serum-wardah.jpg
Nasional

Tren Industri Kosmetika Bergeser: Influencer Redup, Personal Branding dan Green Cosmetic Naik Daun

  • Nilai peredaran produk kosmetik di Indonesia pada 2024 mencapai US$1,94 miliar, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 5,35%. Namun, sekitar 20–30% dari peredaran tersebut disinyalir berasal dari jalur ilegal, tanpa izin edar resmi.

Nasional

Debrinata Rizky

JAKARTA – Industri kosmetik Indonesia dinilai mencatat pertumbuhan pesat dalam lima tahun terakhir, dengan jumlah perusahaan meningkat 62 persen sejak 2019.

Ironisnya, pertumbuhan ini tidak dibarengi peningkatan produksi lokal. Pasar dalam negeri justru dibanjiri produk-produk impor murah, legal maupun ilegal, yang kian menekan produsen lokal.

Ketua Umum Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika (PPAK) Indonesia Solihin Sofian mengatakan, nilai peredaran produk kosmetik di Indonesia pada 2024 mencapai US$1,94 miliar, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 5,35%. Namun, sekitar 20–30% dari peredaran tersebut disinyalir berasal dari jalur ilegal, tanpa izin edar resmi.

“Secara angka, industri tumbuh. Tapi kapasitas produksi lokal justru turun. Kenapa? Karena pasar kita dibanjiri produk luar, terutama dari Tiongkok, yang harganya jauh lebih murah,” ujarnya kepada TrenAsia.com pada Selasa, 3 Juni 2025.

Sofian memaparkan, sejak 2019, jumlah perusahaan kosmetik Indonesia melonjak dari 760 menjadi 1.250 unit pada 2024. Sebagian besar merupakan Industri Kecil dan Menengah (IKM), yang menunjukkan geliatnya ditengah pandemi karena kebutuhan hand sanitizer dan produk kebersihan.

Namun kini, dengan pasar didominasi produk impor murah, banyak dari pelaku lokal kesulitan memproduksi secara berkelanjutan. “Pasar tumbuh, tapi pembelinya tetap. Konsumen mencari yang murah, bukan yang lokal,” lanjutnya

Dominasi Produk Asing: Murah dan Viral di Medsos

Meski pertumbuhan yang moncer, produk dari China lagi-lagi mendominasi karena beberapa faktor. Pertama harga jauh lebih murah, mudah diakses via e-commerce, serta dibantu tren viral dan ulasan media sosial.

“Orang sekarang cari produk di TikTok atau Instagram, lihat mana yang paling banyak terjual, lalu beli. Legalitas dan keaslian seringkali diabaikan,” lanjutnya.

Dengan jutaan pengguna media sosial, Indonesia menjadi pasar strategis bagi produsen kosmetik asing. Bonus demografi juga menjadikan Indonesia target penetrasi produk dengan harga kompetitif.

Tren Influencer Merosot, Personal Branding Masuk

Dulu kata Sofian, beauty influencer menjadi senjata utama brand kosmetik untuk menjual produk. Namun kini, tren mulai bergeser. Konsumen ingin tahu cerita dan keaslian pemilik brand. Personal branding dianggap lebih relevan daripada sekadar endorsement.

Selain itu tren bergeser juga ke produk berbasis bahan alami dan (green cosmetic) semakin dilirik karena lebih ramah lingkungan dan mudah disertifikasi halal.

Tantangan: Bahan Baku Masih Impor

Meski potensinya besar, sebagian besar bahan baku kosmetik masih harus diimpor. Minimnya investasi di sektor hulu menjadi kendala utama.

“Kalau ingin industri ini berdaulat, kita harus dorong investasi di bahan baku. Pemerintah harus kasih insentif agar investor mau masuk ke sektor hulu,” tegasnya.

Sofian mengatakan, industri kosmetik Indonesia memang sedang naik daun secara angka. Tapi tanpa strategi memperkuat fondasi produksi dan memperbaiki ekosistem bahan baku, Indonesia hanya akan jadi pasar konsumtif bagi brand asing.