
Utang Pendidikan Mahasiswa AS Tembus Rp29.000 Triliun
- Pada kuartal pertama 2025, total utang pendidikan mahasiswa di Amerika Serikat tercatat di kisaran US$1,77 hingga US$1,80 triliun atau sekitar Rp28.851 triliun hingga Rp29.340 triliun (kurs Rp16.300).
Tren Global
JAKARTA - Utang mahasiswa di Amerika Serikat kini mencapai rekor tertinggi sepanjang masa. Pada kuartal pertama 2025, total utang pendidikan tercatat di kisaran US$1,77 hingga US$1,80 triliun atau sekitar Rp28.851 triliun hingga Rp29.340 triliun (kurs Rp16.300).
Kenaikan ini terjadi setelah sempat turun pada 2023, namun kembali melonjak US$16 miliar (sekitar Rp260,8 triliun) di awal 2025, menurut data dari Federal Reserve Bank of New York. Tren ini mengindikasikan beban pendidikan tinggi di AS semakin berat, bukan hanya bagi warga negara AS, tetapi juga pelajar internasional yang bercita-cita kuliah di sana.
Pada akhir 2024, rata-rata utang mahasiswa federal mencapai US$38.000–US$38.900 (Rp619 juta–Rp634 juta) per orang. Suku bunga pinjaman juga mengalami kenaikan, yaitu 6,53% untuk jenjang sarjana, 7–8% untuk pascasarjana, dan hingga 9% untuk pinjaman PLUS (Parent Loan for Undergraduate Students).
Saat ini, lebih dari 43 juta warga dewasa AS memiliki pinjaman mahasiswa, dengan kelompok usia 24–49 tahun (generasi millennial dan Gen X) menyumbang sekitar 65–69% dari total saldo pinjaman nasional.
Keterlambatan Bayar & Risiko Gagal Bayar
Lonjakan tajam keterlambatan pembayaran pinjaman mahasiswa federal di kuartal pertama 2025 menandai krisis baru dalam sektor pendidikan tinggi AS. Data Federal Reserve menunjukkan sekitar 8% peminjam mengalami keterlambatan lebih dari 90 hari, angka yang meningkat sepuluh kali lipat dibandingkan hanya 0,8% pada akhir 2024.
Secara keseluruhan, sekitar 5,8 juta pinjaman federal atau 31% dari total peminjam aktif kini berstatus delinquent (menunggak), dan sekitar 5 juta pinjaman telah resmi masuk ke dalam status default (gagal bayar). Kenaikan drastis ini bertepatan dengan berakhirnya moratorium pembayaran yang diberlakukan selama pandemi, yang secara resmi dicabut pada 5 Mei 2025.
Sejak saat itu, pemerintah AS mulai memberlakukan kembali kebijakan penagihan yang lebih ketat dan agresif, termasuk penyitaan sebagian gaji melalui mekanisme garnishment dan pemblokiran akses terhadap tunjangan federal seperti pengembalian pajak atau bantuan sosial.
Langkah ini dikritik luas oleh kelompok advokasi mahasiswa dan analis kebijakan karena dinilai tidak mempertimbangkan realitas ekonomi peminjam yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi.
Pemerintah juga memutuskan untuk menghentikan sejumlah skema pembayaran berbasis penghasilan yang sebelumnya populer dan relatif meringankan, seperti SAVE (Saving on a Valuable Education), PAYE (Pay As You Earn), dan ICR (Income-Contingent Repayment).
Sebagai gantinya, diperkenalkan dua opsi baru, Standard Payment Plan dan Repayment Assistance Plan (RAP), yang akan berlaku hingga Juni 2028. Meski diklaim sebagai upaya untuk menyederhanakan sistem pembayaran, kebijakan baru ini justru menuai kekhawatiran karena dianggap tidak cukup fleksibel bagi peminjam berpenghasilan rendah atau yang menghadapi ketidakstabilan pekerjaan.
Sekitar 8 juta peminjam yang sebelumnya terdaftar dalam SAVE Plan kini dihadapkan pada ancaman bunga pinjaman yang kembali diberlakukan mulai 1 Agustus 2025.
Kebijakan ini dinilai dapat mempercepat akumulasi utang, terutama bagi mereka yang hanya mampu membayar jumlah minimum setiap bulan. Banyak pihak memperingatkan bahwa reformasi ini berisiko menciptakan gelombang krisis baru dalam utang pendidikan, meningkatkan ketimpangan ekonomi, serta menghambat mobilitas sosial generasi muda Amerika.