Tak Hanya QRIS, AS Juga Protes Sistem Pembayaran Lokal di Banyak Negara
- Washington khawatir bahwa kecenderungan negara-negara berkembang untuk mengutamakan infrastruktur pembayaran domestik akan mengurangi dominasi jaringan pembayaran global yang selama ini dikuasai perusahaan-perusahaan asal Amerika seperti Visa, Mastercard, dan PayPal.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA – Amerika Serikat (AS) kembali menyuarakan keberatannya terhadap kebijakan sistem pembayaran lokal yang diberlakukan di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dalam laporan tahunan National Trade Estimate (NTE) 2025, Washington menilai bahwa penguatan sistem pembayaran nasional di beberapa negara telah menyulitkan akses bagi perusahaan-perusahaan layanan keuangan asal AS, yang selama ini mendominasi transaksi global.
Di Indonesia, kebijakan seperti Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) menjadi sorotan. Kedua sistem ini dirancang untuk memperkuat kedaulatan nasional di sektor pembayaran digital sekaligus meningkatkan inklusi keuangan di dalam negeri.
Namun dari sudut pandang Amerika Serikat, langkah tersebut dianggap sebagai hambatan perdagangan baru yang mengurangi peluang perusahaan asing untuk berkompetisi di pasar Indonesia.
AS Kritik Sistem Pembayaran di Banyak Negara
Isu ini tidak hanya menyasar Indonesia. Amerika Serikat juga mempermasalahkan kebijakan serupa di sejumlah negara lain. Di Thailand, sejak 2013, pemerintah mewajibkan seluruh transaksi kartu debit domestik diproses di dalam negeri, memaksa penyedia asing untuk membangun fasilitas lokal.
“Akibatnya, pemasok layanan pembayaran elektronik asing tidak dapat menyediakan layanan lintas batas dan harus membangun kehadiran serta fasilitas pemrosesan di Thailand,” tulis NTE dalam laporannya yang diterbitkan Selasa, 22 April 2025.
Di Vietnam, sejak 2021, seluruh transaksi domestik wajib diproses melalui NAPAS, sebuah entitas milik negara. Sedangkan di Meksiko, sistem pembayaran elektronik dinilai membatasi partisipasi layanan asing, mendorong Amerika untuk mendesak pembukaan pasar keuangan domestik.
India pun mendapat kritik serupa. Negara tersebut mengembangkan standar QR Code domestik, membatasi pangsa pasar perusahaan asing, dan mewajibkan penyimpanan data pembayaran di dalam negeri.
Protes Amerika ini muncul di tengah rencana mereka menerapkan kebijakan tarif resiprokal, yaitu mengenakan tarif atau pembatasan setara terhadap negara-negara yang dinilai menghambat perusahaan-perusahaan asal AS.
Di media sosial X, laporan NTE ini ramai diperbincangkan. Banyak warganet, termasuk dari Indonesia, mengkritik sikap Amerika Serikat, menyebutnya sebagai bentuk ketidaknyamanan terhadap negara-negara berkembang yang semakin berani membangun kedaulatan sistem keuangannya sendiri.
- Baca Juga: Transaksi QRIS Melesat di Tengah Sorotan AS
Sistem Pembayaran Lokal: Simbol Kemandirian Ekonomi
Bank Indonesia menjelaskan, penguatan sistem pembayaran lokal merupakan langkah strategis untuk melindungi konsumen domestik, memperkuat industri keuangan nasional, dan mengurangi ketergantungan pada jaringan asing.
QRIS, misalnya, memungkinkan pelaku usaha dari skala kecil hingga besar menggunakan satu kode pembayaran standar nasional, tanpa perlu bergantung pada platform pembayaran asing. “QRIS diarahkan sebagai entry point ke ekosistem digital bagi UMKM untuk mendukung inklusi ekonomi dan keuangan," tulis Bank Indonesia.
Sementara itu, GPN dirancang untuk memastikan bahwa transaksi kartu debit lokal diproses di dalam negeri, sehingga menekan biaya transaksi dan meningkatkan keamanan data konsumen.
Bagi Amerika Serikat, tren ini dipandang sebagai bentuk baru proteksionisme digital yang, menurut mereka, merugikan prinsip keterbukaan pasar global. Washington khawatir, kecenderungan negara-negara berkembang memperkuat infrastruktur pembayaran domestik akan mengurangi dominasi jaringan global yang selama ini dikuasai perusahaan-perusahaan AS seperti Visa, Mastercard, dan PayPal.
Polemik ini mencerminkan ketegangan baru dalam lanskap perdagangan global. Di satu sisi, negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, dan Vietnam berusaha membangun kedaulatan digital untuk memperkuat ketahanan ekonomi di tengah persaingan teknologi yang kian ketat.
Di sisi lain, negara-negara maju seperti Amerika Serikat terus mendorong agenda liberalisasi pasar dengan dalih menciptakan iklim kompetisi terbuka — meski faktanya memperpanjang dominasi korporasi global.

Ananda Astridianka
Editor
