Ilustasi Perang dagang AS-CHINA.jpg
Nasional

Trump Tunda Tarif Semua Negara, China Justru Dibogem Tarif 125 Persen

  • Alih-alih melonggarkan ketegangan dengan Beijing seperti pada negara lain, Trump justru menaikkan tarif impor dari China menjadi 125%, yang langsung berlaku efektif sejak kemarin, Selasa, 10 April 2025.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan jeda selama tiga bulan atas seluruh tarif resiprokal, kecuali untuk China, dalam langkah yang ia sebut sebagai bagian dari strategi perdagangan jangka panjang. 

Alih-alih melonggarkan ketegangan dengan Beijing seperti pada negara lain, Trump justru menaikkan tarif impor dari China menjadi 125%, yang langsung berlaku efektif sejak kemarin, Selasa, 10 April 2025.

Dalam pernyataannya, Trump mengkritik China karena dinilai kurang menghormati aturan pasar global. Menurut Trump, China ingin membuat kesepakatan, tapi tidak tahu cara menaruh rasa hormat.  

"Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan China kepada pasar dunia, dengan ini saya menaikkan tarif yang dikenakan Amerika Serikat kepada China menjadi 125 persen yang berlaku segera," ujar Trump dalam unggahan media sosialnya, dikutip Kamis, 10 Maret 2025.

Meski tidak terkena tarif 10% seperti negara lainnya, Meksiko dan Kanada tetap dikenai tarif 25% untuk sebagian besar produk, kecuali jika produk tersebut memenuhi ketentuan dalam US-Mexico-Canada Agreement (USMCA).

Pasar Saham Positif

Keputusan Trump disambut positif oleh pasar saham. Indeks Dow Jones melonjak hampir 3.000 poin atau 7,87%, S&P 500 naik 9,5%, dan Nasdaq mencatatkan kenaikan 12,2%, capaian tersebut mencatatkan hari kenaikan terbaik sejak Januari 2001. 

Saham Trump Media & Technology Group (DJT) juga naik 20%, memulihkan sebagian kerugian yang terjadi sepanjang bulan ini. Menteri Keuangan Scott Bessent mengklaim kebijakan ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang Trump, yang dirumuskan pada pagi hari bersama Menteri Perdagangan Howard Lutnick. 

Namun, pernyataan ini kontras dengan pengakuan Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, yang mengaku tidak mengetahui keputusan tersebut hingga pengumuman resmi dilakukan. China merespons kebijakan ini dengan mengenakan tarif balasan sebesar 84% atas produk-produk AS dan menuduh Washington melanggar aturan perdagangan global.

Pemerintah China menegaskan akan “berjuang sampai akhir” dan mempercepat upaya untuk mengurangi ketergantungan pada produk AS, sebagaimana telah dimulai sejak perang dagang 2018–2019.

Risiko Resesi Masih Bayangi

Meskipun pasar saham merespons dengan lonjakan tajam, para ekonom tetap mewanti-wanti bahwa langkah Presiden Trump untuk menjeda tarif hanya memberikan jeda sementara terhadap tekanan ekonomi yang lebih dalam. 

Joe Brusuelas, Kepala Ekonom di RSM US, menyebut keputusan ini tidak lebih dari “penundaan hukuman” terhadap mitra dagang utama Amerika Serikat. Ia menilai perekonomian AS masih berada di jalur menuju resesi, mengingat dampak kumulatif dari berbagai guncangan kebijakan perdagangan yang sudah terjadi sejak awal tahun.

"Menurut saya, ekonomi (AS) kemungkinan besar masih akan mengalami resesi, mengingat tingkat guncangan simultan yang dialaminya, semua ini hanya menunda sementara serangkaian pajak impor yang mungkin akan memberatkan sekutu dagang AS," jelas Brusuelas dalam sebuah wawancara, dikutip dari Reuters.

Sementara itu, Goldman Sachs memberikan sedikit optimisme dengan menurunkan prediksi kemungkinan resesi dalam 12 bulan ke depan menjadi 45%, dari sebelumnya dianggap sebagai skenario utama. 

Namun, mereka menegaskan bahwa risiko tetap signifikan, terutama jika eskalasi dagang kembali terjadi setelah masa jeda berakhir.

Dari sisi dunia usaha, meskipun ada kelegaan jangka pendek, kekhawatiran masih membayangi. Jake Colvin, Presiden National Foreign Trade Council, mengingatkan bahwa jeda ini belum memberikan kepastian jangka panjang. 

Tarif dasar sebesar 10% masih dikenakan pada sebagian besar negara mitra dagang AS, sementara tarif 25% untuk komoditas strategis seperti produk asal China, baja, aluminium, dan otomotif tetap diberlakukan. 

"Jangan kita rayakan fakta bahwa tampaknya masih ada tarif dasar baru sebesar 10% pada sebagian besar negara, ditambah pungutan signifikan pada China, baja dan aluminium, serta otomotif, dengan janji akan ada lebih banyak bea masuk di masa mendatang," ungkap Jake Colvin dalam keterangan resminya.

Ia juga menyoroti potensi ancaman tarif tambahan untuk sektor-sektor penting lainnya seperti kayu, farmasi, dan tembaga, yang dapat semakin membebani rantai pasok global dan iklim investasi.

Kondisi ini menciptakan atmosfer ketidakpastian yang berkepanjangan bagi pelaku usaha. Banyak perusahaan menunda rencana ekspansi, perekrutan, hingga relokasi rantai pasok karena belum ada kejelasan arah kebijakan dagang jangka panjang.