Risiko Tinggi Investasi Energi di Indonesia
- SPBU swasta kalang kabut. Stok BBM mereka tak mampu memenuhi lonjakan permintaan. Ada dugaan, pembatasan impor BBM oleh pemerintah sebagai prakondisi ke arah monopoli.

Andi Reza Rohadian
Author


Ilustrasi kilang minyak PT Pertamina (Persero) / Pertamina.com
(Istimewa)Di tengah sempitnya lapangan kerja, SPBU swasta terancam menghentikan karyawannya. Bagaimana tidak? Kelangkaan pasokan yang terjadi sejak Januari silam kian memburuk di akhir Agustus lalu. Karyawan di sekitar 300 SPBU mulai resah. Pengelola SPBU mulai mengurangi jam operasional, bahkan merumahkan karyawan.
Dan kalau tidak ada kejelasan dalam waktu dekat, langkah pamungkas pasti ditempuh: PHK! Jika satu SPBU memiliki sekitar 20 karyawan, maka jumlah orang yang akan kehilangan pekerjaan mencapai kurang lebih 6.000 orang.
Ini niscaya memperburuk angka korban PHK. Kementerian Tenaga Kerja mencatat sejak Januari hingga Agustus 2025 sebanyak 43.586 orang kehilangan pekerjaan. Kelangkaan ini terjadi setelah Kementerian ESDM memberlakukan kebijakan impor satu pintu melalui Pertamina.
Sebelumnya, SPBU partikelir diperkenankan mengimpor BBM sendiri. Hanya saja mereka dibatasi kuota sebanyak 1 juta kilkoliter per tahun. Dan untuk tahun ini jatah itu ditingkatkan sebanyak 10%.
Rupanya penambahan itu jauh panggang dari api. Hingga akhirnya SPBU asing mengalami kekosongan stok BBM non-subsidi, dari varian RON 92, RON 95, RON 98, dan Solar CN51.
Membobol Dompet Lebih Dalam
Bukan hanya karyawan SPBU asing yang resah, masyarakat pengguna BBM nonsubsidi pun mengeluh. Mereka khawatir jika kendaraannya diisi dengan bahan bakar varian lain bisa mengganggu kinerja mesin, yang ujung-ujungnya bisa membobol dompet lebih dalam.
Langkanya BBM nonsubsidi di SPBU asing tak lepas dari kualitas komoditi sejenis produk Pertamina. Sekadar mengingatkan beberapa waktu lalu heboh di media sosial, produk nonsubsidi Pertamina, yakni Pertamax mengakibatkan kerusakan mesin sejumlah kendaraan.
Konsumen juga mengeluhkan soal kualitas Pertamax yang tak ada bedanya dengan Pertalite (produk subsidi Pertamina). Lini masa media sosial X (Twitter) tahun lalu, diramaikan dengan unggahan yang menyebut bahan bakar minyak (BBM) Pertamax masuk ke dalam BBM kotor seperti Pertalite. Kualitas Pertamax juga dilaporkan tinggi sulfur dan merusak mesin.
Menanggapi komplain itu, Pertamina Patra Niaga kemudian turun tangan dengan mengambil sampel Pertamax. Selanjutnya sampel itu diuji di laboratorium Lembaga Pengujian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas).
Meski hasilnya dinyatakan memenuhi persyaratan teknis yang diatur Kementerian ESDM, permasalahan tersebut masih menyisakan pertanyaan di benak masyarakat. Di tengah pertanyaan masyarakat yang menggantung, Februari silam masyarakat seolah menemukan jawaban pasti.
Kejaksaan Agung menetapkan Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga sebagai tersangka korupsi tata kelola minyak mentah. Dia disangka oleh penyidik Kejaksaan Agung mengatur secara bersama-sama dengan tersangka lain, salah satunya Sani Dinar Saifuddin (Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional) untuk mengimpor minyak mentah pada saat minyak mentah dalam negeri masih mencukupi.
Riva bersama tersangka lain juga menetapkan harga lebih tinggi pembelian minyak mentah impor dibandingkan minyak mentah dalam negeri, sehingga negara dirugikan dengan selisih harga tersebut.
Selain itu, ini yang mungkin menyebabkan konsumen ramai-ramai lari ke SPBU asing, dia juga disangka membeli minyak produk kilang dengan standar dan harga RON 92 (Pertamax). Tapi kenyataannya minyak produk kilang yang diterima berstandar RON 90 (Pertalite), untuk kemudian dilakukan pengoplosan di kilang milik Pertamina Patra Niaga.
Penjualan Pertamax Turun Hingga 30‑50%
Seperti diketahui, dari permainan mereka, Kejaksaan Agung mengklaim negara dirugikan sebesar Rp 193,7 triliun. Kerugian tersebut berasal dari berbagai komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri (sebagai akibat minyak mentah dalam negeri produksi KKKS tidak dibeli oleh Pertamina Patra Niaga)
Selain itiu, kerugian berasal dari impor minyak mentah melalui broker swasta, impor minyak produk kilang melalui broker, dan dari pemberian kompensasi serta subsidi oleh APBN.
Sejak penetapan tersangka petinggi Pertamina nan heboh, pemandangan di SPBU swasta berubah 180 derajat. Dari yang biasanya sepi, tak perlu mengantre, SPBU milik Shell, BP, Exxon Mobil dan Vivo selalu ramai.
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan pembelian bensin bersubsidi menggunakan barcode dan seringnya stok pertalite kosong di SPBU kian mendorong orang membeli bahan bakar di pom bensin asing.
Masalahnya, SPBU asing jumlahnya relatif sedikit dibanding SPBU milik Pertamina. Mereka tidak mampu memenuhi lonjakan permintaan dalam skala nasional secara cepat. Permintaan BBM nonsubsidi di SPBUswasta memang meningkat drastis.
Penjualan di SPBU milik BP dalam beberapa pekan terakhir melonjak sekitar 20‑30%. Lalu, penjualan di sebuah SPBU Shell di Jawa Timur meningkat empat kali lipat selama kurang lebih satu pekan setelah isu Pertamax oplosan mencuat.
Namun ini tak bisa langsung dikaitkan dengan isu buruknya kualitas produk nonsubsidi Pertamina. Sebab, ada beberapa faktor tambahan, seperti pembukaan SPBU baru dan promosi.
Pertamina sendiri memang mengakui telah terjadi penurunan penjualan Pertamax (RON 92) sekitar 5% dalam satu hari pada 25 Februari 2025 akibat isu dugaan pencampuran (oplosan) antara Pertalite dan Pertamax.
Sejumlah pengusaha SPBU Pertamina (yang berada dekat dengan SPBU asing/swasta) juga mengakui omzet penjualan Pertamax turun hingga 30‑50%, kemungkinan karena konsumen beralih ke SPBU asing/swasta.
Kendati begitu, Pertamina tak perlu kawatir pasarnya tergerus oleh SPBU swasta. Sejauh ini Pertamina menguasai sekitar 95‑96% market share BBM di seluruh Indonesia untuk kebutuhan umum dari Sabang sampai Merauke.
Artinya, SPBU non‑Pertamina secara kolektif hanya memegang sekitar 4‑5 persen pasar BBM nasional (yang mencakup BBM subsidi dan non‑subsidi). Kekuatan SPBU asing di BBM non-subsidi di wilayah spesifik, seperti di Jabodetabek.
Dengan kata lain walau secara nasional kecil, di wilayah kota besar dan segmen non-subsidi, SPBU asing punya posisi signifikan. Di kota besar dan dalam segmen non‑subsidi, posisi SPBU swasta jauh lebih kuat dan bisa menguasai sekitar 30‑50% dari segmen non-subsidi (tergantung wilayah).
Alhasil, yang bisa membuat Pertamina bergeming dari kekuatan SPBU asing hanyalah dengan menjaga kualitas dan kepercayaan publik. Modal jaringan yang sampai pelosok Nusantara, meliputi kurang lebih 8.000 SPBU dan 6.000 Pertashop merupakan sebuah kekuatan yang sulit ditaklukkan.
Satu peluang yang memungkinkan pihak asing melebarkan sayap adalah jika pemerintah membatasi regulasi BBM bersubsidi. Namun mengingat kondisi perekonomian dan politik nasional belakangan ini, rasanya langkah itu masih terlalu jauh. Menanggapi keluhan dari pengelola SPBU swasta, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, menyatakan BBM adalah menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Cabang-cabang industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak tetap harus dikontrol oleh negara,” katanya. Lebih lanjut ia mengingatkan SPBU swasta sudah ditambah kuota impor sebesar 10% dari tahun 2024. “Nah, kalau masih ada kekurangan, kami minta mereka kolaborasi dengan Pertamina.”
Tak lupa Bahlil mengungkapkan, Jumat, 19 September lalu, para pengelola SPBU swasta telah sepakat untuk membeli BBM lewat Pertamina. Mereka sepakat membeli bahan bakar dengan kadar oktan murni tanpa campuran aditif, juga menunjuk joint surveyor untuk menyetujui BBM yang akan dikirim, serta harga yang adil.
Bagi SPBU swasta, satu-satunya cara untuk melanjutkan bisnis adalah menyepakati apa yang telah digariskan oleh pemerintah. Tak ayal ekonom dari FEB UGM Fahmy Radhi menilai kekosongan stok BBM yang terjadi merupakan prakondisi ke arah monopoli. Apa boleh buat, operator SPBU swasta pun mulai berpikir ulang untuk melakukan ekspansi bisnis.
Betul, Indonesia dengan pasarnya yang besar sungguh menarik untuk investasi energi. Tapi ketergantungan pada kebijakan pemerintah soal BBM, perizinan impor, dan pembatasan subsidi dapat menjadi hambatan struktural. Jika kelangkaan di SPBU asing jadi berulang, ini bisa memicu persepsi bahwa investasi di sektor distribusi energi Indonesia masih berisiko tinggi.

Chrisna Chanis Cara
Editor
