Korporasi

Harga Emas Rekor, Kinerja ANTM dan AMMN Mineral Justru Bertolak Belakang

  • Pendapatan bersih Antam mencapai Rp26,15 triliun atau naik 203% secara tahunan. Emas menjadi penyumbang utama, menghasilkan Rp21,61 triliun atau 83% dari total pendapatan.
Ilustrasi Emas Pegadaian-2.jpg
Karyawati menunjukkan emas batangan yang dijual di Galeri 24 Pegadaian, Jakarta, Kamis, 21 Juli 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA – Harga emas dunia menyentuh rekor tertinggi pada awal Mei 2025, menembus level US$3.263 per troy ounce. Lonjakan ini semestinya menjadi berkah bagi emiten tambang logam mulia. Namun, hasil yang tercermin dari dua raksasa tambang Indonesia justru bertolak belakang.

PT Aneka Tambang Tbk atau Antam dan PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) mencatat performa kontras pada kuartal I-2025. Antam menikmati lonjakan laba bersih lebih dari 1.000%, sementara AMMN justru membukukan kerugian tajam akibat masa transisi industrialisasi.

Antam membukukan laba bersih sebesar Rp2,32 triliun pada kuartal pertama 2025, melonjak dari Rp210,59 miliar pada periode yang sama tahun lalu. EBITDA perusahaan turut melesat 518% menjadi Rp3,26 triliun, mencerminkan efisiensi biaya dan adaptasi pasar yang solid.

Pendapatan bersih Antam mencapai Rp26,15 triliun atau naik 203% secara tahunan. Emas menjadi penyumbang utama, menghasilkan Rp21,61 triliun atau 83% dari total pendapatan. Volume penjualan emas meningkat 93% menjadi 13.739 kilogram selama tiga bulan pertama 2025.

Direktur Utama Antam, Nicolas D. Kanter, menilai pencapaian ini didorong strategi pemasaran agresif dan efisiensi berkelanjutan. Peluncuran aplikasi Antam Logam Mulia juga memperluas distribusi emas fisik, seiring lonjakan permintaan terhadap aset lindung nilai di pasar global.

Segmen nikel dan bauksit juga menunjukkan kinerja impresif. Penjualan nikel naik 581% menjadi Rp3,77 triliun, sementara produksi bijih nikel melonjak 221% menjadi 4,63 juta wmt. Volume penjualan feronikel mencapai 4.839 TNi, didukung penguatan pasar domestik.

Kontribusi dari lini bauksit dan alumina pun meningkat. Penjualannya mencapai Rp708,75 miliar pada kuartal ini. Antam terus memperkuat posisi lewat proyek hilirisasi strategis, seperti pembangunan pabrik logam mulia di JIIPE Gresik dan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Mempawah.

Tak hanya itu, keterlibatan Antam dalam ekosistem baterai kendaraan listrik nasional turut memperluas sumber pertumbuhan. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa Antam sudah masuk dalam tahap akselerasi hilirisasi yang memberi dampak nyata terhadap profitabilitas.

Sebaliknya, AMMN mencatat rugi bersih sebesar US$138,76 juta atau sekitar Rp2,32 triliun. Padahal, pada kuartal I-2024, perusahaan masih mencetak laba bersih sebesar US$129,05 juta. Pendapatan bersih AMMN anjlok drastis 99,66% menjadi hanya US$2,12 juta.

Kerugian ini terutama disebabkan nihilnya penjualan konsentrat emas dan tembaga. Proses awal operasional smelter dan kebijakan larangan ekspor membuat seluruh produksi dialihkan untuk kebutuhan dalam negeri. Produksi emas AMMN pun turun 81% secara tahunan.

Presiden Direktur AMMN, Alexander Ramlie, menyatakan bahwa smelter baru mereka sudah mulai menghasilkan katoda tembaga sejak akhir Maret 2025. Namun, pendapatan belum terealisasi karena proses komisioning dan ketidakpastian regulasi ekspor yang belum sepenuhnya fleksibel.

AMMN juga dibayangi tekanan dari sisi kebijakan fiskal, termasuk aturan tarif royalti yang baru. Menurut Ramlie, perubahan ini menjadi tantangan non-operasional yang harus dikelola secara hati-hati demi menjaga keberlanjutan kontribusi sektor tambang terhadap perekonomian nasional.

Direktur Keuangan AMMN, Arief Sidarto, menambahkan bahwa fase ini mencerminkan masa investasi jangka panjang. Meski utang meningkat menjadi US$5,12 miliar, perusahaan tetap optimistis bahwa proyek hilirisasi akan memberikan nilai tambah besar dalam beberapa tahun ke depan.

Dari perbandingan ini, terlihat jelas bahwa harga emas tinggi tidak otomatis menguntungkan semua pelaku industri. Antam sedang menikmati masa panen berkat kesiapan operasional dan jaringan pasar yang matang. AMMN, sebaliknya, masih dalam fase menabur lewat pembangunan hilirisasi.

Dalam jangka pendek, Antam mungkin akan tetap unggul dari sisi profitabilitas. Namun dalam jangka menengah hingga panjang, AMMN bisa mengejar jika industrialisasi dan smelter mereka berjalan optimal. Strategi dan momentum menjadi pembeda utama antara dua raksasa ini.