
Tren Virtual Office, Bagaimana Nasib Bisnis Sewa Kantor Saat Ini?
- Di tengah gencarnya transformasi digital dan kerja jarak jauh, satu tren yang mulai terlihat nyata di lanskap bisnis Indonesia adalah menghilangnya batas antara kantor fisik dan tempat kerja.
Tren Ekbis
JAKARTA – Di tengah gencarnya transformasi digital dan kerja jarak jauh, satu tren yang mulai terlihat nyata di lanskap bisnis Indonesia adalah menghilangnya batas antara kantor fisik dan tempat kerja.
Virtual office yang dulunya hanya solusi darurat saat pandemi, kini mulai menjadi pilihan permanen dan bahkan strategis bagi banyak perusahaan. Alih-alih menyewa ruang kantor besar dan mahal, banyak pelaku usaha kini memilih layanan kantor virtual untuk mengurus legalitas usaha, mendapatkan alamat bisnis prestisius, dan tetap terhubung dengan klien atau mitra.
Layanan ini memungkinkan mereka beroperasi secara efisien tanpa terikat biaya tetap tinggi. Di Jakarta, Surabaya, hingga Bandung, peminat virtual office tumbuh, terutama dari kalangan startup, firma digital, hingga pengusaha freelance dan UMKM berbasis teknologi.
Di Antara Efisiensi dan Kekosongan Ruang
Meski tren ini membawa efisiensi bagi dunia usaha, dampaknya terhadap sektor properti perkantoran tak bisa diabaikan. Tingkat okupansi kantor di kawasan bisnis Jakarta belum benar-benar pulih sejak pandemi.
Data dari Colliers Indonesia menyebutkan bahwa okupansi gedung kantor di kawasan utama Jakarta masih bertahan di bawah 75% per kuartal pertama 2025. Tarif sewa pun stagnan, bahkan cenderung menurun.
Menurut Senior Associate Director Research Colliers Indonesia Ferry Salanto permintaan ruang kantor kini tidak sepenuhnya hilang, melainkan bergeser bentuk. Banyak perusahaan, terutama korporasi besar dan firma internasional, tetap butuh kantor fisik. Namun mereka cenderung mengurangi luas ruang, mengubah pengaturan kerja, dan mulai melirik opsi serviced office atau ruang kerja fleksibel.
“Kebutuhannya bukan lagi ‘kantor’ dalam arti konvensional. Yang dibutuhkan adalah fleksibilitas. Kalau gedung tidak bisa beradaptasi, maka dia akan tertinggal,” ujarnya. Gedung-gedung perkantoran yang tidak menyesuaikan dengan kebutuhan fleksibel ini justru terancam over supply, apalagi di kota-kota besar dengan pembangunan gedung tinggi yang masif.
Bagaimana Kondisi di Kuartal 2?
Ferry Salanto mengatakan jika prospek pasar perkantoran di Jakarta secara umum tetap berhati-hati, sejalan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi secara moderat. Meski begitu, tanda-tanda pemulihan mulai terlihat melalui meningkatnya permintaan di beberapa segmen.
"Situasi masih menguntungkan bagi penyewa, karena posisi tawar tetap kuat di tangan mereka. Sebagai respon, para pemilik properti kini lebih fokus menyusun strategi untuk meningkatkan tingkat hunian, seperti melalui penawaran harga yang kompetitif dan pemberian insentif guna menarik penyewa baru," jelasnya.
Jumlah gedung baru yang selesai dibangun masih terbatas, yang secara tidak langsung membantu mengurangi persaingan di antara pemilik properti.
Meskipun begitu kata Ferry, pemulihan berlangsung secara bertahap, penyerapan ruang kantor diperkirakan akan terus meningkat. Di sisi lain, para penyewa masih memiliki peluang untuk pindah ke gedung yang menawarkan fasilitas lebih baik.