadap kondisi nilai mata uang, arah kebijakan moneter, tingkat inflasi inti, hingga stabilitas harga pangan maupun energi. Instrumen tersebut bukan sekadar untuk meraih keuntungan, tetapi juga mempertahankan nilai kekayaan ketika fluktuasi harga meningkat.