Korporasi

Menakar Langkah BUMN Karya 2025 di Tengah Tekanan Fiskal dan Konsumsi Lemah

  • Performa emiten konstruksi pelat merah menunjukkan ketimpangan sepanjang 2024. Tantangan serupa diperkirakan masih akan membayangi tahun ini, terutama dari sisi pemangkasan anggaran infrastruktur dan menurunnya daya beli masyarakat.
PP Presisi 4.jpg
Ilustrasi emiten konstruksi PT PP Presisi Tbk (PPRE), anak BUMN Karya PTPP / PP-Presisi.co.id (PP-Presisi.co.id)

JAKARTA - Performa emiten konstruksi pelat merah menunjukkan ketimpangan sepanjang 2024. Tantangan serupa diperkirakan masih akan membayangi tahun ini, terutama dari sisi pemangkasan anggaran infrastruktur dan menurunnya daya beli masyarakat.

Dalam riset terbarunya, Kiwoom Sekuritas menilai bahwa emiten BUMN Karya tetap menargetkan pertumbuhan kontrak yang agresif. Fokus mereka adalah pada pengamanan proyek strategis nasional dan penyelesaian pekerjaan lama. Di tengah tekanan finansial, langkah ekspansi tetap dikedepankan.

“Dari sisi keuangan, emiten BUMN karya bergelut dengan arus kas yang ketat, rasio utang terhadap ekuitas yang tinggi, dan tekanan bunga akibat beban utang yang besar,” tulis analis Kiwoom dalam riset yang diterbitkan Rabu, 23 April 2025.

Adapun perusahaan seperti PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) masih menjadi garda depan proyek infrastruktur Indonesia. Meski demikian, saham WIKA dan WSKT saat ini tengah disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia.

Kiwoom juga menyoroti tantangan eksternal seperti pemotongan belanja negara untuk infrastruktur, persaingan harga proyek yang semakin ketat, dan pelemahan konsumsi publik. “Tantangan-tantangan ini membuat keberhasilan restrukturisasi dan efisiensi operasional menjadi krusial untuk menjaga kelangsungan dan daya saing,” lanjut laporan tersebut.

Strategi dan Target Baru 2025

Diketahui emiten bersandikan PTPP memproyeksikan kontrak baru senilai Rp31 triliun pada tahun ini, dengan penekanan pada sektor energi dan proyek besar. ADHI membidik angka Rp27–28 triliun, dengan fokus pada infrastruktur transportasi dan energi.

Sementara itu, WIKA mengembangkan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2025–2029, dengan arah strategis ke peningkatan kompetensi teknis serta kerja sama dengan mitra EPC global. Setali tiga uang, WSKT menargetkan lonjakan kinerja proyek hingga 70% dan penyelesaian enam bendungan nasional, seraya terus melanjutkan restrukturisasi bisnis.

Mengapa Daya Beli Tetap Penting dalam Proyek BUMN Karya?

Meskipun tidak sejelas sektor konsumsi, daya beli masyarakat tetap punya relevansi dalam dinamika proyek konstruksi, khususnya properti dan infrastruktur berbasis pengguna. Oleh sebab itu, hal tersebut secara tidak langsung memiliki pengaruh terhadap fundamental perseroan. 

Asal tahu saja, BUMN Karya memiliki anak usaha yang mengelola proyek hunian seperti ADCP (ADHI), PP Properti (PTPP), dan WIKA Gedung (WIKA). “Terdapat berbagai contoh proyek hunian yang cukup sensitif terhadap daya beli masyarakat dari anak usaha ADHI, PTPP, dan WIKA, terutama di segmen menengah-bawah,” tulis Kiwoom.

Selain itu, daya beli yang lemah dapat menekan penerimaan pajak, mempersempit ruang fiskal, dan pada akhirnya memengaruhi alokasi anggaran infrastruktur dari pemerintah. Proyek transportasi berbasis tarif pengguna seperti LRT, jalan tol, atau pelabuhan pun rentan kehilangan kelayakan finansial jika konsumsi publik melemah.

Hal ini berdampak pada minat investor, membuat skema pembiayaan menjadi tidak menarik, dan mempersulit keberlanjutan proyek.“Kalau masyarakat semakin irit, penggunaan infrastruktur bisa menurun, kemudian pendapatan dari proyek juga melemah,” jelas riset tersebut. 

Dengan demikian, daya beli masyarakat, meskipun tidak langsung berkaitan, tetap menjadi faktor penentu dalam keberlanjutan proyek-proyek konstruksi nasional.