Gemini_Generated_Image_m6okihm6okihm6o.jpeg
Tren Pasar

Wanti-Wanti Ekonom dan Analis: Ini Dampak Nyata Jika Diplomasi Tarif Trump Gagal

  • Ancaman tarif 32% Trump bisa picu PHK massal dan guncang Rupiah dan IHSG. Kini, semua mata tertuju pada dua pintu darurat yang dinegosiasikan di Washington.

Tren Pasar

Alvin Bagaskara

JAKARTA - Hubungan dagang Indonesia dan Amerika Serikat memanas. Presiden AS Donald Trump secara resmi mengirim surat ultimatum kepada Presiden Prabowo Subianto, menegaskan bahwa seluruh produk Indonesia akan dikenai tarif impor tunggal sebesar 32% mulai 1 Agustus 2025.

Dalam surat tertanggal 7 Juli 2025 itu, Trump menyebut alasan utama kebijakan ini adalah defisit perdagangan AS terhadap Indonesia yang mencapai US$17,9 miliar. Angka ini dianggapnya sebagai sebuah ancaman bagi perekonomian dan keamanan nasional Amerika Serikat.

Kabar ini tentu menjadi lonceng peringatan bagi ekonomi nasional, dari ancaman PHK massal hingga guncangan di pasar saham. Namun di balik ancaman tersebut ternyata ada celah negosiasi yang bisa diperjuangkan oleh pemerintah Indonesia saat ini.

Untuk memahami drama dagang ini secara utuh, mari kita bedah enam poin penting ceritanya: dari ultimatum yang diberikan, dampak nyatanya, hingga pertaruhan diplomasi yang kini sedang berlangsung di Washington D.C. untuk menentukan nasib kita.

1. Ada Apa Sih Sebenarnya?

Poin pertama yang perlu dipahami adalah isi dari ultimatum tersebut. Kebijakan tarif 32% ini bersifat menyeluruh atau blanket tariff, artinya akan diterapkan pada semua jenis barang tanpa terkecuali, mulai dari tekstil, alas kaki, hingga furnitur dan produk karet.

Tarif baru ini akan dikenakan di luar atau di atas tarif sektoral lain yang mungkin sudah berlaku sebelumnya. Hal ini menjadikan beban bagi para eksportir Indonesia menjadi berlipat ganda dan sangat memberatkan daya saing produk di pasar Amerika.

Menurut riset Kiwoom Sekuritas, tarif tetap 32% ini dikenakan karena Indonesia dinilai menerapkan sejumlah hambatan dagang. Di antaranya adalah kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan izin impor yang dianggap ketat.

2. Ancaman PHK Massal dan Rupiah Goyang

Dampak dari ancaman tarif ini diprediksi akan sangat signifikan bagi ekonomi nasional. Pemerintah sendiri memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi bisa terpangkas antara 0,3% hingga 0,5% jika kebijakan ini benar-benar diterapkan secara penuh.

Konsekuensi paling nyata bagi masyarakat adalah potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja atau PHK massal. Sektor-sektor industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki menjadi yang paling rentan terhadap guncangan ini, mengancam nasib jutaan pekerja.

Selain itu, ancaman ini juga berisiko tinggi bagi stabilitas mata uang. Jika ekspor Indonesia ke AS anjlok, pasokan dolar ke dalam negeri akan berkurang drastis. Kondisi ini secara fundamental dapat memberikan tekanan pelemahan yang signifikan terhadap nilai tukar Rupiah.

Tekanan ini pun sudah terasa di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Inarno Djajadi, menjelaskan besarnya tekanan jual dari investor asing sepanjang tahun ini. “Investor nonresiden mencatatkan net sell sebesar Rp53,57 triliun secara year-to-date,” ujar Inarno pada Senin, 7 Juli 2025. 

3. Trump Kasih 2 Pintu Darurat Tersembunyi

Meskipun suratnya bernada keras, Trump ternyata menyisipkan dua 'pintu darurat' atau jalan keluar bagi Indonesia. Opsi pertama bersifat radikal, yaitu dengan menawarkan pembebasan tarif jika perusahaan Indonesia mau merelokasi industrinya dan berproduksi langsung di Amerika.

Tawaran ini disertai janji proses perizinan yang sangat cepat untuk mendorong investasi langsung. “Tidak akan ada tarif jika Indonesia, atau perusahaan-perusahaan di dalam negeri Anda, memutuskan untuk membangun atau memproduksi barang di Amerika Serikat,” tulis Trump.

Pintu darurat kedua lebih bersifat diplomatis, di mana Trump membuka ruang negosiasi. Ia menyiratkan bahwa besaran tarif yang diancamkan masih mungkin disesuaikan jika Indonesia bersedia membuka pasarnya lebih lebar bagi produk-produk Amerika Serikat.

Ia menegaskan adanya fleksibilitas jika syarat tersebut dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. “Jika Anda bersedia membuka pasar dagang..., kami mungkin akan mempertimbangkan penyesuaian terhadap surat ini,” kata Trump.

4. Adu Cepat dengan Vietnam & India

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan langsung bergerak cepat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dijadwalkan tiba di Washington D.C. pada hari ini, Selasa, 8 Juli 2025, untuk memulai negosiasi tingkat tinggi.

Namun, posisi tawar Indonesia berada di bawah tekanan. Menurut Kiwoom Sekuritas, negara pesaing seperti Vietnam, India, dan China dilaporkan sudah lebih dulu mengamankan kesepakatan dagang dengan AS, di mana Vietnam bahkan berhasil memangkas tarifnya menjadi hanya 20%.

Untuk meredam ancaman tarif, tim delegasi dilaporkan membawa 'paket tawaran' yang sangat ambisius. Ini mencakup komitmen impor barang AS hingga US$34 miliar, pembelian energi senilai US$15,5 miliar, serta akses prioritas atas mineral kritis seperti nikel.

Juru bicara Kemenko Perekonomian, Haryo Limanseto, menegaskan bahwa pemerintah akan memanfaatkan celah negosiasi yang masih terbuka. “Pemerintah Indonesia akan mengoptimalkan kesempatan yang tersedia demi menjaga kepentingan nasional ke depan,” ujarnya dalam keterangan resmi pada Selasa, 8 Juli 2025. 

Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, mengingatkan besarnya risiko kegagalan diplomasi ini. “Jika gagal mengamankan deal, risiko terbesar adalah hilangnya akses pasar ekspor dan tekanan terhadap kurs rupiah,” ujar Liza dalam riset yang dipublikasi hari ini. 

5. Pelajaran Jangka Panjang

Riset Kiwoom juga memberikan saran strategis jangka panjang bagi Indonesia agar tidak terus menerus berada di bawah tekanan serupa. Kuncinya adalah dengan melakukan diversifikasi pasar ekspor dan tidak hanya bersandar pada satu poros ekonomi.

Mereka menyarankan Indonesia meniru strategi cerdas China yang aktif membebaskan bea masuk untuk produk dari negara-negara Afrika. Langkah ini tidak hanya memperluas pasar, tetapi juga memperkuat pengaruh geopolitik secara signifikan.

Indonesia bisa mulai mengembangkan kerja sama tarif preferensial dengan negara-negara berkembang di Asia Selatan, Pasifik, dan Afrika. Hal ini dapat melindungi ekspor unggulan seperti pangan olahan, otomotif, dan tekstil dari gejolak proteksionisme global.

Selain itu, memperkuat skema penyelesaian transaksi dengan mata uang lokal seperti Local Currency Settlement (LCS) dan Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) juga menjadi langkah penting untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan pada dolar AS.

6 Adu Kuat Diplomasi Jadi Penentu

Sementara itu, Ekonom Ibrahim Assuaibi menganalisis situasi ini lebih dalam, bukan sekadar sebagai isu ekonomi, melainkan permainan catur geopolitik. Ia melihat tarif ini sebagai langkah strategis AS untuk mengubah posisi tawar dan memaksa Indonesia mengevaluasi ulang kebijakan dagangnya.

Ia menjelaskan kerangka strategis di balik langkah Amerika Serikat tersebut. “Dalam konteks teori permainan, tarif ini adalah upaya AS untuk mengubah "payoff matrix" dalam hubungan dagang bilateral,” jelas Ibrahim dalam keterangannya pada Selasa, 8 Juli 2025.

Ibrahmim menambahkan bahwa B]bagi masyarakat umum dan pelaku usaha, dampak dari kebijakan ini bisa sangat nyata. “Risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dan potensi terjadinya PHK di sektor padat karya adalah ancaman yang perlu diantisipasi oleh semua pihak dalam beberapa waktu ke depan,”  tandasnya. 

Pada akhirnya, nasib jutaan pekerja dan arah ekonomi Indonesia kini dipertaruhkan di meja perundingan Washington. Pertanyaannya: apakah badai tarif ini berhasil diredam, atau justru akan menerjang kita semua?