Mixue
Tren Global

UMKM F&B China Ekspansi Besar-besaran di Indonesia

  • Dengan harga murah, sertifikasi halal, dan smart factory di China, merek F&B China seperti Mixue kuasai pasar Indonesia, kalahkan pelaku usaha lokal.

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Gelombang ekspansi UMKM sektor makanan dan minuman (F&B) asal China tengah membanjiri kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi salah satu sasaran utama. Merek-merek seperti Mixue, Heytea, dan Chagee tampil dominan melalui strategi harga rendah, adaptasi budaya, serta efisiensi operasional tinggi yang menggebrak pasar lokal.

Dikutip dari data lembaga riset asal Singapura, Momentum Works, sejak tahun 2022 lebih dari 6.100 gerai F&B asal China telah dibuka di Asia Tenggara. Sebanyak 66 persen atau sekitar 4.000 gerai di antaranya terkonsentrasi di Indonesia dan Vietnam. Di Indonesia sendiri, Mixue mencatatkan rekor dengan lebih dari 2.600 gerai dalam waktu kurang dari tiga tahun, menjadikannya jaringan es krim dan minuman terbesar di Tanah Air.

Lonjakan ekspansi ini didorong oleh lesunya pasar domestik di China. Tercatat, lebih dari 1 juta gerai F&B di China tutup pada 2024 akibat kelebihan pasokan dan stagnasi konsumsi dalam negeri. Asia Tenggara, dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan regulasi yang relatif longgar, menjadi tujuan baru yang menjanjikan.

Strategi: Harga Murah, Rasa Lokal, dan Efisiensi Ekstrem

Mixue, yang menjual es krim mulai Rp8.000 dan minuman sekitar Rp10.000, mampu menarik segmen pelajar dan pekerja muda. Di Malaysia, harganya bahkan disebut “lebih murah dari air mineral.” Sementara Chagee dan Cotti Coffee menyesuaikan diri dengan selera lokal seperti menambahkan gula aren dan susu kental manis ke dalam produk mereka.

Tak hanya itu, adaptasi budaya dilakukan secara serius. Mixue telah memperoleh sertifikasi halal dari MUI dan JAKIM, serta kerap merilis produk edisi khusus seperti es krim merah-putih saat HUT RI atau minuman edisi Ramadan.

Di sisi operasional, perusahaan-perusahaan ini memanfaatkan rendahnya biaya sewa dan listrik di Indonesia, masing-masing hanya sekitar $4,92/m² (sekitar Rp80.196/m²) dan $0,07/kWh (sekitar Rp1.141/kWh). 

Mereka juga menerapkan model waralaba murah yang terhubung langsung dengan pabrik pintar (smart factory) di Henan, China, memungkinkan proses produksi dan distribusi berjalan lebih efisien serta minim biaya.

UMKM Lokal Terjepit, Pasar Menyusut Drastis

Namun di balik kesuksesan ekspansi tersebut, terdapat kekhawatiran serius atas keberlanjutan UMKM lokal. Dilansir data BPS, Sektor F&B lokal mencatat penurunan drastis, dari 3,9 juta pelaku usaha pada 2019 menjadi hanya 1,7 juta pada 2024. Di berbagai kota seperti Bekasi dan Jakarta Barat, gerai tradisional mulai tergeser oleh merek-merek China.

Secara makro, dominasi brand asing ini juga berkontribusi pada memburuknya neraca perdagangan Indonesia-China, dari defisit $3,02 miliar (2024) menjadi $6,28 miliar (2025). Meski menciptakan 12.800 lapangan kerja langsung, banyak pekerja yang dilaporkan menerima upah di bawah UMR dan minim perlindungan ketenagakerjaan.