Nasional

Mau Dihapus Prabowo, Celios Nilai Outsourcing Masih Relevan

  • Praktik outsourcing atau alih daya dinilai masih relevan dalam dunia kerja modern. Namun, pembatasan yang jelas tetap diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan yang berujung pada pengabaian hak-hak pekerja.
pabrik-sritex-bloomberg-via-getty-imagesbloomberg-2_169.jpeg
Karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau biasa dikenal Sritex. (Dok/Bloomberg)

JAKARTA - Praktik outsourcing atau alih daya dinilai masih relevan dalam dunia kerja modern. Namun, pembatasan yang jelas tetap diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan yang berujung pada pengabaian hak-hak pekerja.

Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Jaya Darmawan, mengungkapkan praktik outsourcing dapat menjadi solusi strategis bagi perusahaan dalam mengelola sumber daya manusia, terutama dalam menghadapi tantangan efisiensi operasional dan fleksibilitas tenaga kerja. 

“Dalam konteks meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas bisnis (anggaran) sebenarnya outsorcing itu masih dibutuhkan, tetapi harus jelas batasan pekerjaannya,” ujar Jaya kepada TrenAsia, di Jakarta, Senin, 5 Mei 2025.

Diketahui, Presiden Prabowo Subianto tengah mengkaji penghapusan praktik outsourcing karena dianggap merugikan buruh. Presiden menugaskan Dewan Kesejahteraan Buruh untuk membahas komprehensif sistem outsourcing dan dampaknya. 

Menurut Jaya, outsourcing masih relevan diterapkan untuk jenis pekerjaan yang bersifat sementara, musiman, atau penunjang seperti layanan kebersihan, keamanan, atau logistik. 

Dengan mengalihdayakan pekerjaan-pekerjaan ini, perusahaan dapat fokus pada kompetensi intinya dan mengurangi beban biaya tetap dalam hal pengelolaan karyawan. “Pekerjaan yang sifatnya penunjang dan tidak dibutuhkan dalam jangka panjang seperti catering, EO periodik, digital marketer atau jasa jasa yang dibutuhkan sementara untuk meningkatkan kinerja perusahaan lainnya,” ujar Jaya.

Namun, Jaya menekankan perlu ada batasan yang tegas dan regulasi yang jelas dalam penerapan sistem outsourcing agar tidak disalahgunakan. Ia mengatakan tanpa pengawasan yang ketat, praktik outsourcing bisa merambah ke pekerjaan-pekerjaan inti yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh perusahaan.

“Outsurcing secara umum memiliki perbedaan utama dengan tetap pada dasar perjanjian kerjanya yang mengatur hak san kewajiban pekerjanya. Jadi perlindungan dan kesejahteraan kerjanya hanya sebatas pada perjanjian kerja,” kata Jaya.

Dia juga mengingatkan pentingnya perlindungan hak-hak pekerja outsourcing, seperti kepastian upah, jaminan sosial, dan keamanan kerja. Tanpa regulasi yang ketat dan pengawasan dari pemerintah, sistem ini rentan melahirkan praktik ketenagakerjaan yang eksploitatif. 

"Masih banyak perusahaan yang menggaji pekerja di bawah UMR, tidak menyediakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman untuk pertumbuhan karier, dan bahkan sempat ramai masih banyak yang menahan ijazah" tambah Jaya.

Dia mendorong pemerintah dan pelaku usaha untuk menerapkan praktik outsourcing secara bijak dan bertanggung jawab, serta memastikan pekerja tetap mendapatkan hak yang setara dengan pekerja tetap dalam hal perlakuan kerja yang adil dan manusiawi.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, pengaturan tentang outsourcing sebenarnya sudah cukup jelas. Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur tenaga alih daya tidak boleh menangani pekerjaan utama atau core business suatu perusahaan.

Namun, sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja, pengaturan mengenai outsourcing menjadi lebih longgar. Jaya menyebut hal ini membuka celah bagi perusahaan untuk memperluas jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing-kan, tanpa batasan yang memadai.

Ia menambahkan outsourcing seharusnya hanya diberlakukan untuk pekerjaan yang sifatnya tidak tetap, seperti layanan katering, penyelenggara acara (event organizer), atau pekerjaan digital marketing jangka pendek. Jenis-jenis pekerjaan ini umumnya tidak dibutuhkan secara terus-menerus dan dapat dikerjakan oleh pihak ketiga.

Sebaliknya, untuk pekerjaan inti seperti produksi utama, layanan pelanggan permanen, atau fungsi strategis lainnya, seharusnya tidak dialihdayakan. Ia mendorong pemerintah untuk mengevaluasi ulang kebijakan outsourcing dalam UU Cipta Kerja, dan memastikan ada regulasi turunan yang membatasi ruang lingkup praktik ini.