Gemini_Generated_Image_led65led65led65.jpeg
Tren Pasar

WTB-WTS Saham CDIA di Harga Premium, Benarkah Didorong Imajinasi Kolektif?

  • Fenomena WTB dan WTS saham CDIA, emiten Prajogo Pangestu yang baru listing ciptakan harga premium di pasar negosiasi. Benarkah imajinasi kolektif yang mendorong investor melakukan tindakan tersebut?

Tren Pasar

Alvin Bagaskara

JAKARTA – Pekan ini, investor saham di Bursa Efek Indonesia dimanjakan oleh delapan emiten yang melakukan penawaran umum perdana alias IPO. Namun, ada satu emiten yang mencuri perhatian: PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), yang merupakan emiten milik taipan Prajogo Pangestu, menjadi primadona utama dan mendorong tindakan imajinatif investor.

Status primadona tersebut bukan tanpa alasan, data dari  Stockbit Sekuritas, hingga perdagangan hari ini pukul 11.13 WIB, tercatat antrean beli (bid) untuk saham yang menggunakan kode saham CDIA mencapai 70 juta lot, setara dengan nilai permintaan sebesar Rp2,8 triliun.

Fenomena ini sangat kontras dengan realisasi transaksi saham CDIA yang hanya Rp835 juta dari volume 20,87 ribu lot. Angka ini menandakan kuatnya minat investor untuk mengoleksi saham ini dan minimnya pihak yang mau melepasnya di pasar.

Menariknya lagi, saham CDIA masih kokoh di posisi ARA pada harga Rp400 per saham. Dengan harga penawaran umum perdana (IPO) di level Rp190, artinya saham ini telah melesat sebesar 110,53% sejak melantai di BEI pada Rabu, 9 Juli 2025.

Return Fantastis 

Sebagai gambaran, jika seorang investor yang mendapatkan penjatahan 100 lot saham CDIA saat penawaran umum. Dengan modal awal sebesar Rp1,9 juta, yang dikeluarkan untuk membeli 100 lot pada harga IPO Rp190, nilai investasi tersebut kini telah meroket menjadi Rp4 juta.

Artinya, hanya dalam tiga hari perdagangan, investor tersebut telah membukukan keuntungan bersih sebesar Rp2,1 juta. Angka ini setara dengan imbal hasil (return) fantastis 110,53%, yang membuat nilai investasinya berlipat ganda atau menjadi multibagger.

Namun, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Pasalnya, porsi final penjatahan saham CDIA, investor dengan nilai pesanan di bawah Rp100 juta hanya mendapatkan 1,70% dari total pesanannya, sementara investor dengan pesanan di atas Rp100 juta menerima porsi yang lebih kecil lagi, yakni hanya 0,6%.

Mengapa kondisi ini bisa terjadi? Rendahnya porsi penjatahan ini merupakan akibat langsung dari minat investor yang membludak saat masa penawaran umum. Secara keseluruhan, IPO saham CDIA tercatat mengalami kelebihan permintaan (oversubscription) hingga 563,64 kali dari porsi penjatahan terpusat (pooling).  

Selain itu, tingginya antusiasme ini juga tampak dari partisipasi lebih dari 400.000 investor ritel, yang menyebabkan permintaan di segmen ini saja melebihi 400 kali jatah yang tersedia. Alhasil, saham CDIA langsung merangsesk ke posisi tiga besar saham dengan holder terbanyak di Bursa Efek Indonesia, setelah BBRI (674.652 investor ritel) dan BBCA (481,722 investor ritel)

Masa Depan Imajinatif

Di tengah membludaknya antrean saham CDIA, sebuah fenomena menarik muncul di platform Stockbit Sekuritas. Aplikasi yang menggabungkan fungsi jual beli saham dengan ruang obrolan investor ini diwarnai oleh aktivitas Want to Buy (WTB) dan Want to Sell (WTS).

Data yang dihimpun TrenAsia.id mengonfirmasi adanya upaya untuk menyiasati antrean panjang saham CDIA melalui pasar negosiasi. Tercatat, transaksi tawar-menawar di kalangan investor terjadi secara variatif pada rentang harga Rp900–Rp1.200 per saham.

Dok/ Stokcbit Sekuritas 

Artinya, investor yang melakukan transaksi di pasar negosiasi itu cenderung membeli saham CDIA di atas harga pasar sebesar 125%–200%. Keyakinan ini juga dilandasi oleh kisah sukses emiten afiliasi Prajogo Pangestu lainnya, yakni PT Barito Renewbles Energy Tbk (BREN), dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) yang melesat ribuan persen pasca IPO dua tahun lalu. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa perilaku investor tidak semata digerakkan oleh data fundamental atau analisis rasional, melainkan oleh harapan dan imajinasi kolektif tentang masa depan saham tersebut. Ini selaras teori fictional expectations dari Sosiolog Ekonomi Jerman dan Direktur Max Planck Institute for the Study of Societies, Jens Beckert, relevan.

Lewat bukunya Imagined Futures: Fictional Expectations and Capitalist Dynamics (2016), Beckert menjelaskan bahwa keputusan ekonomi sangat dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap masa depan yang bersifat imajiner, yakni masa depan yang belum pasti, namun tetap dipercaya dan dijadikan dasar tindakan oleh para pelaku pasar.

Menyitir yang dikatakan Beckert fenomena semaca ini pernah terjadi bagaimana investor pada era dot-com bubble atau saat startup seperti Facebook masih merugi, tetap membanjiri saham atau modal ventura dengan ekspektasi bahwa mereka akan menjadi besar. 

Dalam konteks CDIA, ekspektasi fiktif ini lahir dari narasi yang tersebar di platform seperti Stockbit dan diperkokoh oleh jejak kesuksesan emiten Grup Barito sebelumnya. Imajinasi bahwa saham CDIA akan melesat seperti BREN dan CUAN menjadi pendorong utama di balik aksi beli besar-besar termasuk melalui pasar negosiasi di level harga premium.

Oleh karena itu, keyakinan akan keuntungan spektakuler inilah yang mendorong investor melakukan pembelian di atas harga pasar, bahkan sebelum emiten menunjukkan performa keuangan yang konkret. Inilah kekuatan sebuah ekspektasi: meskipun imajiner, dampaknya sangat nyata.

Peluang Pemain Infrastruktur Utama

Sementara itu, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan, menilai euforia investor terhadap IPO CDIA menjadi sinyal bahwa emiten ini memiliki peluang besar menjadi pemain utama baru di sektor infrastruktur nasional. 

Ekky bilang CDIA yang kini memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp31,96 triliun langsung menembus jajaran 30 besar emiten di IHSG. "Ini menunjukkan potensi peran strategis CDIA dalam mendorong transformasi sektor infrastruktur," ujarnya dalam keterangannya. 

Ia menambahkan, masuknya CDIA ke indeks acuan seperti LQ45 atau IDX Infra bisa mendorong rotasi dana institusi ke saham-saham sejenis, meski dampaknya tidak akan merata. Menurutnya, subsektor energi baru terbarukan adalah yang paling relevan dan berpeluang menerima limpahan sentimen positif. "Efek dominonya akan terasa kuat pada subsektor yang sesuai dengan profil bisnis CDIA,"kata Ekky.

CDIA sendiri merupakan entitas konsolidasi strategis milik Grup Barito yang mengelola aset pelabuhan, logistik, dan ketenagalistrikan di Kalimantan. Dengan keterkaitan langsung terhadap rantai pasok industri energi dan momentum pembangunan IKN, saham ini dinilai masih menarik secara jangka panjang. "Kalau valuasi sektor ikut naik, harga saham CDIA bisa menembus level Rp2.000," pungkasnya.